Jakarta, Vox NTT- Forum Rakyat Melawan (FRM) ikut menolak geliat investasi di Taman Nasional Komodo (TNK), Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Forum yang terdiri dari sejumlah organisasi kepemudaan dan mahasiswa di Jakarta itu kemudian mendatangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI , Selasa (25/02/2020).
Dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Koordinator lapangan FRM Yohanes Gesriardo Ndahur menjelaskan, pada Rabu, 12 Februari 2020 lalu, ribuan massa yang tergabung dalam pencinta konservasi di TNK menggelar aksi unjuk rasa di Labuan Bajo.
Mereka, kata Yohanes, secara tegas menolak berbagai investasi di TNK yang berpotensi merusak konservasi.
Berbagai geliat investasi tersebut tentu saja merugikan masyarakat setempat dan merusak ekosistem dan satwa lain yang ada di TNK.
FRM kemudian mendatangi kantor KLHK untuk meneruskan penolakan.
Yohanes menegaskan, wisata super-premium Labuan Bajo harus ditolak. Ia beralasan karena investor dalam membangun kerajaan bisnisnya tidak pernah memperhatikan kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal.
“Ini akan menyebabkan masyarakat lokal terpinggirkan dan termarginalisasi,” ujanya.
Yohanes menjelaskan, wujud nyata dari masyarakat lokal dimarginalkan adalah dengan mereka diusir dari Pulau Komodo.
Diperparah lagi dengan penetapan wisata Labuan Bajo sebagai super premium yang bernafaskan liberal. Pengambilan kebijakan secara keseluruhan pun tidak melibatkan masyarakat terdampak.
“Lalu untuk siapa wisata super premium ini ada?” tanya Yohanes.
Jenderal Lapangan FRM, Anno Leonardo Panjaitan menegaskan, dengan iming-iming investasi untuk meningkatkan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan, pulau-pulau di TNK dan bibir-bibir pantai di Labuan Bajo dikapling investor. Mereka ialah PT KWE, PT SKL, PT Flobamora, dan masih banyak lagi perusahaan atas nama lokal.
Ia menyebut, penduduk yang sudah lama hidup di atas pulau-pulau dalam wilayah TNK diusir dengan cara-cara imperialisme.
Dikatakan, secara kosmologi, dengan diusirnya penduduk yang sudah lama hidup berdampingan dengan komodo akan membuat populasi kadal raksasa itu berkurang. Apalagi dengan pembangunan infrastuktur yang mengganggu kehidupan liarnya.
Anno menambahkan, Omnibus Law dan RUU Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) juga akan memperlancar proses investasi dan pembangunan yang merusak alam.
Hal tersebut karena akan mengubah, menghapus, atau menetapkan peraturan baru terkait perizinan usaha untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh persetujuan lingkungan.
Itu terutama dengan mengubah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pernyataan Sikap
Atas berbagai pertimbangan tersebut, FRM kemudian menyatakan beberapa poin tuntutan kepada Pemerintah Pusat melalui KLHK dan lembaga terkait lainnya
Pertama, FRM menuntut KLHK harus segera meninjau kembali penerapan Permen KLHK No: P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Tawan Wisata Alam.
Permen ini dinilai FRM tidak cocok diterapkan di kawasan TNK karena merupakan ekosistem khusus yang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati.
Kedua, FRM menuntut KLHK untuk segera mencabut izin yang sudah diberikan kepada PT KWE dan PT SKL, perusahaan swasta di Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar.
KLHK juga diminta untuk membatalkan rencana pemberian izin kepada PT Flobamora dan “pihak lainnya” di dalam kawasan TNK.
Ketiga, FRM juga menilai pembangunan resort, villa, restaurant, dan fasilitas pendukung lainnya di dalam kawasan TNK sangat bertentangan dengan prinsip konservasi yang sudah dikerjakan bersama selama ini.
Keempat, FRM menolak pemberlakukan kawasan Pulau Komodo dan perairan sekitarnya sebagai Kawasan Wisata Ekslusif Super Premium dengan tiket masuk sebesar USD 1000 yang dikelola oleh PT Flobamora dan “pihak lainnya,”
FRM menyebut, praktik semacam ini merupakan bentuk monopoli bisnis yang merugikan, baik masyarakat Komodo sendiri maupun para pelaku pariwisata di Labuan Bajo pada umumnya.
Kelima, FRM mendesak pemerintah untuk tidak merevisi PP Nomor 12 tahun 2014 tentang PNPB dan tetap mempertahankan angka tarif masuk ke TNK yang berlaku sejak tahun 2019.
Keenam, FRM mengutuk keras rencana untuk menata ulang kawasan Loh Buaya dalam waktu dekat, mengingat paket-paket wisata untuk 2020 umumnya sudah direncanakan dan akan terganggu akibat kebijakan yang mendadak dan serampangan seperti ini.
Sebaliknya rencana penataan destinansi harus dilakukan lewat perencanaan yang transparan dan akuntable.
Ketujuh, FRM menolak utak-atik status sejumlah pulau yang berada dalam zona rimba dan zona inti di dalam Kawasan Komodo untuk menjadi bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Kedelapan, FRM mendesak pemerintah secara khusus BTNK untuk segera menerapkan kebijakan carrying capacity di tempat-tempat wisata seperti Pulau Siaba, Long Beach dan tempat-tempat lain demi menjaga kelangsungan ekologi dalam kawasan TNK.
Kesembilan, FRM menuntut pemerintah untuk mengeluarkan jaminan tertulis dan permanen bahwa warga Komodo tidak akan dipindahkan dan/atau diganggu dengan rencana kebijakan relokasi; serta menuntut kebijakan yang memperhitungkan hak-hak dan partisipasi aktif mereka dalam konservasi dan pariwisata.
Kesepuluh, FRM meminta pemerintah untuk mengembangkan model-model pembangunan pariwisata yang berbasis masyarakat. Itu seperti memaksimalkan dan melakukan pembinaan terhadap para pelaku UMKM lokal di Manggarai Barat dan membentuk BUMD yang diisi oleh orang-orang lokal.
FRM juga melihat bahwa Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BOP-LBF) merupakan institusi di lapangan yang berada di balik rencana utak-atik kawasan TNK sebagai target baru investasi.
Karena itu, FRM menuntut pemerintah untuk membubarkan BOP-LBF dan mencabut Perpres Nomor 32 tahun 2018. Sebaiknya Pemda Manggarai Barat harus diberi ruang untuk menentukan pembangunan pariwisata yang sesuai dengan konteks (ekonomi, budaya, lingkungan) masyarakat setempat.
“Memilih mati membela sejengkal tanah, dibanding diam 400 hektare tanah dirampas atas nama investasi,” tulis FRM.
KR: L. Jehatu
Editor: Ardy Abba