Oleh: Fransiskus Sabar
(Ketua Kelompok Minat Diskusi Centro John Paul II, Ritapiret)
Peran penting pendidikan sebagai instrumen edukatif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara harus mendapat perhatian dari semua pihak. Mulai dari orang tua, masyarakat, komunitas religius sampai pada pemerintah.
Perhatian bersama ini niscaya akan mewujudkan hal yang paling substansi dari pendidikan yakni memanusiakan manusia. Artinya, pendidikan harus dilihat sebagai suatu proses berkelanjutan dalam membentuk kecakapan-kacakapan fundamental peserta didik, baik secara intelektual maupun emosional.
Dengan demikian peserta didik yang bersangkutan akan menjadi pribadi yang matang dan dewasa dalam segala aspek: jasmani, rohani, intelektual, sosial, estetis dan religius.
Sebagai menteri pendidikan, Nadiem Makarim tentu mengetahui lebih banyak tentang hakikat, tujuan dan seluk-beluk pendidikan ini. Karena itu, segala kebijakkan dan agenda kementriannya harus berkiblat pada suatu model dan tatanan pendidikan yang utuh. Dan salah satu kebijakan Nadiem yang dinilai dapat memberi angin segar dalam bidang pendidikan khususnya pendidikan di NTT ialah memperbolehkan sekolah menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembiayaan guru honorer dan menaikkan jumlah anggaran dana BOS sebesar 6,03 persen di tahun 2020.
Tentu kebijakan ini bukan menjadi satu-satunya program yang mengantar pendidikan kita ke panggung kesuksesan, tetapi setidaknya sedikit memberi angin segar di tengah pengapnya konstelasi pendidikan di NTT.
Gebrakan konstruktif Mendikbud Nadiem Makarim ini kemudian menuai banyak apresiasi dari pelbagai kalangan khususnya para guru. Ketua Forum Tenaga Honorer Kota Kupang, Saka Nenosaban mengatakan, kebijakan itu merupakan langkah positif dalam rangka peningkatan kesejahteraan guru honorer atau kontrak.
Menurutnya, hal itu akan memacu kinerja guru honorer yang akan berdampak pada mutu pendidikan, baik dari SD hingga SMA/SMK (Pos Kupang/18/02/2020).
Problem Pendidikan di NTT
Setidaknya ada empat persoalan mendasar yang masih melilit sistem pendidikan di NTT menurut gubernur NTT, Viktor Laiskodat.
Pertama, masih banyak guru di NTT yang tidak profesional, bukan berlatar belakang pendidikan, atau lebih tepat disebut sebagai guru yang tidak terlatih. Mengajar sekenanya saja, asal hadir di kelas sehingga menyebabkan anak-anak tidak bisa memiliki keterampilan dasar seperti matematika, baca tulis, dan bahasa dengan baik.
Kedua, tidak tersedianya ruang kelas yang memadai, sehingga siswa menimba ilmu di ruang kelas darurat, berdinding bambu.
Ketiga, dana pendidikan yang kurang sehingga banyak masyarakat miskin yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak karena biaya tinggi.
Keempat, kekurangan bahan belajar sehingga banyak sekali siswa yang tidak memiliki buku pelajaran yang memadai untuk digunakan (Pos Kupang, 15/02/2020).
Menjawabi persoalan fundamental pendidikan ini, ada dua pandangan kunci yang mungkin dapat membantu kita memahami keempat akar persoalan pedidikan di NTT seperti yang dibeberkan sebelumnya.
Pertama, terkait persoalan guru yang dianggap tidak profesional dan terlatih. Tentu persoalan ini sangat memprihatinkan mengingat peran seorang guru sebagai pendidik sangat sentral dalam pendidikan.
Sesungguhnya, jika kita jeli membaca persoalan pertama ini kita bisa menemukan suatu paradoks pendidikan yang besar. Sebab bagaimana mungkin institusi pendidikan seperti sekolah mendatangkan pengajar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan atau sekolah? Kalau memang benar demikian, betapa malangnya pendidikan di NTT.
Namun, muncul pertanyaan bahwa apa yang menyebabkan fenomena miris ini terjadi dalam sistem pendidikan di NTT? Ada beberapa kemungkinan, pertama, proses penyeleksian guru yang bermasalah dalam arti bahwa ada sikap pengabaian atau pengangkangan terhadap kriteria atau aturan yang berlaku untuk alasan tertentu semisal kepentingan politik, asas kedekatan kekeluargaan, dll. Kedua, kemungkinan yang paling besar ialah gaji yang tidak memadai, sebab dimana-mana baik guru yang profesional maupun yang tidak profesional akan mengabaikan tugasnya sebagai seorang pendidik jika upahnya tidak memadai. Sehingga, regulasi baru Mendikbud yang memperbolehkan sekolah menggunakan dana BOS untuk pembiayaan gaji guru honorer sedikit memberi angin segar di tengah prahara persoalan upah bagi para guru di NTT.
Kedua, terkait persoalan mengenai tidak tersedianya ruang kelas yang tidak memadai, dana pendidikan yang kurang dan kekurangan bahan belajar setidaknya sudah dijawab tuntas oleh kebijakkan baru Mendikbud di atas yakni dengan menaikkan anggaran dana BOS sebesar 6,03 persen.
Karena itu tidak ada alasan bagi sekolah-sekolah di NTT untuk mengeluh tentang kekurangan dana, ruang kelas darurat dan kekurangan bahan belajar. Yang urgen dipersoalkan sekarang ialah legitimasi regulasi pendidikan yang tumpang tindih dan tanggung jawab penggunaan dana pendidikan yang amburadul.
Jangan sampai benih korupsi menjalar liar dalam institusi pendidikan kita sehingga kucuran dana yang besar tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.
Saatnya membenahi pendidikan kita yang masih tertinggal jauh dari provinsi lain, faktanya selama tujuh tahun terakhir provinsi NTT selalu mendapatkan peringkat 31 dan 32 secara nasional.
Nadiem sudah memulainya dengan menyalakan api pendidikan, selanjutnya tugas kitalah yang menyebarkan api itu ke dalam diri generasi penerus NTT untuk masa mendatang. Tentu perhatian yang melibatkan semua pihak mulai dari orang tua, masyarakat, komunitas religius dan pemerintah menjadi kunci kesuksesan pendidikan di NTT di masa depan. Sebab, mengutip pernyataan Gubernur NTT bapak Viktor Laiskodat, pendidikan adalah juru kunci dalam indeks pembangunan manusia dan masa depan bangsa.