*) Puisi-puisi Rey Baliate

Suanggi

Tahi bertakhta di atas kepalamu, opa.

Hitam matamu adalah pekat kopi bercampur sianida.

Banyak pertanyaan bergantung pada bibir fanaku

Mungkinkah kau jelmaan bulan, 

Menyinari kuburan secara malam

Dan dalam tempo seminggu kemudian ?

Ah… kurasa tidak demikian.

 

Satu hal yang kuingat darimu, opa.

Sunyi pahatan tanganmu 

Membilurkan api yang membakar hujan puisiku.

Padahal puisiku masih membutuhkan keluh dan kesah

Untuk melengkapi episode pertemuan 

Tentang aksara yang tak berkesudahan,

Dari Golgota dan segala kemustahilan.

Ruteng,2020

Pacar 

Kau mengamini aku 

Sebelum nafsu terbit dari gelisah 

Dan terbenam di sayup doa

 

Kau anggap aku sebagai titik temu 

Antara batas pertemuan dan bertemu

 

Barangkali jarak mulai mengetuk pintu mata kita

Dan membuat kita takut memeluk rindu yang terlanjur

Bersembunyi di balik punggung kita

Atau

Barangkali kita terlalu mudah untuk menyapa awal 

Sebagai  awalan dari sebuah perkenalan.

 

Kita memang tercipta dari ragu 

Dan hidup di dunia yang semakin rapuh dan kita pun tahu

Kalau diri kita akan kembali kepada pilu

Seperti bunga-bunga yang tak sempat menulis puisi dan berakhir pada 

Kata layu.

 

Kelak kita akan mengerti,

Kita sedang berada dalam proses bunuh diri.

Menunggu kematian iri dan memaknainya sebagai puisi. 

Nenuk,2019

Pisau 

Itulah aku.

Melukaimu di hadapan gandum dan ilalang 

Setelah semalaman menunggu sebab dan akibat 

Datang mengetuk pintu mimpiku.

 

Roti yang kau berikan untuk perjamuan debu dalam ciumanku

Telah habis dicium hari

Sedangkan anggur yang kau turunkan dari langit

Telah habis kupakai mandi.

 

Kini, tak ada lagi para penuai yang akan 

Menuai aminmu sebab para penuai telah kubunuh 

Dalam doaku sebelum doamu.

 

Mungkin, ucapan adalah sisa dari pada mulamu yang tak mampu

Kueja sebagai

: demikianlah kiamat sabda

Kupang, 2019

Perihal Ibumu

Kau terbangun setelah seharian tertidur 

Di atas ranjang penuh kopi,

Sisa kerinduan yang lahir sebelum kau mengenal utuh

Kalimat “ aku mencintaimu.”

 

Di depan gerbang rumahmu,

Aku berdiri sembari menghitung rintik hujan 

Yang jatuh dan melebur bersama sunyi.

 

Ibumu melihatku.

Tatapannya tajam dan membunuh.

Matanya yang ketat, buat bibirku berasa malam.

Aku ingin pergi namun jendela kamarmu menghentikan langkahku

Untuk pergi dari putih rindumu.

 

Ibumu masih melihatku.

Kali ini bibirnya menenun aksara.

“Apa yang kau ketahui tentang cinta, ama ?”

“Cinta adalah kebenaran.”

“Apa itu kebenaran ?”

Menyalibkan anakmu dan menjadikannya sabda.

Ibumu diam, menjelma kata kerja.

Ruteng,2020