Oleh: Agustinus Rahmanto
ASN Dinas Pendidikan Manggarai Timur, sedang Studi Master of Education di Flinders University, Australia
Visi Merdeka Belajar yang dicanangkan Kemendikbud disambut positif oleh banyak kalangan terutama guru-guru karena memberikan kemerdekaan kepada guru untuk berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif di sekolah.
Hal ini cukup beralasan karena guru memainkan peran strategis dalam proses pembelajaran. Seperti yang dikemukakan Fullan & Miles (1992), perubahan praktek pembelajaran di kelas seperti yang disyaratkan reformasi pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru.
Untuk itu berbagai upaya dilakukan baik oleh pemerintah, komunitas guru, masyarakat maupun stakeholder lain untuk meningkatkan mutu guru. Sejak implementasi UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pengembangan profesionalisme guru atau Teacher Professional Development (TPD) menjadi salah satu prioritas di sektor pendidikan.
Akan tetapi program peningkatan profesionalisme guru yang telah berjalan belum berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas guru. Studi yang dilakukan Bank Dunia (Chang, 2014) menunjukkan bahwa banyak guru di Indonesia belum memiliki kompetensi yang memadai terutama dalam hal penguasaan materi atau konten pembelajaran (knowledge content acquisition).
Data hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) tahun 2018 juga mengkonfirmasi kondisi yang tidak menguntungkan ini yaitu nilai rata-rata UKG secara nasional hanya 57,76; jauh di bawah standar nasional yaitu 70 (https://npd.kemdikbud.go.id/?appid=ukg).
Riset yang dilakukan oleh Widodo & Riandi (2013) terhadap implementasi program pengembangan profesionalisme guru baik yang dilakukan pemerintah, korporasi, NGO maupun asosiasi guru mengidentifikasi sejumlah kelemahan.
Pertama, mayoritas kegiatan masih dalam bentuk Training of Trainers (ToT) yang melibatkan hanya segelintir guru.
Kedua, pelaksanaan kegiatan dilakukan secara top-down, disiapkan oleh provider pelatihan dengan materi, strategi, narasumber dan schedule yang sudah ditentukan tanpa mengkonsultasikan dengan guru sebagai peserta kegiatan.
Akibatnya adalah sering terjadi apa yang dilakukan pada kegiatan pelatihan guru tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh guru.
Ketiga, kegiatan dilakukan di lokasi yang jauh dari sekolah seperti di ibukota kabupaten sehingga guru harus meninggalkan tugas berhari-hari. Selain itu, sekolah tidak menyediakan dukungan yang memadai untuk menerapkan apa yang telah didapatkan saat pelatihan ketika guru kembali ke sekolah.
Pendekatan on-site dan off-site dalam Pengembangan Profesionalisme Guru
Terdapat dua model pendekatan dalam pelaksanaan program peningkatan kompetensi guru dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas yang akan berdampak pada peningkatan performa siswa.
Pertama, off-site model. Melalui model peningkatan kompetensi ini, guru-guru dilatih di sebuah tempat di luar sekolah seperti di hotel, ruang pertemuan atau di pusat pelatihan guru. Biasanya yang dilatih adalah sejumlah kecil guru yang memiliki kinerja yang baik berdasarkan hasil ujian terstandarisasi seperti Ujian Kompetensi Guru (UKG).
Setelah dilatih, guru-guru tersebut kembali ke kabupaten atau sekolah dan kemudian melatih guru-guru lain. Karena efeknya multiplier (semakin ke bawah semakin banyak guru yang dilatih), model ini biasa disebut cascade atau generational model. Model ini banyak diterapkan terutama di negara-negara dengan jumlah guru yang sangat banyak. Off-site model biasanya didominasi teori, kalaupun praktek biasanya dalam bentuk micro teaching di antara sesama peserta training.
Kedua, on-site model. Program peningkatan kompetensii guru seperti ini biasanya diadakan langsung di sekolah atau di zonasi sehingga biasa disebut school or cluster-based model dan diinisiasi oleh sekolah dengan melibatkan banyak stakeholder di sekolah.
Kalau off-site model lebih dominan dalam bentuk workshop atau seminar, on-site model biasanya lebih variatif karena disesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Misalnya, secara mandiri sekolah menghadirkan ahli atau guru profesional untuk melatih dan mendampingi guru-guru di sekolah.
Selain itu, guru-guru saling mengobservasi, membuat penelitian tindakan kelas secara mandiri, menulis pengalaman-pengalaman mengajar di kelas dan disharingkan dengan sesama guru, menjadi mentor sesama guru atau melakukan refleksi pribadi untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan untuk perbaikan.
Ada juga guru yang membentuk kelompok kecil untuk berdiskusi isu-isu aktual pendidikan, kurikulum atau manajemen dan tata kelola sekolah. Pada cakupan yang lebih luas, sekolah membangun kemitraan dengan universitas dalam rangka mendampingi proses pembelajaran di sekolah.
Mengintegrasikan Pendekatan off-site dan on-site
Kedua pendekatan di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Off-site model minim praktek di ruang kelas dan waktunya sangat pendek sehingga guru-guru yang telah dilatih kesulitan mengimplementasikan pengetahuan dan ketrampilan yang dipelajari ketika kembali ke kabupaten atau sekolah. Hal ini diperparah dengan keengganan sekolah untuk menyediakan dukungan bagi guru-guru yang telah mengikuti pelatihan untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan di sekolah.
Di samping itu, TPD jenis ini biasanya difasilitasi oleh narasumber atau ahli yang menyampaikan informasi abstrak melalui presentasi atau ceramah yang pasif dan monoton. Karena tidak memiliki program pembelajaran yang holistik, model pelatihan guru seperti ini tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas pengajaran di kelas.
Hal ini tentu saja tidak relevan dengan reformasi pendidikan yang mensyaratkan program pengembangan profesionalisme guru yang menitikberatkan pada pembelajaran aktif dan berpusat pada siswa serta berfokus pada pengembangan pemikiran kritis dan ketrampilan memecahkan masalah (Leu, 2004).
Sedangkan kelebihannya adalah off-site model lebih terstruktur, terencana serta didukung sumber dana yang besar karena dibiayai pemerintah atau lembaga swasta seperti korporasi dan NGO.
Kekuatan on-site model adalah tipe ini biasanya lebih relevan dengan kebutuhan sekolah karena diinisiasi oleh sekolah sendiri. Selain itu, kekuatan dan aspirasi internal lebih diberdayakan sehingga keberlangsungan program akan lebih terjaga.
Karena berbasis sekolah maka on-site model lebih diarahkan pada pemberdayaan dan pengembangan sekolah sebagai sebagai sebuah sistem dan bukan pada peningkatan kapasitas individual guru seperti pada off-site training.
Namun tipe ini cenderung lamban, terisolasi dari perubahan-perubahan dalam praktek pembelajaran yang terus berkembang dan potensial mereplikasi praktek-praktek yang secara pedagogis keliru.
Untuk itu maka kedua model tersebut perlu diintegrasikan ke dalam program peningkatan kompetensi guru secara proporsional. Kombinasi kedua model akan saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Off-site training tetap dilakukan secara berkala untuk meng-update pengetahuan dan ketrampilan guru-guru terlatih namun implementasi di level sekolah harus lebih banyak diperkuat.
Penguatan di tingkat sekolah akan mendorong keterlibatan guru dalam seluruh proses pengembangan profesionalisme untuk membangun komunitas belajar yang professional (professional learning community) yang akan menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar (learning organization).
Pengembangan profesionalisme guru akhirnya menjadi bagian integral dari program sekolah untuk menumbuhkan sistem pembelajaran yang berkelanjutan.
Dengan menggeser fokus dari melatih guru-guru secara individual di hotel-hotel dan pusat pelatihan guru menjadi berbasis sekolah dengan mengintegrasikannya ke dalam program sekolah, niscaya program pengembangan profesionalisme guru akan lebih berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran di kelas dan pada gilirannya akan meningkatkan performa peserta didik.