*Cerpen Petrus Nandi
Perjalanan yang jauh dari kota sungguh melelahkan. Syukurlah, aku masih bisa memacu sepeda motor ini meski melewati jalan yang rusak dan menantang. Sudah 5 tahun aku meninggalkan kampung dan tinggal di Jakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi di sana, aku langsung bekerja di sebuah perusahaan dan puji Tuhan, pekerjaan itu cocok. Setidaknya, penghasilan yang aku peroleh cukup untuk membuatku betah bekerja. Hari ini adalah hari pertama aku melawati tanah kelahiran setelah kepergianku 5 tahun lalu itu. Bisa dibayangkan betapa rinduku akan terobati bila aku kembali bersua anggota keluarga dan segenap warga kampung.
Perjalananku tinggal menempuh 10 km lagi, tapi jujur, aku sudah semakin tak sanggup menelusuri jalan berbatu ini. Aku beristirahat sebentar sambil melirik sekelilingku sekedar membangkitkan kembali memori masa kecil yang terkubur, sebab dulu memang aku dan kawan-kawan sering bermain di daerah sini. Kehidupan mewah dan serba ada di kota telah mengubah diriku menjadi manja. Dan sungguh, banyak nilai kehidupan kota yang telah membentuk aku. Jalan raya di Jakarta semuanya mulus, tidak berbatu, meski kadang masalah kemacetan membuat orang mengimpikan Jakarta pada ratusan tahun silam, saat jalan masih berbatu dan kuda atau hewan lainnya menjadi alat transportasi yang tidak menimbulkan kemacetan. Maka tidaklah mengherankan, menghadapi jalan berbatu begini, aduh mama sayang, aku tak sanggup.
Kondisi jalan menuju kampung ternyata tidak berbeda dengan 5 tahun lalu. Pemerintah Daerah enggan memperhatikannya. Entah mengapa, barangkali mereka tertidur, atau sedang duduk santai di atas kursi empuk, atau bepergian ke luar negeri dengan dalih melakukan kegiatan studi banding dan menghabiskan banyak anggaran daerah untuk pembangunan, atau sibuk membagi jatah proyek di antara mereka, entahlah.
Sudah ah! Memikirkan mereka tidak akan mengubah kondisi jalan ini. Mendingan aku lanjutkan saja perjalanan ini. Sudah tidak sabar menunggu reaksi ibu dan adik saat bersua aku. Kupacu lagi sepeda motorku. Dan tibalah aku di kampung.
“Bagaimana kehidupan di kota?” bunda memantik dialog antara aku, dia dan Gian, adikku. “Huh….” Selepas menghembus nafas panjang aku menjawabnya, “Semuanya berlangsung baik dan aman saja, bun”. Tak ingin ketinggalan informasi, Gian pun bertanya pula, “Di kota ramai kah?”. “Ramai sekali bung, mau ke sana?”, timpalku canda. “Koper kak Andi ditaruh di mana e mama?” Siska berteriak dari ruang tengah. “Di kamarnya to? Masakan di WC?” Timpal mama dari ruang tamu. Terdengar Siska merajuk sebab merasa tidak puas dengan respon mama, “Mentang-mentang dia punya anak kesayangan sudah tiba, eh Siska diabaikan.” “Sudah, taruh saja sana, taruhnya pakai tangan bukan pakai mulut.” Hahah, mama rupanya tak mau kalah dari Siska nih. Maklum, mama orangnya sangat penyayang, apalagi sama anaknya yang baru pulang dari kota.
Perpisahan 5 tahun memang membuat kami saling rindu sehingga perjumpaan ini terasa sangat istimewa. Jadi, tidak heran jika mama tidak mau dialog kami berdua terganggu. “Tolong perhatiin air yang mama masak ya Sis, kalau sudah mendidih, buatin kopi. Lihat tuh, tetangga kita sudah pada datang. Ambilkan kue yang mama goreng tadi siang, nak. Bawa semuanya ke sini. Kasihan kaka kamu ini sudah lapar.”
Mama terus memerintah dan aku tersenyum manja, bahagia diperlakukan seperti tuan olehnya. “Buatkan kopi untuk kaka Gian juga ya, Sis!” Gian tidak mau ketinggalan memberi perintah. “Iya..iya… bos. Apa lagi?” “Kue juga.” Dari dapur terdengar bunyi tutupan periuk yang dibanting. Siska kesal atas tindakan kakaknya itu. Siska, Siska. “Sudah, jangan dipikirin. Dia memang sering begitu.” Mama meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Ternyata enak yah, jadi laki-laki. Tinggal duduk santai di ruang tamu, eh minumannya diantar sama orang dapur”. Gian mengganggu Siska yang datang mengantarkan minuman. Siska berang. “Sudah, nanti kaka hadiahkan sepatu baru untuk Siska”. Siska puas. “Lalu Gian?” “Nanti kamu juga akan dapat, tapi harus pijatin badan kaka dulu to, biar impas”. Siska tersenyum, merasa bahwa kali ini dia menang. Tak lama berselang, tetangga rumah dan banyak warga kampung berdatangan. Mulailah pembicaraan seru di antara kami. Tidak sedikit yang bertanya soal situasi hidup di kota. Yang lainnya, menceritakan suka dan duka tinggal di kampung. Ada yang mencela dan mengeritik pemerintah yang tak kunjung memperhatikan kampung, ada pula yang mengeluhkan harga hasil panen yang terus menurun, dan masih banyak lagi. “Omong-omong, kak Paul di mana, ya?” Tanyaku pada mama dan para tetangga. Suasana seketika jadi hening. Tidak ada suara. “Hidup di kota pasti enak ya?” Seorang bapak bertanya demi mencairkan keheningan, dan mulailah aku menceritakan kehidupan kota dengan segala suka dan dukanya juga. Pembicaraan mengenai Paul tidak diteruskan. Karena hari semakin malam, para warga terpaksa kembali ke rumahnya masing-masing.
Setelah selesai makan malam, tibalah giliran pemuda, teman-teman sebayaku semasa kecil hingga SMA mengunjungiku. “Bawa apa dari Jakarta An?” Jery menyapa sambil memelukku. “Pasti bir ya?” “Pastilah, anak Jakarta masakan bawa mice1?” Bone menyambung, lalu disambut tawa ria pemuda yang lain. Kemudian kuambilkan beberapa botol bir dari dalam tas untuk diminum bersama. Semua larut dalam sukacita.
Di sela-sela perbincangan, kuambil memo dari dalam tas dan menuliskan ini: “Pulang kampung adalah perihal pergi menuntaskan rindu yang sering bergejolak. Tak sebatas itu, pulang kampung adalah perihal menengok kenangan yang hampir tenggelam dalam mulut waktu, begadang hingga larut malam dengan para sahabat sekedar menengok kembali nostalgia lama dan tertawa ria kala mengingat saat-saat kita menghayati kegilaan masa kecil, saat dunia menyajikan suasana hidup tanpa beban dan kita dibiarkan lenggak-lenggok sana-sini, menghabiskan hari dengan bermain dan menikmati permainan klasik. Teringat akan peristiwa saat aku merasa bahagia ketika saku celanaku penuh dengan biji kelereng setelah memenangi permainan biji kelereng melawan Gani dan Rangga”.
Malam pertama ini kami habiskan dengan bercerita hingga pukul 5 subuh hari berikutnya. Satu per satu pengalaman terbongkar saat zat adaktif bir mulai menggerakkan mulut. Aku sedikit malu karena ada kenangan-kenangan tertentu yang sudah aku lupakan. Kesibukan pekerjaan memang telah membuat aku melupakan banyak hal. Tapi aku sedikit pandai mengelabui. Jika saja ada yang aku lupakan, aku berpura-pura menjadi pendengar setia, sesekali tertawa jika ada momen unik dan lucu, menampilkan kesan seakan tidak terasing dari dunia mereka sambil berusaha memacu ingatanku menyentuh kisah yang hilang itu. Jika kudapat, mulailah aku bicara dengan improvisasiku yang unik. Dan lihatlah, malam menjadi sangat hidup. Kami tertawa, bercanda, bersukaria, merayakan kenangan-kenangan itu dan bersyukur bahwa kami pernah ada di bawah satu payung dunia yang sama.
Malam pertama berlalu. Tibalah pagi hari berikutnya. Suasana riuh pagi hari di kampung memekikkan telinga. Pukul 8, aku bangun dan langsung menuju meja makan. Mama menemani aku makan. Gian dan Siska sudah ke sekolah. “Kak Paul di mana ya, ma? Sejak kemarin aku tidak melihat dia.” Kumembuka kembali perbincangan mengenai Paul. Mama tak menjawab. Hanya menangis. “Jangan lagi tanyakan dia, nak! Nanti mama bisa mati.” Mendengar jawaban itu, aku memilih diam. Terpaksa kulanjutkan saja mengunyahkan makanan di mulut dan mama mulai membicarakan hal-hal lain. Sehabis makan pagi, aku tak habis memikirkan Paul dan keputusan mama untuk tidak perlu memperbincangkan dia.
Paul adalah anak pertama dalam keluarga. Akulah anak kedua. Setelah aku, Gian dan Siska, si bungsu, perempuan satu-satunya. Umur kami berdua terpaut 3 tahun. Mama sangat mencintai dia. Dulu waktu masih hidup, bapa juga sangat mencintai dia. Maklum, dia adalah anak pertama dalam keluarga, pengganti bapa sebagai penyokong hidup keluarga. Hal itu membuat Paul sering diistimewakan. Saat aku dilahirkan, bapa tidak terlalu antusias menyambut kehadiranku di dunia. Saat itu dia menginginkan aku terlahir sebagai perempuan. Masa kecilku bersama Paul adalah luka. Mengingat kembali semuanya bagaikan mengorek kembali luka lama pada tubuh. Sakit.
Aku pernah disuruh Paul mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya untuk dibawa pulang ke rumah. Saat pulang, Paul-lah yang memikulnya dan aku dibiarkan berjalan kosong. Ayah memuji Paul. Aku dicap anak yang malas dan tidak tahu tanggung jaawab. Paul pernah membuka tali pengikat kambing yang diikat ayah di belakang rumah. Saat itu aku ditugaskan untuk menjaganya. Saat ayah pulang dari kebun, ia mendapati kambingnya terlepas dan tewas tergantung di sebuah jurang dekat kampung. Karenanya, aku dipukul hingga berdarah oleh ayah, sedangkan Paul hanya tertawa puas dari jauh. Puncak kedurhakaan anak tak berguna itu ialah pada peristiwa kematian ayah. Andai saat itu Paul cukup gentel, ia takkan membiarkan ayah terhanyut arus banjir.
Ayah dan aku sama Paul baru pulang dari sawah di bawah guyur hujan yang sangat deras. Sungai besar yang menjadi sumber air sawah kami dilanda banjir besar. Kami terpaksa harus menyeberangi sungai itu sebab lewat sungai itulah satu-satunya jalan menuju kampung. Aku sudah diantar ayah ke seberang. Tiba giliran Paul untuk dituntun menyeberang. Paul sok kuat, dan ia memaksakan diri menyeberang tanpa dibantu ayah. Baru beberapa langkah, Paul terseret air. Ayah segera menolongnya. Dipegangnya tangan Paul dan melemparkan tubuh Paul ke pinggir. Naas menimpa ayah, saat arus banjir semakin deras, sementara sebuah batu yang diinjaknya terbawa arus air. Ayah ikut terseret bersama batu itu. Paul tak sedikitpun bergerak. “Kak, ambilkan kayu besar di sampingmu itu, sodorkan pada ayah.” Paul membisu sambil tersenyum. Ayah terus dibawa arus banjir. “Ayahhhh……” Aku berteriak keras, tetapi ayah semakin tak kelihatan. Ia hanyut bersama air hingga terkubur pada rahim laut. Aku tak dapat berbuat banyak. “Paul!…kamu pecundang!”, teriakku kesal.
Paul mengancam membunuhku jika aku menceritakan kronologi kematian ayah pada keluarga. Paul memang dari sananya sudah bermental pecundang. Semua harta warisan ayah diambil olehnya. Aku dan adik-adik tak kebagian. Itulah alasan utama mengapa aku merantau ke Jakarta.
Hari ini aku kembali mengenang Paul. Mengenang mentalnya sebagai pecundang. Aku tak bisa menyembunyikan hasratku untuk menemui dia dan menunjukkan diri padanya tentang siapa aku dan untuk apa aku datang melawati kampung saat ini. “Ma, tolong sampaikan pada Andi, di mana Paul!”. “Mari, ikut mama nak.” Kali ini ia berhenti bungkam. Mama menarik tanganku dan menuntun aku ke halaman belakang rumah. “Lihat kubur itu! Di situlah dia tinggal.” Aku terhenyak kala mendengar kisah dari mama bahwa ternyata Paul mati bunuh diri. Dia menggantung dirinya di kamar, dua bulan setelah aku hijrah ke Jakarta. “Ini surat darinya untukmu, nak.”
Kugapai, lalu kubaca surat itu. Di dalamnya, Paul menuliskan ini untukku:
“Pecundang tidak pantas hidup terlalu lama di bumi ini. Dan, kamu adikku sayang, jadilah pemenang atas hidup ini. Di atas lenganmu kutaruh mimpi ayah yang belum tuntas aku kerjakan, membuat mama dan adik-adik bahagia. Jangan pernah bertingkah sebagai pecundang, seperti aku ini.” Aku tersenyum puas.
Keterangan:
[1] Mice:istilah bahasa daerah Manggarai untuk air nira (berasal dari pohon enau) yang memiliki rasa manis.
Puncak Scalabrini, November 2019.
BIODATA PENULIS
Petrus Nandi, lahir di Pantar-Manggarai Timur-Flores pada 30 Juli 1997. Cerpen-cerpennya pernah dimuat pada media cetak Pos Kupang dan Antologi Cerpen bersama Rumah Sastra Kita dengan judul “Narasi Rindu” (2019). Saat ini ia menetap di Biara Scalabrinian dan menjadi mahasiswa aktif di STFK Ledalero. Petrus dapat dihubungi lewat surel: petrusnandi18@gmail.com; WhatsApp: 081237080773; alamat Facebook: @Petrus Nandi.