(Refleksi Kamis Putih)
Oleh: Germanus S. Attawuwur
Hari ini Hari Raya Kamis Putih. Perayaan Kenangan Perjamuan Malam Terakhir. Namun, pintu –pintu gereja masih terkunci. Situasi ini benar-benar lain, dari Perayaan-Perayaan Kamis Putih sebelumnya. Dia menjadi perayaan senyap, entah sampai kapan?
Bila setahun silam ada barisan panjang Para Rasul menemani Imam naik ke Pelataran Kudus maka hari ini, tiadalah dijumpai di sini. Bila setahun lampau lagu TAK ADA KASIH YANG PALING AGUNG gema membahana, di senja hari ini, semua diam seolah membisu.
Bila kemarin dramatisasi Pembasuhan Kaki Para Murid terpampang nyata, maka hari ini, haruslah terabaikan. Gemerincing lonceng mengiringi Prosesi Suci Sakramen Maha Kudus dengan lantunan indah SAKRAMEN SEAGUNG INI, namun sayang, tiada untuk hari ini.
Tuguran Kudus, sejam berada di depan Sakramen Maha Kudus, untuk bersama Yesus dalam kesunyian derita-Nya, malam ini tiada lagi terlihat. Apalah daya. Kita semua, nyaris terkalahkan oleh pandemi Covid-19, virus yang mematikan itu.
Dalam suasana seperti inilah kita, memperingati Perjamuan Malam Terakhir. Perayaan Peringatan Kristus Sang Raja yang Rendah Hati dan Lemah Lembut menunjukkan sebuah patron baru, modeling baru pelayanan sebagai seorang Raja.
Patron baru itu adalah Sang Raja tidak menjadi Raja yang duduk di atas singgasana gemerlap yang kapan saja dilayani oleh hamba-hamba-Nya, melainkan harus dengan rela, bahkan dengan berani meninggalkan “Kemegahan Takhta-Nya” kemudian turun untuk menjadi pelayan. Bahkan menjadi Pelayan bagi para hamba, yang dipersonifikasikan dalam diri para murid-Nya.
Yesus Sang Raja memposisikan diri-Nya sungguh-sungguh sebagai Hamba dari segala hamba dengan perbuatan membasuh kaki murid-murid-Nya. Maka, ketika melihat perbuatan yang tidak sepantasnya dilaksanakan oleh seorang Raja, Petrus menjadi sadar diri. Dia tahu diri, bahwa dia bukan siapa-siapa di hadapan Yesus Sang Raja. Dia bukanlah apa-apa. Dia hanyalah murid, yang tidak bedah jauh dengan hamba yang hanya melaksanakan apa yang dititahkan oleh Sang Raja. Maka tiba pada giliran Yesus membasuh kakinya dengan nada heran campur tidak percaya, dia pun bertanya kepada Yesus:” Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku (Yoh.13:6)?”
Yesus, Hamba dari segala hamba itu memandangnya, lalu dengan lembut berkata: ”Apa yang Ku-perbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak (Yoh.13:7).”
Sekali lagi, Petrus tahu diri, dan sangat kenal betul siapakah Tuhan yang membasuh kakinya ini. Karena itu dia mati-matian tidak mau. Dia menolak untuk dibasuh kakinya.
Maka dengan lantang dia berseru:
”Engkau tidak akan membasuh kakiku selama-lamanya.”
Jawab Yesus:
” Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.” (Yoh. 13:8).”
Petrus dibuat-Nya terhenyak. Dia baru sadar bahwa dia tidak boleh berada di luar lingkaran Yesus. Dia tidak boleh tidak dapat bagian dalam Yesus. Dia harus mendapat bagian dalam Yesus.
Karena itu dia malah memohon:
” Tuhan, kalau begitu jangan kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku (Yoh. 13:9).”
Kita bertanya, mengapa dialog itu, tidak dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya yang lain? Bukankah Dia masih mempunyai Yohanes, murid kesayangan-Nya? Atau, bukankah Sang Raja masih mempunyai Yudas Iskariot, yang bakal mendaratkan ciuman pengkhinatan kepada-Nya? Tetapi mengapa Yesus justru melakukan dialog itu dengan Petrus? Bukankah Petrus kemudian menjadi orang pertama yang menyangkal Yesus? Lalu mengapa harus dengan dia?
Apa sih hebatnya Petrus itu? Bukankah dia cuma anak seorang nelayan? Lalu mengapa mesti dengan dia? Karena Petrus tahu diri. Karena Sang Wadas kenal dirinya sendiri. Karena Petrus sadar betul siapakah dirinya sesungguhnya di hadapan Yesus Sang Raja.
Karena itu, ketika murid lain gagap pada realitas unik ini, Petruslah yang pertama kali berinisiatif untuk membangun dialog itu. Awalnya, Petrus sangka dia sudah bersih. Petrus kira dia sudah suci. Padahal di mata Yesus, Petrus adalah manusia “kotor” karena itu harus dibersihkan–mesti disucikan, patut dikuduskan -. Dia harus dibasuh kakinya, dalam sebuah patron baru, modeling pelayanan yang sama sekali berbeda, yakni pembasuhan kaki yang dilakukan oleh seorang Raja. Raja yang berhati Hamba.
Maka, pada dialog pelayanan itu, Yesus secara perlahan tapi pasti menyadarkan Petrus bahwa: ”Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.” (Yoh. 13:8).”
Pertanyaannya adalah bagian apa yang Petrus dapatkan dari Yesus? Tidak lain dan tidak bukan, Kristus sedang menyiapkan Petrus untuk kelak, mendapat Mandat Pelayanan.
Mandat Pelayanan yang diberikan langsung Yesus kepada Sang Batu Karang ini.
“Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya (Mat.16:18).”
Pada kesempatan yang lain, Yesus Sang Raja memberikan tanggung jawab besar, dalam bentuk tugas penggembalaan:” Gembalakanlah doamba-domba-Ku (Yoh.21:16).”
Dengan mandat penggembalaan itu, Petrus akan menjadi “Raja.” Dia akan menjadi Pemimpin gereja. Bahkan dia disebut sebagai “Primus Inter Pares,” Bapa dari segala Bapa. Artinya dia akan menjadi “Orang Pertama.”
Karena itu maka berpotensi besar menjadi raja/pemimpin yang angkuh, raja yang otoriter, pemimpin yang feodal, raja yang sewenang-wenang, raja yang maunya hanya dilayani dan terus dilayani.
Karena itu, moment pembasuhan kaki disertai dengan dialog pertama-tama adalah moment penyadaran sekaligus sebagai saat pertobatan serentak itu pula menjadi moment penyucian pelayanan. Yesus Sang Raja menyadarkan Petrus dengan teladan-Nya sendiri, bahwa suatu saat, bila sudah menjadi “Raja”, bila sudah menjadi “Bos Besar,” mesti disadari dari sekarang bahwa engkau adalah hamba, bahkan hamba dari segala hamba. Dan seorang hamba tugasnya adalah melayani, bukan dilayani.
Maka, mental “Raja yang berhati hamba” harus sudah disiapkan oleh Yesus dari saat ini memang, bahwa sekalipun engkau adalah Bapa di antara segala Bapa, serentak itu pula engkau adalah hamba dari segala hamba.
Sebagai Hamba, dia pasti tahu, ke mana Rajanya pergi. Hamba tidak mungkin jauh-jauh dari tuannya. Sebagai Hamba, dia tidak hanya bersatu dalam sukacita bersama tuannya, tetapi juga manunggal dalam deritanya.
Malam ini, Upacara Pembasuhan Kaki tidak dirayakan di dalam Rumah Tuhan ini. Tetapi percayalah, Yesus Sang Raja yang Berhati Hamba, berjalan keliling dari rumah ke rumah menjumpai Anda di rumah-rumah, masuk ke dalam rumah-rumahmu, lalu Dia Membasuh Kakimu. Dia membasuh kaki-kaki semua anggota keluarga, satu demi satu. Yakinlah itu! Percaya sungguh itu! Bahwa Yesus benar-benar hadir dan sedang membasuh kaki-mu!!
Maka pertanyaannya adalah, apa makna pembasuhan kaki dalam situasi ke-kini-an kita? Pembasuhan kaki bermakna melenyapkan bala yang kini sedang mencengkram manusia.
Yesus membasuh kaki kita untuk menghalau kecemasan dan ketakutan yang begitu mencekam dalam diri kita. Pembasuhan kaki bermakna melindungi anda dan juga saya, dari ancaman virus Corona yang mematikan itu.
Tetapi, pembasuhan kaki adalah juga persiapan pengutusan. Kita diutus untuk terlibat dalam duka dan kecemasan sama saudara kita yang sedang berbaring tak berdaya di rumah-rumah sakit, akibat virus yang sedang menggerogoti tubuh mereka.
Pembasuhan kaki adalah moment pengutusan sebagai raja yang berhati hamba, untuk manunggal dalam kegembiraan dan harapan manusia yang sedang terbelenggu virus corona. Kita terlibat, kita manunggal dalam luka dan derita para pengidap virus Covid-19.
Tetapi Mungkinkah kita terlibat nyata? Pasti tidak!
Maka terlibat kita adalah mendoakan para penderita virus. Manunggal kita adalah mendoakan dan terus mendoakan dan mendukung para tenaga medis lewat motivasi dan kata-kata peneguhan.
Maka sambil menenangkan mereka, kita ulangi doa Yesus sendiri: ”Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Ku-kehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki (Mat.26:39).”