Ruteng, Vox NTT – Tanah hibah pemerintah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua untuk warga Manggarai, NTT yang ada di daerah itu diduga dimanfaatkan orang tetertentu untuk kepentingan pribadi. Luas tanah tersebut diketahui luasnya 3 x 5 Km.
Hal itu disampaikan oleh salah seorang warga Manggarai di Mimika yang tidak mau namanya dimediakan.
Menurut dia, tanah hibah tersebut diberikan untuk masyarakat Manggarai di Mimika merupakan hasil kerja sama Pemda Mimika dengan Pemda Manggarai.
Hibah tanah tersebut dilakukan karena banyak orang Manggarai yang merantau ke Mimika, Papua.
“Tahun 2013 yang hadir dari Manggarai pa Victor Madur, Pa Hery Ngabut dan beberapa pejabat pemerintah lainnya untuk bangun komunikasi dengan Pemda Mimika dan persiapan transmigrasi,” ungkapnya kepada VoxNtt.com, Rabu (15/04/2020).
Usai proses serah terima pada tahun 2013 lalu, selanjutnya membuka pendaftaran untuk warga yang ingin menempati lokasi tersebut.
Pemda Mimika lanjut dia, mempercayakan panita untuk mengurus tanah tersebut, dan bekerja sama dengan Kerukunan Keluarga Besar Manggarai Kabupaten Mimika.
“Awalnya memang ada administrasi sebanyak Rp 500.000 katanya untuk membangun akses transportasi. Belakangan, kami tidak tahu apa alasan panitia. Mungkin mereka merasa uang 500 itu tidak cukup. Sehingga sekarang mereka minta lagi kepada orang yang mau tinggal di situ minta tambah Rp 2.000.000. Sehingga total pungutan 2.500.000,” aku sumber itu.
Ia mempersolkan pungutan biaya yang diminta oleh panitia. Sebab menurut dia, awalnya hibah tanah ini untuk masyarakat yang berpenghasilan di bawah rata-rata.
Ketika dijumlahkan uang yang diminta dengan jumlah anggota sebanyak 800-an orang, menurut dia totalnya sangatlah banyak.
“Inikan tanah hibah, kenapa harus ada pungutan seperti itu. Adanya hibah tanah itu kan karena banyak warga yang kurang mampu. Sebenarnya itu bisa saja, tapi panitia harus transparan soal penggunaan anggarannya,” ujarnya.
Sebagai anggota, menurutnya ia juga harus mengetahui penggunaan uang yang dikumpulkan oleh warga.
“Kita berharap keterbukaan panitia terkait anggaran. Sebenarnya inikan hibah, panitia juga menyampaikan kalau uangnya tidak dilunasi maka tanah itu akan diberikan kepada orang lain dan uang yang sudah diberikan kepada panitia, tidak akan dikembalikan lagi,” ujarnya.
“Masyarakat yang menjadi subyek pokok, adanya tanah translok karena ada mereka. Kenapa sekarang mereka sudah tidak dianggap. Saya lihat program ini sperti proyek dari sekelompok orang,” tambahnya lagi.
Ia mengaku, selama ini panitia tidak pernah transparan kepada seluruh anggota terkait penggunaan uang yang terkumpul.
“Ketika kami minta pertanggungjawaban uang yang terkumpul, mereka bilang anggota tidak punya hak untuk mengetahui penggunaan uangnya. Kita minta transparansi,” cetusnya.
Ia juga mengungkapkan, karena banyak masyarakat yang tidak mampu melunasi, sehingga tanah tersebut dijual ke orang dari luar wilayah Manggarai.
“Orang luar Manggarai yang beli tanah di sini kan orang mapan. Mungkin uang 2,5 juta bagi mereka tidak berarti, sehingga dengan mudah mereka membeli tanah itu. Tapi bagi orang yang tidak mampu jumlah itu cukup banyak dan pada akhirnya tidak dapat jatah tanah lagi,” katanya.
“Di Mimika ini banyak orang Manggarai yang kurang mampu. Kenapa tidak ada kelunakan untuk mereka? Sebenarnya hibah tanah ini untuk mereka yang kurang mampu itu bukan untuk orang yang berduit. Kenapa kebersamaan itu kita nilai dengan materi?” tambahnya lagi.
Saat dikonfirmasi, Ketua Panitia Tanah Tanslok di Mimika Papua Niko Raing membantah tanah tersebut hasil kerja sama Pemda Manggarai dan Mimika.
Tetapi, hibah tanah tersebut menurut dia merupakan murni inisiasi 5 orang warga Manggarai.
“Sebenarnya yang menginisiasi hal ini adalah kami yang lima orang, termasuk saya. Kami hanya menggandeng kerukunan keluarga besar Manggarai di Mimika. Tanpa ada kerukunan juga tanah itu kalau mau kasih yah kasih aja,” ungkapnya kepada VoxNtt.com melalui saluran telepon, Jumat (17/04/2020).
“Memang waktu penyerahan kita coba melibatkan Pemda Manggarai. Itu sebenarnya bukan kerja sama Pemda Manggarai dengan Pemda Kabupaten Mimika. Kita undang Pemda Manggarai hanya supaya mereka mengetahui kondisi masyarakat Manggarai yang ada di Mimika dan kebetulan pada saat itu bersamaan dengan event Komodo Cup,” tambahnya lagi.
Niko mengaku, inisiasi itu berawal dari rasa keprihatinan, sebab banyak warga Manggarai yang hanya bekerja sebagai pendulang emas.
“Dari pada mereka mendulang mas dengan tingkat keselamatan tidak terjamin, maka kami coba mengupayakan dengan harapan bisa membuka lahan pertanian,” katanya.
Akhirnya ia mengaku pihanya mencari cara untuk bisa mengelolah tanah tersebut.
Kemudian dijelaskan ke masyarakat terkait kondisi lokasi yang belum pernah dikelola dan di hutan. Baik untuk pembabatan hutan, membuka jalan maupun kebutuhan lainnya.
Tentu hal itu kata dia, membutuhkan biaya. Pada saat penyerahan tanah juga menggelar sebuah acara dan menghabiskan biaya.
Sehingga pada akhirnya dipungut biaya untuk orang manggarai sebesar Rp 2.500.000. Dengan rincian Rp 500.000 untuk pendaftaran dan Rp 2.000.000 untuk membuka akses dan menebang hutan.
Kebijakan itu dilakukan sejak tahun 2013. Namun sampai tahun 2018 dan 2019 belum ada pergerakan dari masyarakat Manggarai untuk melunasi, hanya beberapa orang saja.
Panitia berpikir, kata Niko, apabila tanah itu tidak manfaatkan maka Pemda Mimika bisa mengambilnya kembali.
Akhirnya panitia tegas untuk menyatakan bahwa orang Manggarai yang tidak melunasi akan dicoret.
Itu akan diganti oleh orang lain, dan bukan hanya orang Manggarai, tetapi ada juga orang dari luar Manggarai.
Kalau ada orang luar Manggarai yang tempati, Niko menjelaskan panitia mempertimbangkan Bhineka Tunggal Ika.
Sebab menurut Niko, tidak baik juga kalau semua orang Manggarai di Mimika menempati lokasi tersebut. Bahkan konsepnya orang asli Papua juga akan menempati lokasi itu.
Sehingga lokasinya akan dibagi menjadi beberapa bagian, yakni warga Manggarai, Flobamora, WNI lainnya dan Papua.
Karena menurut Niko, tujuannya juga sesuai kesepakatan dengan Pemda Mimika bahwa penggunaan lahan ini dalam rangka memberdayakan orang Papua juga. Hal itu agar mereka bisa membaur dengan pendatang dan supaya ada proses transfer ilmu, semisal pertanian maupun hal lainnya.
Karena ini juga untuk meningkatkan kesejahteraan orang Kapawe (suku di kabupaten Mimika yang menghibahkan tanah). Itu sebabnya panitia kasih.
“Tujuannya supaya kita mempunyai anggaran untuk mengelola tanah tersebut, sebab tanahnya cukup luas. Tujuan kita tetap untuk orang Manggarai. Tapi karena banyak orang yang “Kembeleis” (cuek), akhirnya sampai sekarang kita masih menunggu dan sampai detik ini belum ada orang Manggarai yang dicoret,” tegas Niko.
Ia mengakui, orang yang nantinya tidak melunasi pembayaran sebesar Rp 2,5 Juta, maka akan dicoret dan uang yang sudah diberikan tidak dikembalikan lagi.
“Ia memang benar, itu hasil kesepakatan tanggal 23 Februari 2020 dengan pengurus kerukunan keluarga besar Manggarai Kabupaten Mimika. Itu bukan hanya keputusan lima orang. Tapi kesepakatan antara pengurus, panitia dan warga yang datang,” kata Niko.
Ia juga mengungkapkan, pungutan itu dilakukan karena hingga kini belum ada perhatian dari pemerintah, baik Pemda Mimika, Pemprov NTT, maupun Pemda Manggarai.
“Kami sudah komunikasi, baik Pemprov NTT maupun Pemda Manggarai terkait bantuan untuk mengelola tanah tersebut. Namun hingga kini belum ada perhatian sama sekali. Dari Pemda Mimika juga belum ada program membuka akses ke situ. Sekarang juga kami sementara berusaha untuk komunikasikan hal ini kepada Pemda Mimika,” ungkapnya.
“Mungkin mereka bisa berikan bantuan berupa apa saja yang bisa membabat hutan itu menggunakan alat berat maupun membuka akses. Karena hutan di sini beda dengan hutan di Manggarai,” ujar Niko.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba