Oleh: Y. Sonny Ngabur*
Suhu politik Manggarai akhir-akhir ini sulit dikendalikan. Pendistribusian baliho dan pamflet dilakukan sangat cepat. Hiruk-pikuk ini memperlihatkan baliho dan pamflet tersebar di mana-mana, bahkan ada yang tercecer tak beraturan di persimpangan jalan.
Sebagian orang kagum dengan pemandangan ini, tetapi bagi kaum yang sangat idealis tentang definisi keindahan akan mencak-mencak dengan situasi ini. Bagi mereka ini sampah visual.
Perspektif kaum idealis ini tentu saja mengacu pada keadaan dimana terdapat baliho yang didesain asal jadi yang tentu hasil akhirnya merusak pemandangan.
Gelombang dukungan mengalir kencang untuk semua pasangan calon yang hendak bertarung. Perdebatan tentang kandidat muncul hampir di setiap obrolan. Awalnya bicara bisnis pada akhirnya membahas politik. Awalnya cerita putus cinta ujung-ujungnya patah hati karena perbedaan pandangan politik. Situasi ini sangat estetis dan ironi sebab ada saatnya perbedaan itu sangat diapresiasi dengan gelak tawa dan relasi akur yang sangat berkesan.
Akan tetapi, keadaan ini menjadi sangat bertentangan manakala obrolan terjadi di media sosial semisal Facebook. Perdebatan terlihat sengit, perang sesungguhnya terjadi. Mulai dari penyampaian argumen secara santun sampai yang pura–pura santun, dari yang berusaha keras untuk bijaksana sampai yang bar-bar tanpa memperdulikan orang lain.
Caci-maki tak terhindarkan, bahkan perdebatan tak berbobot sering ditemui Bagaiamana Cara Kandidat Memegang Botol Tuak Kepok bahkan menjadi tesis yang seakan-akan sangat menentukan integritas seorang kandidat. Ini aneh, tetapi nyata dalam percaturan politik Manggarai.
Semua timses (tim sukses) dan tipem (tim pemenangan) saling mengklaim bahwa kandidatnyalah yang layak memimpin Manggarai. Perdebatan-perdebatan semakin tak terkendalikan hingga pada akhirnya tidak ada yang mau mengalah dan malah merasa paling benar. Hal jenaka-menggelikan kadang terjadi, baik timses maupun tipem kadang memperdebatkan dua indikator yang berbeda. Tentu saja hal ini terlihat konyol dan seolah-olah kebodohan dipertontonkan. Argumen yang disampaikan dinilai paling benar dan para penyampai argumen sudah barang tentu merasa diri paling benar.
Salah satu contoh yang sangat lekat dalam kepala saya, pada group Facebook Manggarai Bebas Berpendapat ada beberapa oknum yang merasa dirinya paling pintar dan dengan serta merta mengerdilkan orang lain.
Diksi-diksi yang digunakan tak keruan; bodoh, tolol, IQ jongkok, dan minum air comberan merupakan sedikit dari sekian banyak diksi yang digunakan untuk mengerdilkan orang lain.
Seakan-akan rasa empatik sebagai manusia terhadap manusia lain sirna sekejap. Pada kesempatan lain semua berubah wujud menjadi ahli bahasa; mengoreksi tata bahasa yang baik dan benar, lalu menyudutkan pribadi yang membuat tulisan. Diitambah lagi para kandidat terprovokasi dengan perdebatan-perdebatan issue strategis dalam pilkada tahun ini. Blunder dalam acara tatap muka dengan konstituen tak terhindarkan.
Video potongan pembicaraan yang “membesarkan” diri tersebar luas dan tak terkendali. fakta-fakta ini tentu merujuk pada psoses demokrasi yang abnormal. Kondisi ini mengingatkan kita pada salah satu gangguan kepribadian yang termuat dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM IV). Gangguan kepribadian yang dimaksud adalah narsistik.
Gangguan kepribadian narsistik merupakan pola berulang dari kesombongan, kecongkakan, dan egoisme yang menjauhkan diri dari pergaulan.
Seseorang disebut memiliki gangguan kepribadian narsistik apabila memiliki sekurang-kurangnya lima dari sembilan tanda berikut, (1) melebih-lebihkan prestasi dan bakatnya, merasa dirinya seorang yang hebat; (2) selalu membutuhkan kekaguman dan pujian orang lain; (3) berfantasi tentang kesuksesan, kecantikan, kekuasaan, dan ketenaran tanpa batas; (4) menganggap diri istimewa dan unik sehingga hanya rela bergaul dengan orang-orang lain yang berstatus tinggi atau berhubungan dengan institusi yang berkelas; (5) merasa berhak untuk mendapatkan perlakuan istimewa atau orang lain harus selalu mengikuti kemauannya; (6) mengeksploitasi orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan; (7) tidak dapat mengenali atau berempati dengan perasaan dan kebutuhan orang lain; (8) selalu iri hati dengan kesuksesan dan kepemilikan orang lain; (9) berperilaku arogan, congkak, dan angkuh.
Teori yang digunakan, yaitu teori psikoanalis yang dipelopori Freud, sebagaimana dalam bukunya General Introduction to Psychoanalysis: Psikoanalisis Sigmund Freud yang diterjemahkan oleh Ira Puspitorini, dialah (Freud) orang yang pertama kali menggunakan istilah narcissistic untuk mendeskripsikan orang-orang yang menunjukkan bahwa dirinya orang penting secara berlebih-lebihan dan yang terokupasi dengan keinginan mendapatkan perhatian.
Fase yang dilalui semua anak sebelum menyalurkan cinta mereka dari diri mereka sendiri kepada significant person, sehingga anak terfiksasi pada fase narsistik. Narsistik merupakan reaksi asumsi untuk menghadapi masalah-masalah self-worth yang tidak realistik sebagai hasil dari penurutan dan evaluasi yang berlebihan dari orang-orang yang signifikan (Freud, 2002).
Dalam kehidupan sehari-hari sering terlihat dan terdengar perilaku narsis. Narsis merupakan salah satu penyimpangan kepribadian mental seseorang di mana orang tersebut memiliki perasaan yang berlebihan bahwa dirinya lah yang paling penting, dan menginginkan untuk selalu dikagumi. Penyimpangan kepribadian adalah istilah umum untuk jenis penyakit mental seseorang, di mana pada kondisi tersebut cara berpikir, cara memahami situasi, dan kemampuan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi normal.
Orang-orang yang narsis meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih unggul daripada orang lain dan kurang bisa menghargai perasaan orang lain. Namun, di balik rasa percaya dirinya yang teramat kuat, sebenarnya orang narsis memiliki penghargaan terhadap diri sendiri yang lemah, mudah tersinggung meskipun terhadap kritikan kecil.
Sebenarnya kata narsis sendiri berasal dari seorang tokoh bernama Narciscus (bangsa Yunani) yang gemar mengagumi dirinya dengan bercermin di atas kolam. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar mengapa orang-orang yang terlalu berlebihan dalam mengagumi dirinya sendiri disebut narsis. Narsisme memiliki spektrum yang lebar, dari ringan sampai berat. Sedikit narsisme adalah normal dan sehat. Setiap orang sesekali perlu mementingkan diri sendiri dan menjaga harga diri. Masalah timbul bila kadarnya sudah berat sehingga merugikan diri sendiri dan hubungan dengan orang lain.
Kembali dalam konteks pilkada Manggarai 2020. Para actor lapis 1 sampai lapis sekian, semua orang berebut mendapatkan pengakuan entah itu dari masyarakat akar rumput atau dari kandidat itu sendiri.
Dorongan dalam diri yang begitu kuat untuk mendapatkan kekuasaan membuat mereka sulit mengontrol sikap dan perilaku mereka. Semoga dugaan tentang bahaya gangguan kepribadian narsistik dalam politik pilkada kita kali ini tidaklah benar adanya.
Akan tetapi, jika ini sudah menunjukkan gangguan mental, sangat diharapkan untuk mulai turun ke bumi dan mencari pertolongan pada pihak yang kompeten. Budaya politik yang benar adalah politik yang tidak menyisakan sekat-sekat antar pendukung dan mampu menyatukan perbedaan.