Labuan Bajo, Vox NTT -Aktivis pergerakan Himpunan Pemuda Mahasiswa Manggarai Barat (Hipmmabar) Jakarta Yosef Sampurna Nggarang mempertanyakan motif Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOP-LBF) teken Memorandum of Understand (MoU) dengan grup investor yang tergabung dalam Kokotuku Sanctuary Consorsium (KSC).
Pria yang akrab disapa Yos tersebut menduga ada konspirasi besar yang sedang diperankan Dirut BOP-LBF Shana Fatina.
Point yang melatari dugaanya terlihat pada beberapa rentetan peristiwa dalam tubuh BOP-LBF selama ini.
Rentetan itu katanya, bermula dari surat tugas dengan Nomor: IL.10.01/116/MENPAR/2019 dari Menteri Pariwisata Arief Yahya kepada Shana Fatina sebagai Dirut BOP-LBF pada 5 Agustus 2019.
Poit 1 dalam surat tugas itu, Shana Fatina ditugaskan: fokus bekerja menyusun road map pembangunan infrastruktur kawasan BOP-LBF selama 5 (lima) bulan terhitung mulai sejak 12 Agustus hingga 31 Desember 2019.
Namun, pada tanggal 9 Oktober 2019, Shana kembali aktif. Ia ditugaskan kembali menjadi Dirut BOP-LBF.
“Jadi, Shana ditugaskan di Jakarta dan selama menjalankan tugas di Jakarta, penyelenggara administrasi dan manajemen BOP-LBF dilakukan oleh pelaksana harian,” ujar Yos kepada awak media di Labuan Bajo, Minggu (08/03/2020).
Artinya, kata dia, Shana bukan sebagai Dirut BOP-LBF. Sebab, penyelenggaraan administrasi dan manajemen BOP-LBF dilakukan oleh pelaksana harian. Pelaksana harian itu adalah Frans Teguh.
“Jadi kalau merujuk surat tugas 5 Agustus 2019, jelas bahwa Shana di-non aktif dari Dirut BOP-LBF mulai tanggal 12 Agustus-31 Desember,” terang Yos.
Namun pada tanggal 9 Oktober 2019, Shana ditugaskan atau diaktifkan kembali sebagai Dirut BOP-LBF oleh Menteri Menteri Pariwisata. Padahal sudah jelas dalam surat tanggal 5 Agustus 2019, Shana bertugas mulai 5 Agustus-31 Desember.
“Ketika yang terjadi, dia diaktifkan kembali pada 9 Oktober 2019, ada pengingkaran terhadap surat tugas sebelumnya,” kata Yos.
Lebih lanjut ia menambahkan, hanya berselang 9 hari usai aktif menjadi Dirut, Shana Fatima menandatangani MoU dengan KSC.
“Bayangkan, 9 hari setelah aktif jadi Dirut, ia teken MoU dengan KSC,” lanjutnya.
Sebelumnya, sebagaimana dibertakan Pos Kupang, Shana membantah bahwa belum ada MoU dengan pihak KSC.
Padahal, MoU sudah ada dengan pihak KSC.
“Soal MoU, saya melihat ada kejanggalan. Pembuatan MoU tanggal 18 Oktober 2019, lalu tanda tangan tanggal 2 Oktober,” katanya.
Artinya, tanda tangan terjadi tanggal 2 Oktober sebelum pembuatan MoU pada tanggal 18 Oktober.
Yang kedua, kata Yos, penandatanganan tanggal 2 Oktober itu saat BOP-LBF masih dipimpin oleh pelaksana harian Frans Teguh.
“Namun mengapa Shana yang menandatangani? Padahal Shana baru ditugaskan kembali sebagai Dirut BOP-LBF tanggal 9 Oktober,” tukas dia.
“Soal perbedaan tanggal pembuatan MOU dan tanggal tanda tangan, saya mengkonfirmasi kepada pihak KSC dalam hal ini Pak Sil Deny, beliau mengatakan bahwa benar sudah terjadi MoU, soal tanggal saya kurang tahu persis,” lanjut Yos.
Yos mengaku, sudah mengirimkan surat MoU dan meminta klarifikasi soal tanggal teken apakah tanggal 18 Oktober atau 2 Oktober.
Sil Deny lantas menjelaskan, 18 Oktober itu adalah tanggal pembuatan MoU. Sedangkan, 2 Oktober adalah tanggal penandatanganan MoU.
Menurut Yos, hal ini merupakan kejanggalan. Ia beralasan MoU tersebut terkesan dipaksakan.
“Tanda tangan dulu baru buat MoU. Maka saya menduga ini ada “permainan”,” ujarnya.
Terkait point MoU, Yos menegaskan BOP-LBF sangat mengistimewakan pihak KSC.
Pada point ruang lingkup MoU di Pasal 2 point ke-5, misalnya, menyebutkan, “Mendorong tersedianya regulasi yang berorentasi pada upaya mendukung rencana pengembangan pariwisata di kawasan Kokotuku Sanctuary dan Kokotuku Batu Tiga, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat”
“Pertanyaan saya, ada apa BOP-LBF dengan pihak KSC ini? Kok BOP-LBF memperlakukan sangat istimewa kepada KSC, sebagaimana bunyi Pasal 2 di point 5 di atas?” tukas Yos.
“Apakah nanti, semua yang mau berinvestasi melahirkan MoU dengan BOP-LBF diistimewakan seperti dengan pihak KSC? Direksi harus menjelaskan ini, secara terbuka ke publik,” lanjut dia.
Yos juga mempertanyakan apakah MoU dengan KSC lebih penting dari agenda pembangunan lainnya, sebab begitu diistimewakan.
“Apakah lahirnya MoU ini, hanya peran seorang Dirut BOP yaitu Shana Fatima? Toh yang kita tahu, di BOP-LBF terdiri dari 5 direksi, apakah tidak ada peran Direktur Destinasi saudara Hery Nabit? Hery Nabit juga harus menjelaskan ini, apakah punya andil memberi masukan untuk menetukan kawasan itu menjadi destinasi atau KEK? (Kawasan Ekonomi Khusus),” tanya Yos.
Kalau tidak dilibatkan, ujar Yos, maka dugaan publik selama ini bahwa manajemen BOP-LBF sedang ada masalah dan terkesan one man show benar adanya.
Point lain kata Yos, penandatannganan MoU itu dilakukan persis satu hari menjelang menteri-menteri dalam Kabinet Presiden Jokowi demisioner pada, 19 Oktober 2019.
“Ini menarik, MoU ditandatangani 1 hari sebelum Menteri Kabinet Jokowi demisioner tanggal 19 Oktober 2019. Patut diduga, diaktifkannnya Shana menjadi Dirut dan penandatangan MoU itu, bagian dari skenario mengamankan kepentingan pengusaha di lingkaran penguasa. Kalau Shana tidak cepat diaktifkan, bisa saja Shana tidak diangkat oleh menteri baru,” tambah Yos.
Pada kesempatan yang sama, ia menegaskan, masyarakat punya kewenangan untuk mempertanyakan kinerja BOP-LBF.
“Pasal 25 ayat 6 Perpres Nomor 32 tahun 2018 berbunyi, masyarakat dapat memperoleh akses terhadap laporan kegiatan, keuangan, dan audit mengenai pelaksanaan tugas dan fungsi BOP. Karena itu, BOP-LBF harus terbuka kepada publik tentang kegiatan atau kerja sama yang dilakukan BOP-LBF,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengunduran diri 3 Direktur BOP-LBF selama beberapa bulan terakhir, mesti dijelaskan ke publik.
“Alasan 3 Direktur BOP mundur harus disampaikan ke publik. Biar jelas. Dengan begitu, masyarakat tidak berspekulasi,” katanya.
Sementara itu, hingga berita ini dirilis Direktur Utama BOP-LBF Shana Fatina dan mantan Direktur Destinasi Herybertus G.L Nabit belum berhasil dikonfirmasi.
Penulis: Ardy Abba