Labuan Bajo, Vox NTT- Kasus dugaan pemalsuan surat Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) kini sedang ditangani Polres setempat.
Kali ini, Tu’a Golo (Tokoh adat) Terlaing Bonefasius Bola angkat bicara. Bonefasius kembali mempertegas soal Lingko-lingko (tanah ulayat) yang merupakan tanah hak ulayat persekutuan adat Terlaing.
“Penegasan ini penting untuk memberikan kepastian hukum kepemilikan hak ulayat atas Lingko-lingko tersebut yang tidak hanya perlu dan penting bagi warga masyarakat persekutuan adat Terlaing, tetapi bagi pemerintah, termasuk pihak BPN, dan warga masyarakat umumnya,” ungkap Bonefasius kepada wartawan, Selasa (17/03/2020).
Dalam keterangannya, ia menegaskan ada 4 Lingko yang merupakan hak ulayat persekutuan adat kampung Terlaing.
Keempatnya yakni: Lingko Kombong, Nampar, Bale, dan Nerot. Semuanya berada di Desa Tanjung Boleng, kecamatan Boleng.
Batas-batas dari keempat Lingko yang merupakan tanah hak ulayat persekutuan adat kampung Terlaing telah mendapat pengakuan dari para Tu’a-tu’a Adat.
Itu terutama dari masyarakat persekutuan adat kampung-kampung yang masing-masing berbatasan dengan keempat Lingko tersebut.
Pengakuan tersebut dinyatakan secara tertulis dari Tu’a-tu’a Adat masing-masing kampung, dan Kepala Desa/Lurah ikut menandatangani sebagai pihak yang mengetahui.
“Ini termasuk surat pernyataan pengakuan batas tanah adat yang dibuat dan ditandantangi oleh Tu’a-tu’a Adat Mukang Rai/Kampung (Beo) Mbehal, tertanggal 5 September 2017,” ungkap Bonefasius.
Dalam surat pernyataan pengakuan Tu’a-tu’a Adat Mukang Rai/Kampung (Beo) Mbehal, yakni Hubertus Hamun, Antonius Ajua, Petrus, Pura, dan Rofinus Midun, menyatakan bahwa mereka sebagai wakil dari seluruh masyarakat Mukang Rai yang berada di wilayah administrasi Pemerintah Desa Pota Wangka, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat.
Mereka, kata Bonefasius, menyatakan dan mengakui bahwa tanah ulayat atau tanah persekutuan Mukang Rai/Beo Mbehal adalah berbatasan langsung dengan tanah ulayat atau tanah suku kampung adat Terlaing-Tebedo.
Baca: Bupati Dula Kembali Dipanggil Polisi
Itu tepatnya wilayah Mukang Rai ada pada bagian timur batas alam yaitu Wae Tumur, Wae Helung, Loleng Wae Helung, Wae Nampe, Loleng Wae Nampe (sepanjang kali Waei Nampe). Kampung (Beo) Terlaing-Tebedo bagian barat.
Bonefasius mengatakan, batas tanah adat ini ditetapkan sejak nenek moyang sampai sekarang terjaga baik oleh kedua kelompok masyarakat adat Mukang Rai dan Kampung (Beo) Terlaing-Tebedo. Ikut menandatangani Surat Pernyataan Pengakuan ini Kepala Desa Pota Wangka, Theodorus (Talin)
Menurut dia, surat pengakuan dari masing-masing Tu’a-tu’a kampung yang berbatasan dengan tanah ulayat kampung Terlaing ini diperkuat pula oleh sketsa tanah persekutuan adat kampung (Beo) Terlaing, bulan Agustus 2017.
Surat tersebut ditandatangani/diberi cap jempol oleh masing-masing Tu’a-tu’a kampung yang berbatasan dengan tanah ulayat persekutuan adat kampung Terlaing. Kepala Desa/Lurah ikut menandatangani sebagai pihak yang mengetahui.
Di samping itu, sambung dia, Pemerintah Provinsi NTT – Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Upt. Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah Manggarai Barat – lewat Surat Kepala KPH Mabar, Stefanus Nali, S. Hut, Nomor: UPT. KPH-Mabar.522.13/118/VIII/2019, tertanggal 23 Agustus 2019, Perihal: Surat Keterangan Bebas Kawasan, berdasarkan hasil survei menyatakan bahwa Lokasi Lingko Nerot, Lingko Bale, Lingko Nampar, Lingko Kombong sampai Mu’u Nanga (Lumut) merupakan hak ulayat Kampung Terlaing.
Dengan penjelasan dan penegasan tersebut Bonefasius pun meminta pihak manapun, dan pemerintah agar menghargai Lingko-lingko tersebut yang merupakan hak ulayat persekutuan masyarakat adat Terlaing, sebagaimana pengakuan dan perlindungan yang diatur dalam Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Di situ dinyatakan bahwa, “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. (VoN)