Oleh Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Video perkelahian dua orang Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi viral hari-hari ini. Video yang ramai didiskusikan banyak orang itu seakan mempertontonkan watak kebinatangan manusia. Dari sumber akurat, locus video tersebut konon terjadi di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).
TONTON JUGA: Video Duel Seru Gampar vs Jeramun di Kantor Bupati Mabar
Menyebut Mabar, mata semua orang tentu tertuju pada komodo; salah satu sisa hewan purbakala yang kini masih hidup di sana. Saat ini, komodo menjadi pusat perhatian tidak saja Indonesia tetapi juga masyarakat dunia.
Di tengah hampir separuh masyarakat mengarahkan perhatian pada wabah korona, pesona komodo seakan terus melambung sejalan dengan banyaknya rencana elite kekuasaan menjadikan tempat ini sebagai salah satu kawasan wisata super-ekslusif dan super-premium.
Karena super-premium, hanya orang-orang berduit yang boleh pergi ke Labuan Bajo. Mereka yang memiliki kandungan dompet yang tebal boleh mengunjungi komodo. Yang miskin papa, dilarang ke sana karena status kawasan super tadi.
Menariknya, di tengah maraknya wacana terkait dengan status komodo dan Labuan Bajo, sebuah tontonan kekerasan muncul seketika. Video perkelahian itu tentu tidak hanya menggambarkan kekuatan dan kebuasan komodo, tetapi menunjukkan watak kebinatangan manusia. Dua orang manusia berkelahi seperti komodo bertarung merebut mangsa.
Galibnya, setelah ditelusuri, yang bertarung di video tersebut adalah ASN berkadar pimpinan. Kepala Bagian adalah pucuk pimpinan dalam sebuah slot birokrasi Indonesia. Di otak kepala bagian inilah nyawa organisasi dipertaruhkan.
BACA JUGA: Kantor Bupati Jadi “Ring Tinju”, Begini Respon Bupati Mabar
Dalam birokrasi Indonesia, kepala bagian adalah roh dari organisasi. Sebab, semua kebijakan dari pimpinan di level atas (bupati dan kepala dinas), dijalankan oleh bagian-bagian tertentu. Di situ, kepala bagian menjadi penting.
Dalam kerangka yang sama, kepala bagian adalah obor dan dian bagi staf di bawahnya. Mereka menjadi suluh yang terus menerangi kegelapan praksis birokrasi. Itu ideal.
Faktanya, kepala bagian di pemerintahan Kabupaten Manggarai Barat bertarung antarsesama kepala bagian. Menariknya lagi, jika kita agak jeli, secara sosial kedua orang ini masih memiliki hubungan keluarga.
Secara struktur, di kantor, keduanya bukan adik dan kakak. Pada jam dinas, keduanya bukan anggota keluarga. Keduanya adalah sesama pimpinan. Bahwa di rumah mereka berdua boleh merebut nasi yang ada di meja, silakan. Di kantor, model perebutan nasi di rumah tidak bisa dipraktikan.
Karena itu, dalam sosiologi, dikenal pola-pola hubungan sosial. Pola-pola hubungan sosial itulah yang disebut struktur sosial. Isi utama struktur sosial adalah status dan peran. Status dan peran mereka berdua di rumah tentu berbeda ketika berada di kantor. Dalam konteks itu, perkelahian bisa saja terjadi (antarsesama anggota keluarga atau pun sebagai kepala) dan sulit dibantah.
Meski demikian, memeriksa komodo dan Labuan Bajo untuk disandingkan dengan status mereka dalam birokrasi, perkelahian itu sulit diterima dan laik diperiksa. Sebab, perkelahian itu tidak saja menafikan kelemahlembutan manusia, tetapi juga memperlihatkan watak buas komodo.
Di sisi yang lain, jika logika neoliberal masuk dan menjadikan Labuan Bajo sebagai kawasan super-premium, bukankah negara dalam skema ekonomi politik menjadi sahabat dan teman modal dalam merancang dan menjadikan Labuan Bajo sebagai kawasan ekslusif itu? Jika demikian, bagaimana bisa diterima kalau aparatur birokrasinya buas seperti komodo?
Tulisan ini tidak akan masuk ke sana. Tulisan ini ingin menghubungkan perkelahian kedua pimpinan ASN di Kabupaten Mabar dengan risiko masyarakat modern. Di sana, jempol harus disebut dan laik didiskusikan.
Jempol harus didiskusikan karena, meskipun bukan sebagai akar masalah, membaca perkelahian kedua ASN secara kronologis, besar kemungkinan perkelahian itu dipicu karena ketidaktertiban jempol di kanal media sosial.
BACA JUGA: Bogem Mentah Gampar vs Jeramun, Status WhatsApp Ini Pemicunya
Saat jempol sibuk menulis sesuatu tanpa diarahkan akal, di situ rasa bermain amat sempurna. Perkelahian bisa dijelaskan dengan amat terang di sana. Di titik itu, sensus (rasa) sungguh menjadi momok atas rasio (akal).
Risiko Masyarakat Modern
Dalam salah satu artikel terbaru, Jehamat, Jelahut, dan Damanik (2020) khas menjelaskan fenomena risiko masyarakat modern. Mereka menyebutkan hoaks sebagai salah satu risiko. Selain hoaks, penyalahgunaan media sosial oleh manusia berakal juga menjadi risiko lain masyarakat modern saat ini.
Meminjam pendekatan Ulrich Beck, Jehamat, Jelahut, dan Damanik menyitir bahwa saat ini masyarakat modern terus dihantui berbagai macam risiko. Sebab utamanya karena manusia modern sulit mengontrol rasa.
Akal pada titik tertentu dipakai bukan untuk merumuskan kebijakan yang sehat dan positif. Akal dipakai terutama untuk tujuan memanipulasi kebenaran dan merongrong sisi pribadi manusia lain.
Mendengar percakapan kedua ASN yang berkelahi di video yang sedang viral itu, sulit untuk tidak mengatakan, tulisan di ‘status whatsapp’ kental menjadi pemicu perkelahian.
Saya menyebut tulisan pada status whatsapp sebagai pemicu sebab, sebagaimana dalam setiap konflik, selalu saja ada akar masalah. Dengan demikian, status yang ditulis di whatsapp hanyalah pemicu yang menggerakan dan mendorong keduanya berkelahi. Akar masalahnya hanya mereka berdua yang tahu.
Pelajaran bagi kita
Perkelahian kedua ASN tersebut tentu menjadi tamparan keras bagi aparatur sipil dan pemimpin politik di atasnya. Di birokrasi Indonesia, telah ada mekanisme penyelesaian konflik. Setiap yang salah wajib dihukum sesuai aturan yang berlaku. Itu saja.
Lalu, bagi kita, perkelahian itu memberi pelajaran penting. Pelajaran utamanya ialah ketat mengontrol jempol dan mengasah akal kita. Tujuannya agar kita bisa membedakan dan tentu menilai mana tulisan yang berdampak luas dan mana yang tidak.
Media sosial saat ini tidak saja menjadi berkat tetapi sekaligus menjadi kutukan bagi manusia yang tidak dapat mengontrol jempolnya itu. Setiap yang dengan mudah menulis apa pun di media sosial tanpa mempertimbangkan risiko sosial berikutnya, laik dihukum.
Perkelahian antardua orang ASN di Mabar merupakan puncak gunung es dari perilaku masyarakat modern. Setiap yang tidak hati-hati, waspada, dan sadar akan kegunaan media, akan menemui titik kritisnya. Dengan kata lain, yang tidak menggunakan media secara fungsional akan berdampak pada disfungsinya individu tersebut di ruang sosial.