Ruteng, Vox NTT- Di tengah diskusi serius penuh santai siang itu, ada suara remang-remang seorang pria dewasa. “Bapa di kebun,” katanya, menginformasikan.
Petunjuk keberadaan sang ayah, disusul dengan kalimat ajakan penuh akrab ke para wartawan yang datang ke rumahnya, Kamis (16/04/2020).
“Kalau mau bertemu bapa, mari ke kebun. Kita makan siang di sana saja,” imbuh pria yang baru saja menikah itu.
Ajakan itu pun selaras dengan hasrat para awak media untuk bertemu ayahnya. Tidak memakai waktu lama, pria itu bergegas dan memandu arah jalan menuju kebun sang ayah.
Beberapa langkah dari rumahnya ada halaman kampung yang khas dengan berbagai simbol adat Manggarai. Ada Compang (mazbah) dan ada juga rumah bercorak adat Manggarai.
Kampung itu bernama Lingko Lolok yang terletak di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Lokasi kebun pria paruh bayah itu, sekitar 500 meter ke arah utara dari Kampung Lingko Lolok, Dia pria biasa, hanya seorang petani. Namanya Isfridus Sota (54).
Isfridus memang hanya seorang petani biasa, tetapi ia diburuh para awak media. Ada pasalnya.
Isfridus Sota merupakan salah satu nama penting di mata para juru warta. Bagaimana tidak, ia adalah satu dari dua nama Kepala Keluarga (KK) di Kampung Lingko Lolok yang menolak tanahnya diserahkan ke perusahaan semen, yang rencananya akan berdiri di wilayah itu. Sementara 89 KK lainnya dipastikan menyetujui tanah mereka diberikan kepada pihak perusahaan.
Sekira 15 menit perjalanan ke utara dari Kampung Lingko Lolok dengan sepeda motor baru tiba di pondok milik Isfridus. Lokasinya bernama Lingko Bea Nekes. Setibanya di sana, dari balik pondok yang cukup reyot ia pun menyapa sangat khas sebagai orang Manggarai.
Baca: Tiap KK Panen 10 Juta, Langkah Hukum “Senjata Andalan” Warga Lingko Lolok Diaspora
Saat berjumpa, Isfridus sedang sibuk mengumpulkan jagung dari kebunnya di sekitar pondok. Sementara di luar pondoknya yang beratapkan alang-alang, berdinding pelupuh bambu dan berlantai tanah, tampak padi tumbuh begitu subur.
Setelah beberapa saat bertutur sapa, hujan mengguyur wilayah itu mulai pukul 13.50 Wita. Suara hujan penuh bising, memecah kesunyian alam Lingko Bea Nekes yang dikelilingi hutan.
Hujan itu tidak mengurungkan niat Isfridus untuk mulai bercerita. Isfridus mengaku cemas dan resah dengan rencana kehadiran PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai. Dua perusahaan tersebut rencananya akan beroperasi memroduksi semen di wilayah Kampung Lingko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda.
Isfridus selanjutnya membeberkan alasan penolakkan di balik rencana kehadiran perusahaan semen itu.
Ia berpikir jauh ke depan. Sejak informasi ini masuk ke telinganya, ia bahkan memikirkan hal-hal yang perlu dilakukan, akibat, serta waspada di balik operasi pabrik semen di masa mendatang.
Tanah bagi dia, tidak berkembang, sementara manusia terus bertumbuh.
“Jadi kami ke barat sudah ada orangnya di barat. Kami ke timur ada orangnya di timur. Demikian juga ke utara sudah ada orangnya dan ke laut dibatasi dengan laut sudah dibatasi, kami mau ke mana lagi,” tandas pria empat anak itu.
Tak hanya itu, ia mengaku tidak memberikan tanahnya untuk kemudian diobrak-abrik oleh investor belajar dari pengalamannya selama bekerja di perusahaan mangan PT Arumbai Mangan Bekti. Lokasinya tidak jauh dari Kampung Lingko Lolok.
Perusahaan ini beroperasi di Sirise dan sebagian tanah ulayat milik warga Lingko Lolok. Isfridus mengaku sudah bekerja di PT Arumbai Mangan Bekti sejak tahun 1997 hingga 2015.
Selain bekerja untuk mengais rezeki, ia juga belajar tentang untung dan buntung di balik aktivitas mengeruk mangan.
Jika ada pihak yang melihat bahwa menjadi buruh di pertambangan cukup kaya dan sejahtera, tetapi sebenarnya menurut Isfridus tidak demikian. Dia mengaku hingga kini dirinya tetap menjadi miskin, berbanding terbalik dengan penilaian orang.
Baca: PADMA Indonesia Pertanyakan Rencana Pabrik Semen di Lingko Lolok
Isfridus menambahkan, usaha eksploitasi tambang mangan justru melahirkan dampak yang cukup serius. Mulai dari konflik sosial hingga kerusakan lingkungan.
“Saya belajar dari Arumbai. Tanah saya pernah dikasih ke tambang, tapi sekarang sudah tidak bisa menjadi lahan pertanian lagi, karena lubang masih menganga,” aku Isfridus.
Pantauan VoxNtt.com Kamis sore, salah satu tempat bekas galian batu mangan milik PT Arumbai Mangan Bekti di Lingko Neni memang memprihatinkan. Betapa tidak, lubang besar masih menganga dan bongkahan batu masih merias di sekitar lokasi pemboran.
Tak Mau Khianati Nenek Moyang
Tidak hanya untung dan buntung alasan mendasar penolakan Isfridus. Ia juga tidak mau kehadiran pabrik semen yang akan menggarap tanah ulayat, malah mengkhianati nenek moyang mereka.
“Kampung ini (Lingko Lolok) dibuat nenek saya. Masa iya anak sendiri yang mengkhianati mereka,” tegas Isfridus.
Sebab itu, ia berkomitmen untuk tidak bakal ikut kelompok pro kehadiran pabrik semen. Sebab, Lingko Lolok beserta cerminan adat Manggarai di dalamnya dirintis oleh nenek moyang mereka, bukan untuk dijual apalagi diobrak-abrik hingga rusak.
“Bagaimana pun bentuknya, saya punya tanah tidak boleh ganggu,” imbuhnya.
Remak masuk penjara sekalipun tidak membuat Isfridus gentar. Sebab bagi dia, tanah adalah “piring nasi” mereka.
Komitmen dan pernyataan penolakan serupa juga datang dari mulut Bonevasius Uden (64). Alasan penolakannya hampir sama dengan Isfridus.
“Kami tidak mau mengkhianati nenek moyang kami, yang sudah mendirikan Kampung Lingko Lolok,” kata Bonevasius.
Ia bahkan mengungkapkan alasan yang filosofi. Bonevasius mengerti bahwa kampung merupakan entitas adat dan ruang kehidupan. Karena itu tidak bisa dilepaspisahkan dari kehidupan manusia sebagai penghuninya.
Ia menjelaskan sebagai entitas adat Manggarai, ada beberapa bagian penting di dalam sebuah kampung.
Di Manggarai, jelas Bonevasius, ada ungkapan mbaru bate kaeng (rumah), natas bate labar (halaman kampung), uma bate duat (kebun), dan wae bate teku (mata air).
Selanjutnya disusul dengan filosofi gendang one (rumah adat), lingko peang (lahan komunal). Artinya, orang Manggarai memiliki rumah adat yang disebut Mbaru Gendang berarti ada lahan umum untuk digarap secara komunal.
“Tapi saya mau bentang sejarah Manggarai orang tidak percaya,” katanya.
“Kita perlu belajar dari PT Arumbai, tidak ada yang kaya,” sambung Bonevasius.
Tanah Warisan Pusaka
Penolakan kehadiran pabrik semen di wilayah itu juga disampaikan beberapa warga Kampung Luwuk, Desa Satar Punda.
Meski dari sisi jumlah kelompok tolak rencana pendirian pabrik semen kalah dengan kelompok setuju, namun tidak membuat mereka gentar. Di sana, hanya ada 8 KK yang tolak, sementara 65 KK sudah dipastikan setuju.
Kontantianus Esa (62) misalnya, dengan tegas menolak rencana pemerintah untuk mendirikan pabrik semen di Kampung Luwuk.
Ayah 3 anak ini beralasan tanahnya merupakan warisan pusaka peninggalan sang ayah.
“Dasar tolak karena tanah warisan pusaka dari bapa saya. Pesan bapa saya dulu, tanah tidak boleh hilang,” ujar Kontantianus saat ditemui sejumlah awak media di Kampung Luwuk, Jumat (17/04/2020) siang.
Kontantianus sendiri memiliki tanah tujuh bidang. Satunya adalah lahan sawah yang menghasilkan padi setiap tahun. Di sawah itu juga ada sumber mata air yang dikonsumsi masyarakat Kampung Luwuk.
“Tolak berdiri perusahaan, di atas sawah saya. Saya siap hadang saja kalau mereka paksa berdiri di saya punya lahan. Di sawah saya ada mata air untuk (warga) Kampung Luwuk,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Karolina Hinam (57). Curahan hatinya cukup serius dan sarat dengan pesan adat untuk mempertahankan tanah sebagai warisan pusaka leluhur.
Janda tujuh anak asal Kampung Luwuk itu mengatakan, tanah adalah warisan nenek moyang. Ditambah lagi pesan suaminya sebelum meninggal agar tetap menjaga tanah-tanah keluarga mereka.
“Suami saya bilang, kalau jalan raya dari Reo sampai ke Dampek saja (yang diberikan), kalau perusahaan tidak boleh,” katanya.
Ia juga menolak tanah mereka diberikan kepada perusahaan semen setelah melihat aktivitas tambang mangan dari PT Arumbai Mangan Bekti, yang letaknya tidak jauh dari Kampung Luwuk. Menurut dia, aktivitas penambangan mangan tersebut telah merusak alam dan lingkungan.
Tolak Relokasi Kampung
Vitalismus Seldi adalah salah satu nama KK di Kampung Lingko Lolok yang telah menerima uang muka (Down Payment) penyerahan lahan dari PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Singa Merah.
Pria yang akrab disapa Vitalis itu menegaskan, secara pribadi pihaknya menerima kehadiran perusahaan semen. Meski demikian, ia bersikukuh untuk menolak upaya relokasi Kampung Lingko Lolok.
“Secara pribadi saya terima hadirnya perusahaan semen, tapi saya tolak relokasi kampung,” ujarnya saat berbincang-bincang dengan para awak media di Kampung Lingko Lolok, Kamis (16/04/2020) siang.
Kendati Vitalis bergeming pada sikap penolakan relokasi, namun dalam poin kesepakatan yang diduga dilakukan antara warga dengan pihak PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai justru berbanding terbalik.
Pada bagian kedua poin-poin kesepakatan huruf c menyebut, relokasi hunian pemukiman Lingko Lolok (dengan mekanisme ruislag) atas bangunan, rumah, sarana dan prasarana kemasyarakatan adat pada lokasi lain yang akan ditentukan.
Vitalis menambahkan, pihaknya sudah menerima uang DP dari perusahaan semen sebesar Rp 10 Juta per KK. Meski begitu, menurut dia belum ada pembahasan soal kompensasi.
“Uang itu untuk DP tanah, belum ada omong kompensasi, perusahaan bilang kompensasi tetap ada. Kalau belum lunas mereka (perusahaan) belum mulai operasi,” kata Vitalis.
Sementara Efridus Suhardi salah satu warga Kampung Luwuk yang pro terhadap pabrik semen sempat bersitegang dengan para awak media.
Ia bahkan sempat melarang para wartawan untuk mewawancarainya.
“Tidak usah wawancara itu, kami tidak suka itu,” tegas Suhardi saat ditemui di kediamannya, Jumat siang.
“Kami tidak tahu luas lahan yang akan dijadikan pabrik. Kami masyarakat tidak tahu apa-apa. Situasi di kampung ini aman-aman saja,” katanya.
Meski demikian, situasi bersitegang itu tidak berlangsung lama. Ia kemudian mengungkapkan alasan sikapnya yang menerima kehadiran pabrik semen.
Suhardi menyatakan, mungkin tujuan perusahaan semen hadir di wilayah itu untuk membuka lapangan kerja.
“Tapi kami tidak tahu selanjutnya. Kalau itu semua membawa kebaikan, untuk apa tidak terima,” tandasnya.
Soal penolakan, kata dia, tergantung pribadi masing-masing. Tetapi dia sendiri sudah menyiapkan lahannya 1 hektare untuk kemudian diserahkan ke perusahaan semen.
“Masih nego dengan perusahaan. Kami tidak tahu pasaran harga tanah, yang kami tahu harga kayu (kayu api) satu ikat 1000,” kata Suhardi saat ditanya harga tanahnya.
Ia menambahkan, rata-rata warga Kampung Luwuk berprofesi sebagai petani. Sebab itu, di balik kehadiran pabrik semen diharapkan bisa membuat kehidupan yang lebih baik.
Hanya Dukung Keputusan Masyarakat
Terpisah, Kepala Desa Satar Punda Fransiskus Hadilaus menyatakan, pihaknya hanya mendukung keputusan masyarakat terkait kehadiran perusahaan semen di Luwuk dan Lingko Lolok.
“Kami sebagai pemerintah desa hanya mendukung apa yang menjadi keputusan masyarakat. Kami juga tidak punya hak untuk memberikan intervensi atau tekanan terhadap masyarakat, agar pabrik semen ini bisa diterima atau tidak,” ujar Fransiskus saat ditemui di kediamannya di Satarteu, Jumat sore.
Ia juga menginformasikan bahwa Bupati Manggarai Timur Agas Andreas pernah mengunjungi Kampung Luwuk pada 21 Januari 2020 lalu. Saat itu Bupati Agas, kata dia, hanya menginformasikan bahwa akan ada pendirian pabrik semen di wilayah itu.
Sedangkan keputusan jadi atau tidaknya pabrik semen ini, kata dia, tergantung masyarakat yang memiliki lahan.
Selanjutnya, menurut Kades Fransiskus, Asisten II Setda Manggarai Timur Mikael Jaur bersama perusahaan semen juga pernah mengunjungi masyarakat pada 7 April 2020 lalu.
Ia mengungkapkan, pada kunjungan itu pihak perusahaan melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Salah satunya akan membangung cerowong asap pabrik untuk mencegah pencemaran lingkungan.
Sesuai perencanaan perusahaan semen juga Kampung Luwuk tidak akan diganggu ataupun direlokasi.
“Dalam perencanaan perusahaan, tidak ada Kampung Luwuk mau dipindah, mau dirubah, mau digeser sekalipun, tidak,” jelas Kades Fransiskus.
Sementara hunian Kampung Lingko Lolok sesuai perencanaan perusahaan akan dipindahkan atau direlokasi. Meski begitu perencanaan perusahaan, kata dia, tergantung masyarakat Lingko Lolok.
“Kesepakatan dengan Lingko Lolok tidak melibatkan kami sebagai pemerintah. Itu kesepakatan mereka sendiri bersama pihak perusahaaan, bahwa bukan pindah kampung, tapi pindah rumah,” terang Kades Fransiskus.
Selanjutnya, pada Jumat (17/04/2020) sore, para awak media menyambangi Kantor
PT Istindo Mitra Manggarai yang berlokasi di Reo, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai.
Para awak media tiba di kantor itu sekitar pukul 17.00 Wita untuk mengonfirmasi seputar rencana pendirian pabrik semen di Kampung Lingko Lolok dan Luwuk.
Para awak media yang diperkenankan masuk ke ruangan tamu berusaha menunggu sekitar satu jam lebih.
Sayangnya di sana tidak berhasil bertemu dengan pimpinan perusahaan itu. Hanya ada beberapa karyawan yang mengaku tidak berhak menyampaikan tanggapan atas nama perusahaan, kecuali pimpinan.
Seorang pekerja menginformasikan bahwa pimpinan mereka menginap di hotel. Ia juga enggan menyebutkan nama hotel, tempat pimpinannya inap.
Meski demikian, karyawan itu berjanji akan memberitahukan ke pimpinannya dan menyuruh para awak media untuk datang kembali ke kantor itu keesokan harinya, Sabtu (18/04/2020) pagi.
Pada Sabtu pagi, para awak media pun kembali mendatangi kantor itu. Terpantau, pintu gerbangnya ditutup rapat dan kantor tampak sepi. Di luar kantor juga tidak ada papan nama perusahaan.
Setelah beberapa saat menunggu, ada dua karyawan menghampiri pintu gerbang. Keduanya hanya berdiri di balik pintu gerbang yang sedang dikunci.
“Mereka tidak masuk,” kata pria yang mengaku bernama Budi seorang mekanik di PT Istindo Mitra Manggarai dari balik pintu gerbang.
Sebagai informasi, PT Singa Merah akan menggandeng PT Istindo Mitra Manggarai untuk pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok.
Baca: Janji Bupati Agas di Balik Rencana Pabrik Semen Lingko Lolok Omong Kosong
Dilansir dari berbagai sumber, PT Istindo Mitra Manggarai diduga salah satu perusahaan yang pernah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi mangan dengan luas 736,30 hektare dan berlaku hingga 2017. IUP dikabarkan diberikan oleh Pemkab Manggarai Timur.
Penulis: Ardy Abba