Atambua Vox NTT-Program Budi daya Maek Bako atau porang yang dikerjakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan kabupaten Belu ternyata sudah dilakukan sejak tahun 2017 hingga tahun 2019.
Program Budidaya Maek Bako (selanjutnya disebut porang) adalah program yang sangat baik apabila dikelela dengan serius.
Betapa tidak, dikabarkan, umbi porang memiliki nilai ekonimis yang tinggi dimana per kilogram porang mencapai harga Rp 65.000.
Alih-alih untuk memberikan bantuan stimulan dan dukungan kepada petani di Belu, Dinas Pertanian Kabupaten Belu gencar mengadakan bibit porang yang didistribukikan kepada petani di Kabupaten Belu.
Ditemui di ruang kerjanya, Senin (24/02/2020), Kepala Dinas Pertanian kabupaten Belu Gerardus Mbulu didampingi Kepala Bidang Ketahan Pangan dan Penyuluhan yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Perkebunan, Frida Baria membeberkan sejumlah kegiatan pengadaan porang yang anggarannya hampir mencapai empat miliar.
Didampingi Kadis Gerardus, Frida yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bidang yang bertanggung jawab secara teknis terhadap program porang menjelaskan, pada 2017, dengan menggunakan APBD II murni Dinas Pertanian kabupaten Belu melakukaan belanja pengadaan bibit porang sebanyak Rp 154.125.000,00.
Hasilnya, 1.250 Kg bibit yang dibagikan kepada sembilan kelompok tani dengan luas lahan 50 hektar.
Sembilan kelompok tani penerima bantuan bibit porang tersebar di Kecamatan Nanaet Dubesi, Lamaknen Selatan dan Kecamatan Raimanuk. Pengadaan bibit ini dilakukan oleh CV. Tunas Flamboyan.
Baca Juga: Sosok Gubernur NTT El Tari: Memberikan Uang Sisa Perjalanan Dinas ke Panti Asuhan
Pada tahun yang sama, menggunakan anggaran yang bersumber dari APDD II Perubahan, Distan Belu kembali melakukan pengadaan bibit porang dengan nominal Rp 306.000.000,00 untuk jumlah bibit 2.500 Kg yang tersebar di wilayah Kecamatan Tasifeto Barat dan Kecamatan Atambua Selatan. Luas lahan yang disiapkan 10 hektar.
Pada Tahun Anggaran 2017 juga, Distan Belu kembali melakukan pengadaan untuk yang ketiga kali dengan besar anggaran Rp 978.612.500,00 untuk pengadaan 18.448 Kg bibit yang tersebar di wilayah Kecamatan Tasifeto Barat dan wilayah Atambua Selatan dengan luas lahan 50 hektar.
Selanjutnya pada tahun 2018, Distan Belu terus melakukan kegiatan pengadaan Bibit porang. Tak tanggung-tanggung, Distan Belu menggelontorkan dana Rp 2.376.000.000.
Dengan jumlah anggaran yang fantastis ini, pengadaan yang dilakukan CV. De Calvin untuk membeli bibit porang, 49.500 Kg yang kemudian dibagi ke kelompok tani di Kecamatan Tasifeto Barat, Raimanuk, Nanaed Duabesi, Tasifeto Timur, Lasiolat, Raihat, Lamaknen dan Kecamatan Lamaknen Selatan dengan total luas lahan 77 hektar dengan jumlah bibit sebanyak 49.500 Kg.
Baca Juga: Terkait Korupsi di NTT, Ini Pesan KPK untuk Jurnalis
Selanjutnya pada tahun 2019, Distan Belu kembali melakukan pengadaan Bibit porang dengan menggunakan APBD II sebesar Rp 124.284.000 untuk dibagikan kepada enam kelompok tani di Kecamatan Tasifeto Barat, Lasiolat, Kakuluk Mesak dan Kecamatan Tasifeto Timur dengan total luas lahan 5.58 hektar dimana bibit yang dibeli dalam bentuk umbi sebanyak 35.714 umbi.
Dengan demikian total bibit porang yang dibelanjakan Distan Belu sejak 2017 hingga 2019 mencapai 59 ribu kilogram lebih serta 35 ribu umbi dengan besar anggarannya mencapai 3.9 Miliar
Meski pengadaannya dilakukan dalam beberapa tahap dan jumlah bibit dan anggaran yang terbilang fantastis, hingga saat ini Dinas Pertanian Belu belum bisa memastikan potensi hasil yang akan dipanen.
Di salah satu lokasi pengadaan di Kecamatan Atambua Selatan dan Tasifeto Barat, nilai pengadaannya mencapai Rp 2 miliar lebih, namun porang yang tumbuh dapat dihitung dengan jari. Sehingga meski sudah memasuki masa panen, namun pihak Distan mengakui belum bisa melakukan panen.
Meski mengaku pada beberapa petani penerima bantuan bibit sudah melakukan panen dan menjual porang, namun jumlah yang dipanen petani masih sangat sedikit dan tidak berbanding lurus dengan uang negara yang sudah digelontorkan.
Kadis Gerardus dan Kabid Ketahanan Pangan yang ditemui di ruang kerjanya mengakui, potensi gagalnya program porang disebabkan sejumlah faktor.
Baca Juga: Baku Atur di Papan Catur Politik Victor Laiskodat
Pertama, seharusnya penanaman porang dilakukan pada Bulan November sebelum turun hujan.
Namun pada beberapa tahapan pengadaan khususnya untuk wilayah Hutan Jati di Kecamatan Atambua Selatan dan Kecamatan Tasifeto Barat, bibit yang dibeli penyedia tiba terlmabat sehingga porang ditanam pada saat hujan, dimana kondisi ini menyebabkan umbi porang berpotensi busuk.
Kedua, setelah ditanam, di saat musim panas, terjadi kebakaran di sekitar Hutan Jati Nenuk yang mengakibatkan porang mati.
Kebakaran hutan diakui sebagai salah satu faktor penyebab kegagalan porang. Hal ini terjadi karena tidak adanya pengawasan yang memadai dari Dinas terkait.
Selain kedua faktor di atas, kuat dugaan, bibit yang diinformasikan dibeli dari Madiun ini sudah membusuk sebelum ditanam, lantaran lama waktu pengiriman melalui jalur laut yang mengakibatkan bibit porang terkontaminasi dengan air laut.
Tidak hanya itu, gagalnya program budidaya porang ini ternyata dipicu oleh tidak didahului dengan dilakukan Demonstration Plot untuk melakukan uji coba dan kajian terkait faktor-faktor pendukung keberhasilan budi daya porang di Belu.
Meski gagal, Kepala Dinas Pertanian, Gerardus Mbulu mengatakan akan tetap serius melakukan pembenahan budi daya porang karena harganya sangat menjanjikan.
“Kita mesti lihat. Memang program ini mau dikatakan gagal juga tidak, karena memang yang di hutan jati tumbuhnya jarang, tapi di tempat lain petani kita sudah ada yang panen,” jelas Gerardus.
Ditanyai mengenai indikasi salah urus program yang menelan miliaran rupiah, Gerardus enggan berkomentar.
Hal serupa diakui, Frida Bria. Menurutnya, Dinas Pertanian tengah melakukan pembenahan terkait program budi daya porang.
“Memang gagal dan kita tidak bisa bicara panen, karena kalau misalnya panen pun bukan Dinas yang panen tapi petani. Kita akui, di hutan jati sedikit sekali yang tumbuh tapi di tempat lain itu luar biasa bagus dan petani sudah mulai panen dan menjual dengan harga Rp 65.000Kg,” jelas Frifa Baria diamini Kadis Gerardus.
Penulis: Marcel Manek
Editor: Boni J