Editorial, Vox NTT-Insiden perkelahian dua ASN di Kantor Bupati Manggarai Barat menampar muka birokrasi. Perkelahian yang dipertontonkan di depan kantor publik tersebut merupakan aksi memalukan sekaligus memilukan.
Memalukan karena sebagai pejabat, keduanya lebih memilih adu otot dari pada otak dan memilukan karena dilakukan oleh pemimpin birokrasi yang seharusnya memberi teladan yang baik.
Akibat dari perkelahian tersebut, wibawa pemerintah daerah Manggarai Barat runtuh di mata publik lokal, nasional bahkan internasional.
Tak hanya itu, perkelahian dua ASN jenjang Kepala Bagian tersebut menurunkan citra pemerintah daerah di mata masyarakat. Apalagi aksi tersebut dilakoni oleh dua orang yang sedang dan pernah menjabat sebagai Kabag Humas, sebuah bagian penting birokrasi pemerintahan yang lekat dengan urusan pencitraan publik.
Pencitraan dalam ilmu komunikasi berkaitan persepsi. Jika pesan yang disampaikan mampu mengubah persepsi seseorang, maka komunikasi tersebut berjalan efektif dan efisien.
Aksi duel yang dipertontonkan dua oknum ASN ini, dalam kaca mata komunikasi, dapat dibaca sebagai pesan. Pesan itu telah beredar luas melalui kanal-kanal komunikasi rakyat seperti media massa dan media sosial. Pesan itu membawa makna “Inilah Wajah Birokrasi Manggarai Barat”. Tentu wajah yang dimaksud adalah wajah buruk birokrasi Mabar.
Sebagai pemimpin birokrasi, mereka seharusnya memberikan teladan yang baik kepada bawahan. Keteladanan itu mesti diwujudkan dalam pikiran, perkataan maupun tindakan.
BACA JUGA: Sosok Gubernur NTT El Tari: Memberikan Uang Sisa Perjalanan Dinas ke Panti Asuhan
Maka setiap masalah yang terjadi seharusnya dapat diselesaikan melalui jalur komunikasi konstruktif. Mengapa? Karena komunikasi adalah roh birokrasi. Tanpa komunikasi, birokrasi tidak dapat berjalan dan bekerja sebagaimana mestinya.
Dalam budaya Manggarai, komunikasi lewat jalur lonto leok (duduk berkumpul membahas persoalan secara bersama) dapat menjadi sarana pemecahan masalah, sekaligus menghindari konflik dan kekerasan dalam birokrasi.
Namun sayangnya, kebajikan lokal para leluhur ini tidak digunakan sebagai wadah pemecahan masalah. Kedua ASN ini lebih memilih jalur otot sebagai jalan keluar. Logikanya, siapa yang kuat, dia yang menang. Ya, mirip dengan metode penyelesaian hewan liar saat memperebutkan makanan di hutan belantara.
Manusia memang punya sisi kebinatangan dalam dirinya sebagai sisa-sisa warisan DNA sapiens purba, namun hal itu bukan pembenaran untuk berlaku seperti binatang. Yang membedakan homo sapiens dengan binatang lainnya ialah akal budi dan perasaan. Karena itu, agar sisi kebinatangan tidak menguasai kita, pakailah akal budi dan perasaan dalam menyelesaikan masalah.
Kembali ke kasus duel ASN, aksi tersebut merupakan tontonan watak purba kala manusia yang tidak layak disuguhkan di kantor dan ruang publik.
Kasus ini tentu tidak boleh berlalu begitu saja. Publik sedang menanti sikap tegas dari Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch. Dula. Bupati Dula sebagai pemimpin daerah harus menonjobkan kedua ASN tersebut dari jabatannya.
Alasan pertama, kedua ASN telah memberi teladan yang buruk bagi bawahannya. Mereka tidak layak disebut pemimpin yang menggerakan para bawahan mencapai visi-misi pemerintah Manggarai Barat.
Kedua, integritas rendah. Integritas yang dimaksudkan di sini ialah keseimbangan antara kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual. Perkelahian kedua ASN di depan bawahan dan disaksikan oleh publik merupakan bukti runtuhnya integritas diri mereka.
Ketiga, akibat kasus tersebut, wajah pemerintah daerah Manggarai Barat buruk di mata publik. Karenanya, bupati Dula harus menonjobkan mereka agar dapat menciptakan efek jera bagi pejabat yang lain.
Keempat, dengan menonjobkan kedua ASN, citra buruk pemerintah daerah Mabar berangsur-ansur dapat dipulihkan. Sikap tegas pucuk pimpinan adalah obat mujarab untuk mengembalikan kepercayaan publik. Kalau tidak, publik bisa saja menilai Bupati malah berkompromi dengan budaya kekerasan dalam birokrasi. (VoN).