Oleh: Hilarian Arischi Hadur
BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) menjadi makhluk yang cukup disoroti dalam beberapa tahun terakhir. Ia menjadi anak kandung UU Desa, yang juga ikut viral bersama isu dana desa dengan angka fenomenal 1,4M itu. Menjadi semakin viral ketika di masa jelang Pilkada, sejumlah paslon menggiring desa ke dalam isu Pilkada.
BUMDes pun ikut terseret, menjadi perbincangan yang cukup serius di meja kopi timses. Tetapi tulisan ini tidak sedang mengutak-atik Pilkada, karena BUMDes memang lahir jauh sebelum Pilkada hari ini.
BUMDes lahir sejak tahun 2015, bersamaan dengan dirilisnya Permendes No. 4 Tahun 2015 (sekalipun sebelum UU Desa, beberapa desa sudah mulai menggagas bisnis berbasis desa).
Kementerian dan seluruh level pemerintahan diarahkan untuk menggenjot BUMDes. Cukup beralasan, karena Nawacita membangun dari pinggir, salah satunya memuat point: Kemandirian Ekonomi Desa. Mengapa? Karena desa tidak selamanya akan terus disuap. Negara juga tidak akan setiap saat menyuntik dana desa.
Mari perhatikan, gejolak fiskal dan politik sering berdampak pada bongkar pasang program pemerintah ke desa, dari PNPM, PPIP, dan terakhir dana desa. Belum lagi program- program di era sebelumnya. Poinnya sama kayak kata Ariel Noah: tak ada yang abadi!! Maka tuntutannya sederhana, neka temo (jangan terlena), desa harus mandiri secara keuangan.
Menyadari itu, ribuan desa termasuk desa- desa di Manggarai Raya, berlomba membentuk BUMDes di tahun 2017. BUMDes diharapkan dapat memadamkan alarm Ariel menjadi peluang, berharap bisnis yang dijalankan bisa meningkatkan PADes agar desa menjadi mandiri secara keuangan. Sebab sebelumnya, pendapatan desa tidak lebih dari hasil bunga Bank.
Tetapi membangun bisnis itu memang tidak mudah. Tidak semudah membandingkan keberhasilan Desa Ponggok dan Panggungharjo di Jogja dan Klaten. Kedua desa ini hampir tidak lagi ingin menerima Dana Desa, karena PADes mereka sudah lebih dari 1 Milliar per tahun. Bagi mereka, dana desa itu ribet dengan aturannya. Muncul pertanyaan: bagaimana dengan desa-desa di Manggarai Raya?
Potret BUMDes Manggarai Raya
Berdasarkan hasil riset lembaga Change Operator, Manggarai Barat dan Manggarai Timur belum sampai 50 persen desa memiliki BUMDes. Mungkin juga terjadi di Manggarai, karena datanya belum didapatkan penulis. Data ini bukanlah pencapaian yang buruk, karena memang BUMDes tidak dipaksakan untuk dibangun. Perintahnya: “desa dapat mendirikan BUMDes”.
Bisnis memang tidak harus dipaksakan, apalagi jika memang tidak memiliki jiwa bisnis. Ini menjadi alasan mendasar beberapa desa belum berani mendirikan BUMDes. Belum lagi ketakutan dikejar tipikor, karena BUMDes itu berbisnis menggunakan uang negara.
Jika dirangkum, sedikitnya ada beberapa fenomena yang memperlambat perkembangan BUMDes di Manggarai Raya.
Pertama, managemen bisnis. Desa masih belum begitu yakin dengan kapasitas managemen bisnis dari pengurus BUMDes. Alhasil, ada begitu banyak Kades yang takut sertakan modal dalam jumlah besar, dan bahkan ada yang tidak melakukan penyertaan modal sama sekali ke BUMDes.
Kedua, konflik kepentingan. Beberapa BUMDes didirikan atas dasar balas jasa dan balas dendam politik dan relasi kekeluargaan, tanpa memperhatikan aspek profesionalitas pengelola. BUMDes terkadang digunakan sebagai bagian dari posisi politik yang ditawarkan dalam Pilkades. Kebanyakan mereka tak mengerti bisnis, tetapi lihai secara politik. BUMDes dengan komposisi ini cukup memberatkan.
Ketiga, bisnis keuangan. Bisnis ini banyak digemari beberapa BUMDes, karena menjalankannya cukup mudah. Semua orang kepepet di waktu tertentu, dan pasti akan pinjam uang. Terutama untuk kalangan petani yang harus segera menanam, tetapi tidak punya modal produksi. Memang secara sosial dan politik, bisnis ini menjadi pilihan yang baik. Tetapi dengan pengalaman pengelola yang minim di bidang keuangan mikro, bisnis ini seringkali menjerat BUMDes ke dalam piutang yang besar. Tidak mampu menagih, apalagi dengan ikatan sosial yang kuat di desa, BUMDes pun merugi.
Keempat, bisnis yang eksklusif. Kebanyakan BUMDes kita bisnisnya masih ekslusif, pasarnya masih di dalam desa. Kasarnya, BUMDes hanya ambil hasil dari belanja masyarakat desa, tetapi tidak berhasil pasarkan produk masyarakatnya. Fenomena ini juga tergambar jelas jika kita sempatkan diri mengunjungi pasar-pasar di desa. Biasanya di bulan panceklik, pasar sepi, karena transaksi pasar hanya mengandalkan uang masyarakat desa, tanpa memikirkan bagaimana cara produk masyarakat juga diperdagangkan.
Ini terjadi karena akumulasi dari modal bisnis yang kecil dan keterbatasan jaringan bisnis luar. Sederhana saja, beberapa desa penghasil jahe hanya mampu menjual jahe dengan harga Rp 9.000/kg. Padahal, pasar Ruteng yang berjarak 1 jam perjalanan, sudah menjualnya dengan harga Rp 25.000/kg. Petani tidak mendapat 50% dari harga transaksi akhir.
Membangun Bisnis Waralaba BUMDes
Waralaba merupakan konsep bisnis yang cukup diminati di Indonesia. Indomart dan Alfamart adalah contoh sukses waralaba. Sederhananya, dalam konteks ini BUMDes membangun usahanya, lalu melakukan kerjasama managemen dengan pelaku bisnis sektor riil yang telah menerapkan sistem bisnis perusahaan profesional. Yang dipakai adalah brand dan managemen perusahaannya. Hal ini untuk meminimalisir risiko kerugian pengelolaan BUMDes, yang ditimbulkan oleh keempat fenomena di atas.
Waralaba akan membantu membuka akses pasar desa dalam sistem jaringan pemasaran. Konsepnya kerja bisnisnya sederhana: barang yang tidak ada di desa didatangkan dari kota, dan barang produksi desa dijual di kota, dengan BUMDes sebagai sentra managemen bisnisnya. Dengan ini kita tengah menerapkan innercycle cost, bahwa perputaran uang terjadi di dalam desa.
Penulis bersama lembaga, mengakui bahwa tidak memiliki kapasitas dalam sektor riil bisnis. Maka dari itu, dalam beberapa kali seminar dan workshop bertajuk “Bangun Kota di Desa”, Change Operator mencoba mengumpulkan sejumlah pengusaha yang tergabung dalam jaringan bisnis Manggarai Raya Perkasa, sebagai wadah konsultan dan jaringan bisnis yang memenuhi kebutuhan jaringan pasar Manggarai Raya.
Manggarai Raya pada dasarnya sudah memiliki sejumlah perusahaan profesional hasil besutan putra- putri Manggarai, sebut saja NTC Kopi Flores, Golo Mori Coffe, Bandung Utama Group, Kopi Diidii, Rembu Tedeng, Kopi Mane, dan lainnya. Sebagian telah tergabung dalam managemen bisnis Manggarai Raya Perkasa, semoga tulisan ini dapat menggugah sebagiannya lagi untuk bergabung. (Ayo “kopi darat”J)
Melalui sistem ini, permasalahan managemen dan akuntablitas keuangan (sistem kasir dengan tekhnologi aplikasi) akan lebih mudah diselesaikan. Juga, bisnis waralaba sangat baik sebagai strategi maintanance, mempertahankan bisnis ditengah naik turunnya omzet BUMDes. Managemen akan selalu memantau traffic bisnis, dan mengerahkan konsultan untuk memperbaharui strategi pengelolaan sehingga pendapatan akan tetap stabil. Intinya, kita tidak sedang mengelola bisnis sendirian.
Dalam konsep yang telah dirancang juga, standar perusahaan diterapkan tanpa memandang relasi keluarga dan relasi politik. Sebab, bisnis tidak dibangun berbasarkan balas jasa dan balas dendam. Jadi, karyawan BUMDes akan diseleksi dan bekerja seturut standar perusahaan.
Tetapi sebagaimana baiknya sebuah sistem, waralaba juga memiliki sejumlah tantangan. Masalah besaran modal, komitmen pemerintah desa, dukungan masyarakat, serta ancaman kebangkrutan pun pasti selalu ada di dalam menjalankan bisnis. Sistem ini hanya mencoba meminimalisir resiko. Begitupun, sebaik- baiknya sistem bisnis juga tidak akan berguna jika kita belum memilih untuk memulainya, bukan?
Lebih dari itu, Change Operator dapat membantu BUMDes dalam melakukan analisis potensi dan kebutuhan, sehingga bisnis yang dibangun benar- benar berdasarkan potensi dan kebutuhan. Karena bisnis harus dibangun atas dasar kebutuhan, bukan keinginnan ataupun gagah- gagahan mengikuti perkembangan bisnis lainnya.
Lalu bagaimana dengan konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat desa?
Kawasan Ekonomi Desa
BUMDes itu lembaga bisnis sosial. Bahkan, tanpa profit pun, BUMDes tetap sukses jika memang yang berhasil dikembangkan adalah usaha masyarakat. Maka dari itu, formulasi waralaba konteks Manggarai pun dirumuskan dalam konsep ekonomi kawasan.
BUMDes- BUMDes dalam sebuah kawasan dihimpun membentuk pusat perdagangan kawasan. BUMDes menjalankan core bisnis berdasarkan hasil musdes, sedangkan masyarakatnya difasilitasi gerai-gerai dagang. Produk unggulan kawasan perdesaan (Prukades) dipasarkan di sana, sambil juga dijual pada jaringan bisnis lain yang sudah tergabung. Segalanya diatur dalam suatu managemen bisnis bersama.
Konsep bisnis ini juga mengarah pada industri pasca panen berbasis rumah tangga, guna menaikkan nilai jual barang produksi masyarakat, terutama produk pertanian.
Formula ini dirancang sebagai bentuk keprihatinan akan keberadaan puluhan ribu BUMDes yang mangkrak di Indonesia, bahkan beberapa diantaranya dinyatakan pailit.
Catatan pentingnya, BUMDes tidak boleh dikelola secara eksklusif, karena kisah sukses Ponggok dan Panggungharjo juga berawal dari keterbukaan pada jaringan bisnis lainnya. Mari menempatkan BUMDes sebagai wadah kebangkitan ekonomi, dari desa.
*Direktur Change Operator, Pegiat Desa