*) Pusi-Puisi Gratio Ignatius Sani Beribe
Nasihat Ibu I
: Air Mata Tuhan
Waktu itu laju bayu malam menjelma pilu
Kau dan aku bernaung dalam tempat paling sunyi
Yang sama-sama kita sebut bilik tersuci
Bersimpuh kita dalam segala doa dan permohanmu
Memohon selaksa berkat di dunia yang mengikis raga jadi debu
Dari Sosok yang menggantung kaku pada tiang salib
Tengadah raut merana wajahmu membisikan aksara yang penuh sirat
Tertuang tersurat dalam rebahan air mata di kedua sisi rupamu
Setelah barakhir alunan sukmamu memadahkan doa
Kau berbalik sambil mengusap wajahmu yang kuyub air mata
Lalu aku bertanya,
“Bu, apakah Tuhan juga menangis dan menyeka airmata-Nya sepertimu?”
“Tidak nak, Tuhan tidak pernah menangis. Sebab Ia hanya milik orang yang berbahagia”
Malang, Maret 2020
Nasihat Ibu II
: Kopi Pahit
Hari ini
Aku gagal lagi
Untuk memecahkan rahasia dalam sudut-sudut trigonometri
Yang dikelabuhi oleh sakit lambung pada tubuh ini
Karena pekat kafein rasa kopi yang kuteguk dengan lahap malam tadi
Kau lalu mengingatkanku:
Jika ingin tetap terjaga saat malam hari
Secangkir kopi pahit merupakan teman terbaik untuk menjejal sepi
“Kenapa harus kopi pahit?”
“Karena dengan menyeduh kopi tanpa gula nak,
adalah cara terbaik engkau untuk mengenal dunia”
Malang, Maret 2020
Nasihat Ibu III
: Keindahan Rupa
Ibu,
Anakmu ini sedang patah hati
Dikalahkan rekayasa dunia yang kupikir realitas
Bahwa hanya ada suka pada babak hidup remaja
Ternyata begitu sakit Bu,
Ketika cinta yang pertama kali kurasakan
Hanya berbalas dengan sebuah kata penolakan
Yang membuat relung hati ini disayat sembilu bermata pilu
Ibu lalu datang mendekat
Sambil megusap helaian rambut kritingku
Dia berkata,
”Nak, Tuhan kadang kala suka bercanda
Ia sengaja membuatmu terluka untuk sesuatu yang lebih indah di depan sana.
Maka jangan mudah terbuai dengan keindahan rupa,
sebab ialah yang paling rapuh digerus oleh waktu.
Tetapi terbuailah dengan hati yang tetap bertahan tak kenal waktu”
Malang, Maret 2020
Via Dolorosa
Tak ada yang tersisa Jumat ini
Hanya pekat gelap warna kopi
Tempatku sering menuangkan banyak luka
Seraya menyeduhnya dengan getir via dolorosa kita
Kau bilang kita tak bisa berdiri lagi
Setelah jatuh yang ketiga kali
Namun seluruh pahit kesedihan ini tak bisa kulepas
Aku masih menunggumu di perhentian kedua belas
Malang, Februari 2020
*Nama penulis Gratio Ignatius Sani Beribe atau yang akrab disapa Gratio. Lahir di Kupang 19 Juni 2002 yang kini tengah menempuh pendidika tahun terakhir di SMAK Kolese Santo Yusup Malang. Kesukaannya menulis puisi sudah dimulai sejak duduk dibangku kelas enam SD.