Oleh: Edi Danggur*
Uskup Atambua Mgr. Dr. Dominikus Saku, Pr, memberikan renungan dalam momen rekoleksi kategorial untuk para pegawai, pastor, suster, DPD se-Dekenat Malaka, NTT, Senin (09/03/2020).
Menekankan pentingnya memahami ekonomi bermartabat dan ekonomi keselamatan, beliau menjelaskan, ekonomi jangan direduksi hanya ke dalam uang, yang adalah dewa dunia sekarang.
Lebih lanjut Mgr. Saku menegaskan, salah satu poin utama dalam ekonomi keselamatan adalah terlibat dalam usaha pemberdayaan umat. Untuk itu para pastor harus memindahkan altar ke sawah. Para pastor jangan hanya putar-putar di altar tetapi harus mampu membawa altar sampai ke sawah para petani (VoxNTT, 09 Maret 2020).
Tulisan ini akan mengulas tiga hal. Pertama, mengapa altar harus dipindahkan ke sawah, atau tempat lain sesuai latar belakang mata pencaharian umat?
Kedua, apakah gereja dalam arti seumumnya merasa digerakkan oleh pengalaman konkret untuk senantiasa memindahkan altar ke sawah?
Ketiga, apakah gereja siap menghadapi potensi konflik kepentingan yang perlu diwaspadai sebelum altar dipindahkan ke sawah?
Kerasulan ke Luar (Ad Extra)
Penulis tidak bermaksud untuk menjawab pertanyaanini dengan sebuah definisi atau batasan kata per kata. Sebab dalam keadaan keterbatasan pemahaman filosofis dan teologis, tetapi memaksa diri membuat definisi, justru bisa menjerumuskan orang lain ke dalam kegelapan rimba raya tak bernama.
Maka asal bisa mengetahui atau memahami esensi sesuatu istilah, itu sudah cukup, tanpa harus berusaha mendefinisikannya.
Filsuf hukum Herbet L.A. Hart, dalam buku berjudul Konsep Hukum, mengatakan: “Seringkali kita mengetahui atau memahami sesuatu, tetapi kita tidak dapat mendefinisikannya dengan tepat” (2016:19).
Begitu juga pesan bijak mistikus Jesuit Anthony de Mello dalam buku berjudul “Awareness“ mengatakan: “Kebanyakan orang tidak cukup bijaksana. Mereka mencoba menjelaskan sesuatu dengan mengandalkan kata-kata. Dengan demikian, mereka membuat segala sesuatu menjadi salah” (2011:156).
Bagi penulis, himbauan memindahkan altar ke sawah bagi petani, kebun bagi pekebun, tepi pantai bagi nelayan, hendak mengatakan bahwa alasan adanya (raison d’etre) karya pastoral atau karya kerasulan adalah “keluar” (ad extra).
Karya pastoral tidak boleh lagi berada seputar altar untuk beribadah atau berdoa (ad intra) atau “jangan hanya putar-putar di altar” mengutip kata-kata Mgr. Saku.
Jika Mgr. Dominikus mempunyai jiwa humor, mungkin beliau secara berkelakar akan mengatakan begini, “Hai para pastor yang berkarya di keuskupanku, tidak perlu kamu repot-repot urus itu surga. Sebab surga sudah diurus dan ditata dengan sangat baik oleh St. Petrus. Maka para pastor sebaiknya menyibukkan diri mengurus dan menata bumi ini agar semakin manusiawi dan layak dihuni”.
Karya pastoral atau kerasulan yang bersifat keluar (ad extra), bersumber dari karya Yesus sendiri. Pada mulanya adalah keterlibatan! Yesus melibatkan diri dan masuk ke dalam masalah bangsanya.
Di masa itu, ada yang saling peras-memeras di pasar dan terminal. Di bawah meja tempat nasib rakyat diperjuangkan, orang saling injak kaki sambil mata berkedip memberi sinyal niat busuk yang tersembunyi. Ada praktek hukum di mana pejabat-pejabat cas-cis-cus omong soal hukum yang hanya berisi kata-kata yang sebenarnya hanya untuk membohongi rakyat.
Ada pertarungan politik dan ekonomi antara para pejabat dan wakil rakyat yang menyingkirkan orang miskin. Ada penggelapan fakta atau setidak-tidaknya masyarakat mengkonsumsi informasi yang sudah disensor. Bahkan di masa itu, tokoh-tokoh agama ikut menjadi bagian dari upaya penggelapan fakta itu.
Yesus pun gerah dan muak melihat kenyataan bahwa lembaga-lembaga kekuasaan formal yang ada saat itu telah semaput. Tidak hanya lembaga formal di bidang politik, tetapi lebih-lebih lembaga formal di bidang keagamaan.
Lembaga-lembaga itu tidak bisa menjadi kereta perjuangan bagi mereka yang miskin, menderita, tertindas dan tersingkir dari arena pertarungan politik dan ekonomi.
Butuh 40 hari bagi Yesus untuk bersemadi, melakukan pengendapan, dan sesudahnya mengambil keputusan penting. Inilah dua keputusan penting Yesus saat itu: Pertama, melakukan gerakan bersama dengan mereka yang tersingkir dari arena pertarungan politik dan ekonomi.
Kedua, melakukan penelanjangan terhadap aparatur pemerintah dan tokoh agama yang penuh kebohongan dalam berbagai bidang: hukum, politik, ekonomi, dan bahkan moral.
Yesus pun memproklamasikan diri untuk memulai gerakannya dengan mengatakan: “Roh Tuhan ada padaku. Oleh sebab Ia telah mengurapi aku untuk menyampaikan kabar baik bagi orang miskin. Ia telah mengutus aku untuk mewartakan pembebasan bagi orang-orang tahanan dan penglihatan bagi orang buta. Untuk membebaskan orang yang tertindas dan untuk mewartakan bahwa rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19).
Yesus tidak membentuk kelompok. Tidak juga memakai bendera “partai” apapun. Yesus hanya mewartakan ciri-ciri gerakannya, yaitu: belas kasih, keyakinan iman, kesiap-siagaan, kompetensi, solidaritas universal, gerakan aktif tanpa kekerasan, pembongkaran logika atau jalan pikiran yang umum dan magis (dalam arti kegelisahan untuk selalu berbuat dan berpikir lebih). Ciri-ciri gerakan Yesus inilah yang seharusnya mewarnai karya pastoral kita.
Maka semua karya pastoral atau karya kerasulan yang bersifat keluar itu harus merupakan “percakapan menyeluruh” (total conversation) dengan dunia zaman ini dan dalam bidang apa saja: seni, sastra, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, ekonomi, hukum, pertanian, peternakan, perikanan, kedokteran, media massa, bisnis, gerakan massa, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Pengalaman yang Menggerakkan
Percakapan menyeluruh dengan dunia yang merupakan inti karya kerasulan, bukanlah angan-angan, bukan angin surga, tetapi memang sudah seharusnya demikian. Maka percakapan menyeluruh itu harus senantiasa dihidupi dalam hidup kita, kini dan di sini.
Penulis merasa dituntun oleh berbagai pengalaman sederhana untuk merasakan bahwa karya kerasulan itu memang seharusnya tidak boleh diidentikkan dengan pelayanan seputar altar, tetapi harus benar-benar membumi dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Setiap orang bisa saja merasa disentuh oleh pengalaman yang berbeda, tetapi bagi penulis ketiga pengalaman berikut ini selalu menginspirasi, yaitu:
Pertama, ketika suatu kali menontotn film The Mission. Dalam adegan terakhir, terlihat api yang merah melalap seluruh kawasan di tengah hutan. Tragedi yang lengang. Lima anak manusia, sisa dari ribuan suku Guarani, dengan diam-diam, mereka naik sampan, menyusuri sungai, lalu masuk ke dalam rimba yang masih tersisa dari lalapan api.
Di belakang kelima anak manusia itu, seluruh kawasan yang sekian lama dibangun oleh suku Guarani dan para imam Jesuit dibakar penguasa. Pembakaran ini adalah konsekuensi dari sikap suku Guarani yang yang tidak mau dipermainkan imperium Spanyol dan Portugis di Paraguay sekitar tahun 1750.
Kisah dalam film itu sangat inspiratif. Para misionaris Jesuit telah memberi contoh memindahkan altar ke tengah-tengah ladang para petani suku Guarani. Sekalipun dengan konsekuensi bahwa para imam ini bentrok dengan para penguasa politik saat itu.
Kedua, penulis teringatakan kata-kata dalam Doa Syukur Agung V, yang rumusannya begini: “Tetapi, sebelum tangan-Nya terentang antara langit dan bumi ….”. Dengan pemahaman yang terbatas, penulismengartikan bahwa di mataTuhan, surga (yang dipersepsikan ada di atas langit) dan bumi itu, sama pentingnya.
Surga tidak lebih penting dari bumi. Bahkan tiada surga tanpa bumi (no heaven without earth). Ya, kalau bumi tidak begitu penting bagi Tuhan maka tentu Tuhan tidak repot-repot kirim dan lahirkan Yesus putra tunggal-Nya di bumi. Ini adalah bukti bahwa ternyata bumi pun begitu penting di mataTuhan.
Ketiga, pada hari Minggu Biasa XXI Tahun B, di awal misa biasa ada kata pengantar, yang rumusannya kurang lebih seperti ini: Iman itu bukan hanya ketika kita sedang beribadah atau berdoa. Iman tidak bisa hanya dihayati sebatas di sekitar altar.
Sebab iman itu bukan hanya soal batin tetapi harus nyata dan konkret dalam hidup. Menghayati iman harus ditampakkan dalam kata, tindakan dan perbuatan. Sebab dalam pengalaman konkret itu, kita merefleksikan pengalaman kita akan Allah yang menyapa dan melibatkan diri dalam kehidupan kita.
Potensi Konflik
Membawa altar ke sawah, kebun, atau tepi pantai, tidak semudah dalam konsep. Ada potensi konflik di sana. Sebab ada beragam kepentingan di sana. Orang yang dilayani pun beragam dari berbagai latar belakang suku, agama, ras dan antargolongan. Kepentingan yang beragam itu bisa bersifat kolektif maupun individualistik.
Kepentingan itu saling bertentangan satu sama lain yang menyebabkan terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest). Jika konflik kepentingan itu tidak dapat dikelola denganbaik, maka pemindahan altar ke sawah, kebun, atau tepi pantai itu bisa menjadi sumber konflik.
Konflik bisa menimbulkan tidak seimbangnya tatanan dalam masyarakat akibat pertarungan kepentingan yang beragam. Kepentingan orang yang satu bisa merusak kepentingan orang lain. Di sinilah titik taut antara hukum dan karya pastoral itu. Maka tak boleh ada karya pastoral yang mengabaikan hukum.
Dalam hal ada pelanggaran hukum oleh siapa pun, hukum itu mempunyai mekanisme untuk menyeimbangkan kembali tatanan dalam masyarakat yang tidak seimbang itu (restitutio in integrum).
Maka para pastor yang memindahkan altar ke sawah, kebun dan tepi pantai itu, suka atau tidak suka, harus menghargai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tersebut.
Sebab, masyarakat dimana pun pasti mempunyai hukum. Seperti kata Cicero, di mana ada masyarakat, hukum pun ada di sana: ubisocietas, ibiius.
Tanpa memahami hukum dan menalarkannya dengan tepat dalam karya pastoral, maka pemindahan altar itu bisa menjadi sumber masalah yang penuh hiruk pikuk.
Di atas semua itu, karya pastoral di ruang publik (sawah, kebun, pantai) tentu saja harus dilandasi kehendak atau niat yang benar. Sebab kehendak yang benar itu mampu menghantar kita pada tindakan yang benar pula. Kata Seneca, actio recta non erit, nisi recta fueritvoluntas – tindakan yang benar tidak akan muncul tanpa adanya kehendak yang benar.
Sebaliknya, kehendak benar, niat baik serta tujuan baik sekalipun, belumlah cukup. Niat baik itu harus juga dilakukan dengancara-cara yang baik pula. Jangan karena merasa bahwa karya pastoral itu pasti didasari niat dan tujuan baik, lantas segala carapun dihalalkan.
Kata St.Thomas Aquinas: finis non iustificat medium – sekalipun untuk tujuan yang baik, tetap tidak boleh sampai menghalalkan segala cara!
Penulis adalah Advokat dan dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta.