Oleh: Pius Rengka
Yuval Noah Harari, penulis best seller ‘Sapiens’ kelahiran Haifa Israel, Doktor lulusan Oxford University 2002 itu, pantas kembali dikutip di hari-hari ini.
Dia dikutip, lantaran gelombang badai wabah virus Corona bukan saja menghantam kawasan global, tetapi sekaligus mematahkan semua jenis ritus agama di mana pun di seluruh dunia. Virus Corona, sekaligus menumbangkan aneka rupa sopan santun seremonial romantik adat relasi lintas manusia. Dunia mencekam terutama dalam kepungan asap sekam ancaman.
Perang Manusia Melawan Virus: dari Maut Hitam sampai nCovid-19
Kita menyaksikan, hari-hari ini, arus kunjungan para peziarah iman ke tanah suci Mekah, Madinah senyap nian. Kita tak lagi mendengar suara pilu azan di sana dan menyaksikan suasana nan agung di Gua Hira Arab Saudi. Sepi, lengang nan senyap.
Kita biasanya menyaksikan jutaan umat muslim saban hari datang dari seluruh penjuru dunia. Tercatat, sedikitnya tiga juta umat muslim biasanya memadati Ka’bah saban hari. Begitu pun luapan manusia yang datang ziarah agung ke pelataran Basilika St, Peter di Vatikan, Roma, jauh dari riuh sembah sujud kepada sang Khalik.
Sri Paus Fransiskus menyaksikan dengan pilu dari tempat biasa dia bertitah, umat Katolik di lapangan Basilika St. Peter bawah sepi, ruang doa lengang dan tak terdengar dengung doa dan nyanyian ke langit Sang Maha Agung. Teduh, senyap dan sepi nan agung. Semacam ada keserempakan silentium magnum (diam sempurna).
Tampak jelas, sepertinya agama semacam kehilangan roh kerumunan seremonialnya. Tampak pula ritus adat istiadat macam-macam rupa di muka bumi senyap dan lenyap. Hubungan dengan pola vertikal ke Atas Sang Maha Pengada, seolah-olah tumbang tiada segera menyusul serangan laskar sunyi sang virus Corona.
Corona menumbangkan segalanya, dalam waktu sekejab. Agama, sepertinya pada dirinya sendiri telah mengundang pemangkunya kembali ke jalan sunyi, sendiri-sendiri, sambil mendengar suara melalui jalan batin tentang betapa riuhnya suara hening nan sepi.
Seremonial kenegaraan juga sama. Rapat koordinasi yang mengharuskan kehadiran tubuh, wajah, kini senyap oleh titah kekuasaan. Karena salah satu rumus penyebar luasan sebar Corona ialah melalui kontak personal melalui kerumusan sosial. Transfer virus dari satu tubuh ke tubuh lain dikirim melalui kebiasaan pesiar, tradisi ritus seremonial, entah agama pun kenegaraan pemerintahan. Juga adat istiadat demi santun nan sopan itu pun semacam punah.
Tampak, dunia senyap seketika. Riuh pesiar manusia dari satu kawasan ke kawasan lain terhenti berkala. Para tukang mabuk pun nyelinap di gua-gua keheningan, tak lagi sanggup menabur kata-kata ngawur sumpah serapah sambil muntah-muntah kekenyangan.
Tempat-tempat hiburan sepi, bukan lantaran ketiadaan pengunjung, tetapi juga tak ada yang hendak dikunjungi. Para penggembira penawar kenikmatan, seolah-olah diajak alam Corona ke jalan sunyi, menakar pengalaman hidup, dan menimbang sejarah masa silam, dan mulai bermatanoiya. Dunia tanpa hingar bingar musik di tempat keramaian, seolah mati langka. Para gadis penawar tawa ria pura-pura, seolah lenyap seketika, dan tak ada lagi riuh tawa di kerumunan pencari kenikmatan di sana karena semua tawa tampak tak lagi diperlukan apalagi yang bersifat pura-pura. Hedonisme epicuris pergi ke tepi sejenak entah untuk berapa lama.
Pasar pun sepi. Hypermart kehilangan naluri capitalisnya. Mall senyap pengunjung. Dan, pasar rakyat menanti langganan seperti menanti Sysipus usai mengguling batu raksasa ke puncak bukit. Tetapi, mereka tekun menanti dalam ketakpastian laku.
Ganti Relasi
Kini, media relasi diganti. Pergantian media ini serentak, masif dan publikatif. Tiap individu tekun senyap di rumah masing-masing, di kamar keheningan, sambil asyik sibuk sendiri dengan wajah tak mempesona di depan layar kecil yang tekun dijamahnya yang juga kini mengendalikan dunianya.
Informasi bertebaran mengalir dari mana-mana dan juga pergi ke mana-mana. Bukan lagi tubuh yang bergerak ke mana-mana, tetapi nama berkelana ke sana sini, sambil mengingatkan handaitolan dan sanak keluarga yang diduga dicintainya, untuk tetap awas dan mawas diri.
Media relasi hari ini ditentukan oleh informasi yang masuk ke smartphone, facebook, instagram, Waatsap, twitter dan sejenisnya. Kirim suara datang dan pergi dari segala arah. Kabar simpang siur. Lalu ketercekaman kian tinggi.
Jabat tangan sudah susah tak mungkin. Duduk dekat berdampingan rapat jelas sudah tak boleh. Apalagi, misalnya, ciuman indah nan mesra dalam waktu lama untuk ekspresi keindahan cinta, hasrat dan nafsu, sudah harus ditunda, entah untuk berapa lama. Tetapi kirim berita via handphone jalan terus dan terus berjalan berangkai disebarluaskan berlangsung sambung menyambung.
Di tengah kerisauan itu, ada juga mahluk super usil dan bahkan sungguh bebal dan jahat. Mereka di antaranya, sengaja menyebarkan gosip tidak sempurna hanya untuk kian kacaunya suasana, makin rapuhnya pertahanan kekuasaan politik, kian meluasnya cemas masyarakat.
Ada di antara umat manusia, rajin dan bahkan mempertotonkan diri sungguh beragama, tetapi tak secuil pun iman di hati seturut gosip yang diciptakannya. Mereka tega melakukan penelikungan data, informasi dan fakta. Fakta, data, informasi itu dikirim kepada khalayak yang sedang dahaga kebenaran informasi, haus akurasi data, dan mendapat nasihat yang pantas.
Tak ada petugas dan bala tentara yang sanggup menghalangi para pecundang ini, kecuali kita kembali berharap ke kebenaran klasik tentang formula orang baik dan benar menurut tataran moral dan etik yang pernah kita pelajari bersama waktu silam.
Sebagaimana diucapkan Guru Besar Filsafat New York University, Professor Sidney Hook, dalam satu kesempatan seminar di Jakarta tahun 1974 berkata: Kita mengajukan pertanyaan yang paling dasar (fundamental) yang dapat ditanyakan dalam satu peradaban, yaitu persoalan-persoalan mengenai hakekat baik dan buruk, serta benar dan salah. Dan, kita harus mulai dengan mengadakan tiga pembedaan supaya dapat memecahkan masalah-masalah ini.
Pertama, kita harus mulai mengakui pernyataan-pernyataan etis atau keputusan moril yang dibuat orang mengenai sesuatu yang lebih baik daripada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih buruk daripada sesuatu yang lain.
Kedua, kita harus dapat membedakan pernyataan-pernyataan etis dari analisa metaetis mengenai maknanya. Orang mengatakan, ini baik, akan tetapi apa yang dimaksud dengan baik itu? Disetujui bahwa sesuatu itu lebih baik daripada sesuatu yang lain, tetapi apakah yang mereka maksudkan dengan lebih baik itu?
Ketiga, pembedaan mengenai pembenaran etis. Bagaimanakah kita dapat membenarkan suatu pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk, ataupun bahwa sesuatu itu lebih baik atau lebih buruk?
Sidney Hook berkata, tampaknya disepakati bahwa hampir semua manusia untuk tidak mengatakan semua manusia, menyepakati mengenai apa yang baik dan apa yang buruk daripada mengenai mengapa hal-hal tersebut baik dan mengapa buruk.
Seperti misalnya, di semua negara orang mengakui bahwa kesehatan itu baik, penyakit itu buruk, pengetahuan itu baik, ketidaktahuan itu buruk; keadilan itu baik, ketidakadilan itu buruk; kebenaran itu baik, kesalahan itu buruk; cinta itu baik, kebencian itu buruk; persahabatan itu baik, permusuhan itu buruk. Nah, adalah sangat menarik untuk mengakui kenyataan bahwa kita tahu apa yang baik, walaupun kita belum tentu tahu mengapa hal-hal tersebut baik.
Manusia penelikung data, fakta dan informasi, adalah sampah yang sesungguhnya. Mereka itu senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang. Para penyebar sampah adalah sampah itu sendiri. Para penyebar persoalan adalah soal itu sendiri.
Akibatanya, kebanyakan dari kita tidak lagi tahu, mana info yang jelas-jelas benar dan mana yang tidak. Jika toh itu informasi benar, bagaimana membuktikan itu benar jika untuk menemukan kebenaran kita terhalang oleh para sampah penikmat kejahatan dan jahil. Para sampah ini pun sanggup melogiskan data, fakta dan informasi. Artinya penjelasan mereka pun masuk akal, terutama akan yang sudah dimasuki kebencian pada kekuasaan, kebencian pada otoritas ilmiah, dan juga kebencian pada kejujuran.
Sebaran informasi mereka bukan tanpa design, bukan tanpa scenario. Nah, berikut ini akan dikemukakan sebaran informasi yang masuk akal, meski kebenarannya masih patut diragukan.
Konspirasi Ideologis dan Ekonomi
Pertama, virus corona disebarkan ke publik sebagai bagian dari skenario konspirasi ideologis dan ekonomis negara-negara tarung klasik blok komunis dan kapitalis. Virus ini diciptakan dengan intensi khas yaitu memperoleh keuntungan ekonomis, sekaligus bonus gratis penyebaran dan kontrol ideologi negara pencipta virus itu sendiri.
Dua ideologi klasik diduga sedang kambuh bertarung (komunisme versus kapitalisme). Dua ideologi ini kembali diperhadapkan di tengah menguatnya radikalisme kiri dan reaksionerisme kanan. Padahal dua sistem ideologi itu sedang dilemahkan oleh rejim demokrasi yang kian kuat dianut di berbagai belahan dunia.
Negara-negara pendukung komunisme dan kapitalisme, suka atau tidak suka mengalami nasib yang sama terutama pada pilihan mereka tentang cara mempertahankan ideologi masing-masing. Cara mempertahankannya tidak dengan cara lain selain sesuai konteks aktual. Apa itu, yaitu dengan penggunaan metode ekonomi atau mempertahankan ekonomi masing-masing di tengah gelombang arus balik mainstream.
Apa itu arus balik mainstream? Jika dulu ekonomi dunia cenderung mengalir dan dikuasai barat dan menyapu seluruh kawasan Atlantik, maka sekarang ekonomi harus berubah arah ke kawasan Pasifik dengan para pemain utamanya masing-masing. Maka negara-negara yang ada di kawasan itu bukan saja menjadi korban permainan, tetapi justru harus mengurbankan ideologi masing-masing, jika hendak ikut main bersama.
Singkat cerita, virus corona disebarkan agar kekuatan ekonomi negara-negara pencipta virus kian kuat dan negara musuh ideologis tumbang. Logikanya, virus hanya dapat dihentikan oleh penciptanya, apa pun ideologi yang ada di baliknya dan negara “musuh” harus ditaklukan dengan kekuatan senjata tanpa penggunaan mesin senjata.
Wuhan hanyalah sekadar sebuah tempat yang dipilih bukan tanpa perhitungan sosial politik ideologis dan ekonomi di baliknya. Karena itu, negara-negara lain di dunia suka atau tidak suka mengabdi pada pencipta virus, termasuk membelanjakan uang negara demi mengatasi sebaran virus corona bagi kepentingan negara masing-masing.
Mekanisme sosial lain ialah penciptaan ketakutan. Ketakutan pada hakekatnya sebagai akibat yang ditimbulkan dari ketiadaan pengetahuan. Ketakutan ini harus terus dipompa sedemikian rupa agar negara nihil pengetahuan mengalami ketergantungan sosial ekonomi dan bahkan mungkin ideologi.
Jika ketergantungan sosial ekonomi kian kuat maka bonus sosial politik tanpa paksaan ideologis terjadi dengan sendirinya. Yaitu terjadi relatifisasi ideologi di negara-negara nihil pengetahuan. Relatifisasi ideologis ini akan kian mengakar kuat.
Kaum radikalis sangat kanan yang reaksioner, misalnya, akan tumbang dengan sendirinya apalagi jika basis radikalismenya bersumber dari ajaran agama. Sedangkan radikalis sangat kanan yang reaksioner yang berbasis kekuatan ekonomi akan menghitung ulang kebijakan ekonomi politik yang ditempuhnya di dalam negeri sambil berdamai dengan negara pencipta virus itu sendiri.
Puncak dari politik corona ialah kemenangan sosial ekonomi dan ideologis negara penciptanya, dan negara-negara tepi (periferal) dalam skema Rostow akan terabsorbsi ke dalamnya. Logika informasi itu masuk akal tetapi belum tentu benar.
Lalu, bagaimana negara radikalis kiri dan sangat kiri? Radikalis kiri dan sangat kiri justru melihat fenomena ini sebagai peluang dan tumpuan sekaligus, yang sangat baik bagi kebenaran dan kebaikan hidup bersama. Bahwa metode ekonomi kapitalis tidak selalu menarik untuk mempertahankan kemanusiaan, apalagi jika menggunakan kekuatan negara untuk ekspansi, melainkan mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh manusia di dunia, tanpa kecuali. Nah, di sini kita mulai bingung. Saya pun bingung juga dalam logika itu.
Informasi kedua yang dapat disimpulkan dari sebaran informasi itu, ialah bahwa pencipta virus corona adalah team ahli ilmu pengetahuan biologi yang sedang mengerjakan sebuah riset di laboratorium sah milik negara untuk kepentingan tertentu. Tetapi, manusia itu memang mahluk keliru (erare humanum est). Menyusul kelalaian incubatif laboratorium, virus ini bocor keluar dan sulit dikendalikan lagi dalam ruang kecil laboratorium. Akibatnya, virus yang belum dicipta sempurna ini justru lari menyebar ke mana-mana.
Jadi virus ini meluber ke luar ruang laborotorium karena kesalahan teknis atau kelupaan teknis manusia. Lalu, kita berasumsi. Andaikan ini virus tidak bocor, apa kiranya nama virus yang akan dasyat itu? Untuk kepentingan apakah virus itu diciptakan? Siapa kiranya ilmuwan itu dan di negara manakah dia tinggal? Kepuasan jenis apakah yang diperolehnya secara etis jika virus ini membahayakan kepentingan hidup umat manusia?
Tentu saja serial pertanyaan di atas sulit diperoleh jawabannya kini, karena semua pihak sedang sibuk mengucilkan diri untuk keselamatan masing-masing. Tetapi sebagai informasi historis, diperlukan sedikit ceritera Prof. Yuval Noah Harari sebagaimana telah disinggung di depan.
Dalam buku “Homo Deus, Masa Depan Umat Manusia (2015)”, Yuval Noah Harari melukiskan dengan terang tentang sejarah mati massal umat manusia. Disebutkan, pengalaman sejarah hidup manusia mati massal di dunia ini terutama karena kelaparan (kekuarangan makanan), wabah penyakit menular, perang, dan bencana alam. Meski disebutkannya, ada juga manusia mati karena tabrakan maut, kecelakaan pesawat dan kendaraan. Tetapi, tercatat sejarah mati massal terutama tertinggi karena kelaparan, wabah penyakit, dan bencana alam itu.
Yuval Noah mencatat, wabah pertama kali dalam sejarah kehidupan manusia adalah armada bayangan hitam atau disebutnya sebagai maut hitam (baca juga tulisan Irvan Kurniawan di VoxNtt.com sebelumnya). Maut Hitam meletup pada dekade 1330, di suatu tempat di Asia Timur, ketika bakteri penumpang kutu Yersinia pestis mulai menginfeksi manusia yang digigit kutu (vide: Homo Deus: pg. 7). Wabah dengan cepat menyebar ke seluruh Asia, Eropa dan Afrika Utara dan ke seluruh dunia. Populasi yang sanggup dimusnahkan tercatat 200 juta.
Wabah kedua, adalah virus cacar (smallpox). Itu terjadi tahun 1520 ketika Fransisco de Egula di dalam tubuhnya menyimpan virus smallpox tadi. Penduduk Mexico yang tadinya berjumlah 22 juta jiwa, tersisa 14 juta jiwa.
Wabah ketiga, terjadi dua abad setelah cacar (smallpox). Yaitu tahun 1778 ketika wabah flu datang bersamaan dengan kunjungan penjelajah Inggris Kapten James Cook mencapai Hawai. Apa yang terjadi kemudian ialah kecuali membawa flu, tuberkulsis dan sipilis, pendatang Eropa berikutnya membawa cacar dan tipus. Akibatnya, pada tahun 1853 tersisa hanya 70.000 jiwa di Hawai.
Wabah pembunuh keempat adalah SARS dan Ebola. Wabah pembunuh kelima adalah AIDS yang bermula di Afrika. AIDS memiliki jenis keuletan yang luar biasa. Tetapi kini, penyakit yang sangat super berbahaya ialah sakit gula yang sanggup membunuh manusia perlahan tetapi pasti.
Kini boleh disebut pembunuh keenam adalah corona. Titik cemasnya luar biasa sehingga setiap unit kekuasaan negara harus mengambil tindakan praksis, tepat dan kena. Bagaimana NTT?
Kebijakan Publik Gubernur NTT
Di tengah simpang siur informasi tentang wabah corona, yang disinyalir tak dapat dilawan dengan kebijakan publik setengah-setengah, maka Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat dan Josef A. Naesoi mengambil garis demarkasi yang jelas dan tegas. Singkatnya begini:
Pertama, diinstruksikan agar semua kepala daerah mengamankan rakyatnya masing-masing dan para ASN bahu membahu ikut membantu.
Kedua, kunjungan kerja atau kunjungan dinas ke luar daerah dihentikan sementara. Dana untuk kepentingan kunjungan dinas itu sebagiannya dialihkan untuk mengatasi problem rakyat NTT yang terpapar atau ada gejala menuju keterpaparan itu.
Ketiga, Pemda Provinsi NTT menyiapkan dana 60 miliar untuk mengatasi wabah ini antara lain untuk kepentingan mobilitas fasilitas dan petugas.
Keempat, informasi publik harus terus disampaikan secara akurat sesuai ketentua UU No. 14 Tahun 2008. Informasi itu harus disampaikan secara serta merta dan berkala kepada masyarakat melalui Gugus Tugas Khusus Propinsi yang dipimpin Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan disiaranperskan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat NTT.
Kelima, memutuskan untuk meliburkan sekolah dan perguruan tinggi sampai awal April agar tidak terjadi kerumunan dan sentuhan antarmanusia yang tak terkontrol.
Keenam, para pegawai ASN diliburkan kerja kantor, melainkan urusan kantor harus terus dikerjakan dari rumah melalui segala perangkat teknologi yang tersedia.
Ketujuh, membentuk dan menunjuk rumah sakit yang menjadi rujukan manakala ada di antara rakyat yang terpapar corona.
Kedelapan, lembaga-lembaga swasta dan pemerintah yang berurusan dengan sektor bisnis lain diminta untuk terlibat penuh dalam seluruh instruksi itu.
Mencermati delapan point di atas, kiranya disepakati bahwa keadaan Provinsi NTT terkendali. Akibatnya, hingga tulisan ini dibuat belum ada laporan resmi tentang korban virus corona. Salam.