Oleh: Valentinus Robi Lesak
Calon Imam Kongregasi Vokasionis, sedang studi Teologi di Napoli, Italia
Sejak 21 Februari 2020 Virus Corona mulai menyebar ke wilayah Italia. Dari waktu ke waktu serangan pandemi Covid-19 ini makin menakutkan. Setiap hari selalu ada informasi tentang berapa banyak orang yang meninggal, berapa banyak yang telah pulih dan berapa total orang yang terinfeksi.
Hati benar-benar diliputi oleh kesedihan yang begitu hebat tatkala melihat ribuan peti mayat diangkut oleh truk-truk Angkatan Darat Italia menuju ke kuburan. Yang menyedihkan lagi ketika perkuburan sudah penuh (seperti di Bergamo) dan peti-peti mayat lainnya dibawa ke provinsi lain untuk dikremasi.
Di tengah situasi kelam ini, saya ingin membagikan kesaksian iman yang mengharukan dari seorang Dokter muda asal Italia, yang menyerahkan seluruh kemampuannya dalam menangani para penderita Covid-19.
Dokter muda ini bertugas di Lombardia-Milan, Italia Utara dan kini sudah bertobat. “Senang bisa kembali ke Tuhan,” demikian katanya.
Berkat Perjumpaannya dengan Seorang Pastor Tua
Media online lalucedimaria.it dan interris.it tidak menyebutkan siapa nama Dokter muda itu. Tetapi menurut sajian kedua media online ini, demikian ia menceritakan awal mula pertobatannya.
“Tidak pernah ada mimpi terburuk yang pernah saya bayangkan bahwa saya bisa melihat dan mengalami apa yang terjadi di sini di rumah sakit kami selama tiga minggu. Mimpi buruk itu mengalir dan terus mengalir ibarat sebuah sungai. Pada awalnya ada beberapa yang datang, kemudian puluhan dan kemudian ratusan dan pada akhirnya hingga menjadi ribuan,” ungkapnya.
“Sampai dua minggu yang lalu, saya dan rekan saya adalah ateis. Itu normal karena kami adalah ‘dokter’ dan kami belajar bahwa kecanggihan teknologi dan sains tidak dikaitkan dengan campur tangan dan kehadiran dari Allah. Dari dulu, saya selalu menertawakan orang tua saya yang rajin pergi ke gereja. Akan tetapi, sembilan hari yang lalu seorang imam berusia 75 tahun mendatangi kami. Dia adalah pria yang ramah dan rendah hati. Pastor tua ini memiliki masalah pernapasan yang serius. Namun, ia selalu hadir di sini membawa Alkitab di tangannya, membacakannya kepada orang-orang yang sedang sekarat dan memegang mereka dengan tangannya. Pastor tua ini mengesankan kami,” kisah dokter tersebut.
“Sekarang kami harus mengakui bahwa kami sebagai manusia telah mencapai titik batas, kami tidak bisa berbuat lebih banyak. Sebab, semakin banyak orang yang meninggal dunia setiap hari. Kami benar-benar kelelahan. Kami memiliki dua rekan kerja yang telah meninggal dan yang lainnya telah terinfeksi. Kini kami menyadari bahwa langkah yang dapat dilakukan saat ini adalah KAMI MEMBUTUHKAN TUHAN. Dan kami mulai meminta bantuan dari-Nya. Kami berbicara satu sama lain dan kami tidak percaya bahwa kami yang setiap hari adalah ateis yang ganas, kini harus mencari Tuhan. Kami meminta Tuhan untuk membantu kami agar dapat merawat orang-orang sakit dengan baik. Saya ingin mengambil nafas terakhir saya untuk membantu orang lain”
Lebih lanjut Dokter muda itu, berkata:
“Imam berusia 75 tahun itu meninggal beberapa hari yang lalu. Dia telah berhasil membantu kami dalam menghadapi kondisi yang sulit ini. Imam itu pergi kepada Tuhan dan kami akan segera mengikutinya juga. Saya belum pulang selama 6 hari, saya tidak tahu kapan saya makan terakhir kali, dan saya menyadari ketidakberdayaan saya di bumi ini dan saya ingin mengambil nafas terakhir saya untuk membantu orang lain. Saya senang telah kembali kepada Tuhan sementara dikelilingi oleh penderitaan dan kematian sesama manusia,” cerita dokter tersebut.
Manusia dan Situasi Batas
Ketika saya membaca kesaksian iman dari Dokter ateis ini, saya teringat akan sebuah pesan yang dikirim oleh seorang Profesor Bioetika Moral, Antuan Ilgit, SJ dari Universitas San Luigi Napoli.
Pesan tersebut dialamatkan kepada kami mahasiswa teologan tingkat lima dan dikirim tepat pada situasi melambungnya jumlah kasus corona virus di Italia.
Demikian pesannya:
“Carissimi studenti…. La cultura secolarizzata moderna ha eliminato Dio, perché riteneva che bastasse la scienza per risolvere i problemi della vita. Invece ora questo virus sconosciuto ha smascherato questa bugia: la scienza è un aiuto necessario, ma non è sufficiente per vivere per sempre ed essere felici. Ci deve essere spazio per la scienza, ma ci deve essere spazio anche per la fede e la vita cristiana.”
“Mahasiswa yang terkasih…. Budaya sekuler modern telah melenyapkan Tuhan, karena ia percaya bahwa sains sudah cukup untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Sebaliknya sekarang, virus yang tak dikenal ini telah membongkar kebohongan ini: sains adalah bantuan yang diperlukan, tetapi itu tidak menjamin untuk hidup selamanya dan untuk menjadi bahagia. Harus ada ruang untuk sains, tetapi juga harus ada ruang untuk iman dan kehidupan Kristen itu sendiri.”
Kesaksiaan iman di atas mengingat kita akan satu hal bahwa seingkali manusia menjadi ‘sombong’ atas prestasi yang dimilikinya. Kita pun akui bahwa perkembangan sains yang makin cemerlang, di satu sisi turut melemahkan kehidupan iman sesorang.
“Kecanggihan sains tidak dapat dikaitkan dengan campur tangan dan kehadiran dari Allah,” demikian kata Dokter ateis asal Italia yang kini sudah bertobat itu.
Namun, apa yang terjadi jika manusia berhadapan dengan situasi batas atau grenzsituationen, meminjam istilahnya Karl Theodor Jaspers, seorang filsuf eksistensialis dari Jerman? Apakah kita tetap mengandalkan kekuatan kita sendiri? Ataukah kita dengan ikhlas kembali mengimani kemahakuasaan Allah dan memohon kepada-Nya untuk menolong kita?