Oleh: Pius Rengka*
Saya sungguh merasa beruntung. Bagaimana tidak! Saya diuntungkan oleh kesan yang, untung-untungan juga. Saya terlanjur diduga satu dari ribuan pengamat politik di NTT.
Tentu saja, saya sungguh merasa rendah diri dan bahkan tahu diri. Mengapa? Saya dipastikan bukanlah pengamat ahli. Apalagi ahli di bidang politik dan ilmu politik. Saya hanya diduga ahli oleh kebanyakan orang lain, persis tatkala tampak ahli sungguhan (mungkin karena bergelar doktor) kerap terpapar bicara serampangan agak balepotan.
Karena dugaan sejenis itulah, maka Partai Demokrat NTT mengundang saya. Tugas saya khas untuk tidak disebut khusus. Saya diminta untuk mencermati proses demokrasi yang dilakoni Partai Demokrat ketika Rapat Kerja Partai berlangsung di Kabupaten Ngada, Sabtu (7/3/2020) di aula Hotel Nusantara, Bajawa.
Bahasa sok agak akademik, saya pemberi perspektif lain demi memperkaya perspektif para audiens. Tugas itu, tentu saja, sungguh sulit. Tetapi toh saya berusaha mengerjakannya sungguh-sungguh dan pasti hati-hati.
Partai Demokrat menyelenggarakan Rapat Kerja Cabang (Rakercab) Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di Ngada. Ketua DPC Ngada Herry Pinga Pullu. Rakercab sekaligus dimaknai sebagai konsolidasi politik partai.
Herry Pullu menyebutkan setelah rapat konsolidasi, dilanjutkan penetapan dan pelantikan para pengurus Dewan Pimpinan Anak Cabang (DPAC) dari 12 kecamatan di Kabupaten Ngada oleh Dewan Pimpinan Daerah Propinsi Partai Demokrat NTT.
Yang sungguh sangat menarik perhatian saya ialah ini. Ketika pada kesempatan yang sama Partai Demokrat melakukan fit and proper test untuk empat pasangan calon Bupati Ngada yang mendaftar di partai itu.
Siapa pelaku fit and proper test? Pelaku fit and proper test, bukanlah sekumpulan kecil intelektual kampus atau periset ulung. Bukan pula orang yang diduga ahli atau yang merasa diri ahli atau ahli sungguhan dalam konteks keilmuan, melainkan para pengurus anak cabang bersama para stake holders yang, rata-rata adalah tokoh masyarakat, aktivis, tokoh peduli agama. Umumnya, mereka adalah rakyat sangat biasa dari desa sekitar Kota Bajawa.
Alasan Partai Demokrat NTT adalah ini. Fit and proper test harus dilakukan oleh rakyat biasa karena diyakini mereka itulah yang nantinya akan memilih calon pemimpin di wilayahnya. Pemimpin yang dipilih, tentu saja, tokoh yang sekiranya dikenal dan terutama tahu persis masalah rakyat. Diyakini, pemimpin yang tahu persis profil masalah rakyat dipastikan juga sanggup menyelesaikan masalah itu. Tentu saja, asumsi ini, merupakan sebuah asumsi spekulatif untuk tidak menyebutnya berbasis riset.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat NTT, Ferdinand Leu Oralaleng dan Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum, Frans Kape, sama berpendapat bahwa pada asas dan puncak ritual demokrasi, seharusnya prosesnya tidak mengalir dari atas ke bawah, melainkan harus tumbuh dan berkembang dari kesadaran kritis masyarakat biasa di bawah. Kesadaran kritis itu bertumbuh melalui sejarah dan blok politik yang senantiasa dialami rakyat selama sejarah pertumbuhan demokrasi di tanah air.
Martabat demokrasi harus dipulihkan sesuai hakekatnya agar tidak dibajak oleh elit oligarkhi. Selama ini, kata Frans Kape, kaum elit oligarkhi partai sering bertindak semena-mena. Bahkan tampak elit cenderung memberi contoh buruk. Kaum oligarkh kerap mempraktekkan kultur predator demokrasi tanpa memperhitungkan implikasi multidimensi kepentingan terdekat rakyat biasa. Karena itu, mereka cenderung antidemokrasi. Akibat lanjutannya ialah tingkat kepercayaan kepada partai politik kian rendah dan nyaris lenyap.
Sambil mengutip hasil riset Demos paruh dekade silam, dua elit Partai Demokrat NTT ini (Ferdy Leu dan Frans Kape), berpendapat bahwa paska pecahnya reformasi di Indonesia tahun 1998, demokrasi di Indonesia bukannya bertumbuh menjadi lebih bermakna, malah demokrasi dibajak elit oligarkhis. Akibatnya, demokrasi jauh dari makna yang sebenarnya, meski institusi demokrasi bertumbuh seperti jamur di tanah air.
Karena itulah, tambah Ferdi Leu, Partai Demokrat NTT, menginisiasi format dan kultur cara kerja baru mengelola proses berdemokrasi agar menepis sekaligus mengikis perluasan pengaruh elit oligarkhi pembajak demokrasi itu. Diakuinya, selama ini memang partai politik seolah disfungsional, hanya berfungsi sebagai administrator politik karena elit cenderung mengutamakan ongkos dibanding menularkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan riil masyarakat.
Caranya? Para pengurus partai adalah rakyat terpilih dalam struktur partai. Mereka dibiarkan berbicara seturut kapasitas terberinya dan sesuai dengan imajinasi kepentingannya. Membiasakan mereka berdebat tentang harapan yang paling dekat dengan kepentingannya, sehingga para pengurus Dewan Pimpinan Anak Cabang Partai Demokrat tak hanya sebagai representan yang merepresentasi kehendak rakyat, tetapi juga matang dalam proses pemaknaan demokrasi. Mereka tidak boleh menjadi bagian dari implementator lamunan epicuris elit oligarkis. Lamunan epicuris itu adalah kenikmatan kekuasaan dengan cara merampok demokrasi tanpa malu-malu.
Dikatakan, Pengurus Dewan Anak Cabang Partai Demokrat tidak ditentukan elit struktural di atasnya, melainkan diproses dari bawah dan di bawah agar terjadi pematangan nilai-nilai dan ideologi Partai Demokrat. Maka, pengurus DPD Partai Demokrat dalam konteks proses Rakercab, semata-mata hanya bertindak sebagai fasilitator dan dinamisator yang dibatasi kanal dan rambu-rambu aturan main yang ditentukan dengan cara demokratis.
Karenanya, kata Frans Kape, apa yang dikerjakan dalam Rakercab dan fit and proper test calon bupati harus dikembalikan kepada rakyat pemilih yang direpresentasikan para pengurus anak cabang dan para stakeholders yang berkepentingan.
Para stake holders dan pengurus anak cabang partai berkepentingan dengan tokoh yang sensitif dengan kepentingan rakyat. Itulah alasan fit and proper test harus dilakukan oleh rakyat bawah, bukan oleh elit intelektual atau elit partai di lapisan Pusat dan Menengah.
Namun, di regulatif partai, ada aturan administratif harus dikerjakan struktur elit oligarkis partai terutama terkait penerbitan Surat Keputusan Penetapan Calon Definitip Partai Demokrat. Maka langkah yang ditempuh ialah Partai Demokrat cq Dewan Pimpinan Anak Cabang, Dewan Pimpinan Cabang dan Dewan Pimpinan Daerah sepakat memberikan pernyataan rekomendasi kepada calon bupati yang sekiranya sanggup memecahkan masalah rakyat.
Pernyataan Rekomendasi ini nantinya diteruskan ke Pengurus Pusat untuk selanjutnya dipertimbangkan dan diputuskan sesuai ketentuan hukum Partai Demokrat. Keputusan final itu merepresentasi kehendak rakyat tanpa harus disertai anasir rendahan yang lazim dikenal luas yaitu mahar politik yang sungguh irasional itu.
Demokrasi Gagal
Buku “Is Democracy Failing” karya Niheer Dasandi (2018), dengan jelas ditegaskan hanya empat negara di dunia ini yang tidak mengklaim negerinya sebagai negara demokrasi. Tetapi diakui, dalam banyak praktek di negara-negara yang mengklaim dirinya negara demokrasi pun, banyak di antaranya yang tidak memenuhi empat syarat dasar dan fundamental dalam penerapan sistem politik negara demokrasi.
Misalnya, disoalkan tentang apakah dalam pemilihan umum dan juga pemilihan elit negara ada free and fair elections (pemilihan umum yang bebas dan adil), apakah juga ada active participation of citizens in politics (partisipasi aktif warga negara dalam politik), protection of human rights and the rule of law (perlindungan hak-hak asasi manusia dan penerapan hukum).
Namun, pertanyaannya ialah apakah demokrasi kontekstual hari ini cenderung gagal ketika masih tampak jelas dan terang benderang elit oligarkhi partai membajak demokrasi dalam praktek penentuan calon bupati, gubernur dan bahkan anggota legislatif?
Di titik manakah pembajakan itu dilakukan ketika penetuan calon bupati, gubernur atau presiden maupun anggota legislatif berlangsung. Apakah proses penentuan kandidat itu dinodai politik transaksional.
Apakah demokrasi gagal merupakan satu-satunya pertanyaan sangat penting yang tampak, terutama di negara-negara yang bersistem pemerintahan demokrasi. Apakah kegagalan itu, pada format atau substansinya?
Niheer dalam bukunya itu mengakui. Jawaban atas pertanyaan Is Democracy Failing itu telah memiliki implikasi besar untuk semua orang, justru karena tak ada sistem pemerintahan dalam sejarahnya telah mendedikasikan rakyatnya untuk lebih bebas, damai dan stabil dalam proses demokrasi kecuali melalui serpihan kesepakatan demokratis yang masih timpang canggung dan tanggung.
Sejak akhir perang dunia II, demokrasi telah tampak secara global sebagai sistem politik dengan legitimasi yang sangat kuat. Maka untuk memperkuat legitimasi itu dibuka ruang partisipasi luas rakyat dalam penentuan elit negara menjadi sangat niscaya. Tetapi dalam prakteknya, demokrasi hanya kuat di teks, tetapi pada konteks dan kontent telah dibajak para preadator demokrasi. Para predator itu justru berumah dalam elit oligarkhi partai politik.
Apa yang dikerjakan Partai Demokrat dalam praktek fit and proper test calon bupati dengan serial pertanyaan dari audiens rakyat biasa telah membuktikan dengan sangat jelas terang benderang bahwa rakyat telah sangat haus terlibat langsung dalam proses bernegara dan berpemerintahan. Mereka tidak lagi mau sekadar instrumen kecil yang hanya dipakai dan dibutuhkan elit oligark dalam seremonial palsu untuk pemenuhan aturan main yang dikendalikan elit. Pseudo demokrasi sejenis ini harus segera dihentikan karena dia bagian dari kejahatan paling keji politik.
Kejahatan politik kerap dan masif terjadi beriringan dengan bimbingan masifikasi kepentingan global yang dimainkan para komprador bisnis dan capital yang menjanjikan kenikmatan bagi kaum oligark serakah.
Demokrasi di seluruh dunia memang mengalami guncangan berarti dan tantangan serius sejak tahun 2008 ketika dunia dilanda krisis finansial di seluruh dunia. Tetapi seiring dengan konteks perubahan itu, demokrasi mengalami sejumlah kesulitan pada dirinya sendiri, bahkan sejak Socrates meragukan demokrasi terutama dalam praktek elektoral sejak 5 abad sebelum Masehi.
Meski demikian ancaman terhadap rejim demokrasi sejak tahun 2008 bukanlah merupakan salah satu atau satu-satunya krisis yang sangat serius karena autoritarianisme kian menguat dan tamak, melainkan karena elemen demokrasi kunci seperti partai politik gagal mengerjakan fungsinya sebagai lembaga representasi demokrasi. Partai politik gagal mengerjakan fungsinya karena elit oligarkhi partai politik justru diisi oleh kaum pragmatis dan avonturir yang memakai partai politik sebagai lembaga rente pencari rejeki.
Menimbang pikiran ini pun para ahli ilmu politik telah dicermati lama para ahli yang dalam buku Democracy, Accountability, and Representation (1999) yang diedit tiga ahli ilmu politik berkelas dunia yaitu Adam Przeworski, Susan C. Stokes dan Bernard Manin. Buku itu pun menulis salah satu tema penting tentang mengapa para mantan birokrat dan elit oligarkhi cenderung gagal mendapatkan dukungan politik? Salah satu jawabannya ialah mereka gagal mendapat dukungan rakyat karena selama memimpin daerah atau negara gagal merepresentasikan kepentingan rakyat.
Jika logika ini diteruskan, kegagalan mendapatkan dukungan rakyat karena tidak merepresentasikan kepentingan rakyat sebab dimulai dengan cara-cara yang tidak representatif. Bandingkan pikiran itu dengan Burke (1949), Hans Kelsen (1929), Robert Dahl (1971) William Riker (1965) atau Schmitter and Karl (1991). Buku-buku ini selayaknya dibaca ulang oleh elit oligarkhi agar mereka segera bertobat dalam konteks serangan corona demokrasi di tanah air.
Maka, proses demokrasi versi Partai Demokrat NTT yang berlangsung di Kabupaten Ngada pekan silam, adalah contoh terbaik untuk memulihkan rejim demokrasi agar demokrasi kembali kepada pemilik aslinya yaitu Demos. Kaum Demos telah memilih Gregorius Upi Deo dan Yhanis Tay Ruba sebagai kandidat Bupati Ngada periode 2020-2024. Meski saya tahu kompetitor Greg Anys diimbangi sangat serius oleh pasangan oleh Christo Loko dan Beny Dopo dalam proses diskursus rakyat DPAC Demokrat Ngada. Sekian.