Jakarta, Vox NTT-Pada hari Kamis (16/4), berlangsung diskusi bertema “Pandemi Covid-19: Perspektif Filsafat”. Diskusi ini digagas oleh Areopagus Indonesia, di bawah tajuk “Ngopi (Ngobrol Perihal Indonesia) Bersama Areopagus” dengan menghadirkan dua pembicara utama.
Pembicara pertama adalah Redem Kono seorang Dosen Filsafat dan Penulis Buku di Jakarta. Pembicara kedua adalah Wilson Bhara Watu seorang Pengajar dan Penulis yang juga berdomisili di Jakarta. Diskusi yang dilaksanakan melalui media aplikasi Zoom Cloud Meeting ini dihadiri oleh sejumlah dosen, akademisi, dan peminat filsafat.
Diskusi dibagi atas dua sesi. Sesi pertama, Redem berbicara tentang corona sebagai kritik atas modernitas. Sesi kedua, Wilson berbicara tentang pandemi corona dan butterfly effect. Diskusi dimulai dengan sebuah pertanyaan utama: Bagaimana filsafat melihat pandemik corona?
Redem menjelaskan bahwa ketika setiap orang berada dalam situasi krisis (seperti covid-19), dia akan mengambil jarak dari situasi itu dan hening. Dalam situasi hening, manusia akan semakin terbuka dan kreatif. Dalam situasi hening, akan muncul pemikiran atau pertanyaan kritis dan mendasar yang perlu didalami karena mungkin selama ini diabaikan. Misalnya akan muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti di manakah Tuhan? Mengapa ada penderitaan? Mengapa ada kematian? Di manakah posisi manusia dalam situasi kesengsaraan?
Redem kemudian mengajak peserta diskusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dari sisi tilik filsafat. Bagi Redem, karena filsafat bersifat kritis, terbuka dan universal, maka diharapkan akan diperoleh pencerahan dan penghiburan bagi semua yang turut berefleksi di tengah situasi krisis ini.
Oleh karena luasnya aliran-aliran filsafat yang dapat dipakai untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, diskusi pada sesi pertama berlangsung di bawah tema umum “Corona Sebagai Kritik Terhadap Modernitas”.
Memulai paparannya, Redem mengatakan bahwa menurut WHO, hampir 60 % penyakit menular di dunia termasuk corona tergolong zoonosis. Artinya, penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Lebih dari 2/3 penyebab zoonosis berasal dari satwa liar yang hampir punah atau yang terancam habitatnya. Hewan terancam sebagai akibat dari deforestasi, pertambangan atau pengrusakan keanekaragam hayati. Hewan yang terusir dari tempat mereka akhirnya mendekati pemukiman manusia dan menyebarkan virus. Ada rentetan sebab-akibat perusakan alam yang berbalik menyerang manusia. Situasi ini perlu ditelusuri secara kritis dari narasi besar manusia pascamodernitas.
Redem menjelaskan saat ini, dunia telah bergeser dari paradigma kosmosentris ke paradigma antroposentris. Kosmosentris adalah pandangan alam sebagai sesuatu yang sakral. Kosmos yang sakral membuat hidup manusia tidak terpisah dari alam. Dengan demikian, pada paradigma ini, manusia tidak melakukan pengrusakan terhadap lingkungan secara sembarangan. Karena alam merupakan bagian tidak terpisah dari dirinya, dalam pola relasi sederajat.
Sekarang, situasi telah bergeser ke kebudayaan modern yang disebut antroposentrisme. Manusia menjadi pusat segala sesuatu. Manusia sangat mengandalkan akal budi dan subjektivitasnya. Hal ini pun berdampak pada pola relasi manusia dan alam. Pola relasinya menjadi subordinatif dan dominatif. Alam tidak lagi dipandang sakral dan menjadi bagian dari dirinya sendiri. Akibatnya, manusia seenaknya melakukan eksploitasi terhadap alam untuk kepentingan diri.
Redem menjelaskan bahwa memang ada hal yang positif dari paradigma ini. Namun ia memberi catatan kritis bahwa jika manusia hanya mau menjelaskan segala pertanyaan dengan akalnya sendiri, mengutip Max Weber, “dunia akan kehilangan pesona, kehilangan magis, kehilangan daya tarik”. Ia mengatakan bahwa alam akan kehilangan dimensi mistiknya.
Redem kemudian mengatakan bahwa proyek modernitas yang menurut Imanuel Kant merupakan proses “pendewasaan manusia” harus dikritik agar tidak merusak alam dan artinya merusak dirinya sendiri.
Setelah pemaparan tersebut, Redem memberikan catatan kritisnya dengan mengutip filsuf Frijtif Capra. Menurut Capra, keberadaan dan makna kehidupan manusia, dalam segala tingkatan, baik pada level biologis sampai ke level ekonomis dan spiritual, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan alam semesta dan seluruh isinya. Berdasarkan pandangan Capra ini, Redem pun mengatakan bahwa pandemi corona ini adalah bentuk pembalasan alam terhadap manusia yang telah mengingkari dirinya sendiri.
Redem pun melanjutkan catatan kritisnya dengan membaginya dalam 3 bagian di bawah tema “Menuju Pertobatan dan Kesadaran Ekologis”. Pertama, sebagaimana dikatakan Capra, ia menolak bias antroposentrisme dalam segala bidang dan tingkatan. Manusia perlu mengintegrasikan alam kembali sebagai bagian dari sistem kehidupan.
Kedua, mengutip Juergen Habermas, Redem mengatakan manusia perlu mendengarkan aspirasi-aspirasi religius agama tentang keluhuran alam. “Proyek modernitas harus mampu mendengarkan keluhuran nilai-nilai agama. Yang penting nilai agama tidak menjadi absolut”, tandasnya.
Ketiga, mengutip Manuel Castells, Redem mengatakan perlu adanya kerja sama tingkat global untuk mendukung kesadaran ekologis, dengan memanfaatkan keterhubungan dunia tanpa sekat di era teknologi. “Dunia tanpa sekat ini seharusnya membantu manusia menjaga alam”, tutup Redem.
Diskusi pun dilanjutkan pada sesi kedua dengan pembicara kedua. Namun pembahasannya akan ditulis terpisah.
Kontributor: Venan Meolyu
Editor: Irvan K