Oleh: Anselmus Sahan
Dosen Universitas Timor, Kefamenanu, NTT
Sudah sebulan lebih, kita semua terkurung di rumah. Keadaan ini terpaksa dilakukan karena virus Corona sedang menggerogoti, tidak saja Negara Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Serangannya telah menelan banyak korban jiwa, tidak pandang predikat manusia.
Jika seorang manusia yang telah terlebih dahulu terjangkit, mungkin dia sendiri tak tahu bahwa dia telah terserang virus, bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dan bertemu dengan banyak orang, maka itulah media menjamurnya virus tersebut.
Apalagi jika selama bertemu, dia melakukan kontak tangan, mencium pipi, atau berbicara pada jarak dekat dengan orang-orang yang ditemuinya, kemungkinan besar untuk menyerang orang-orang baru sangat potensial terjadi.
Kebiasaan kita selama ini ialah bahwa saat bertemu teman, kita pasti saling mencium pipi, berpelukan atau bahkan berjabatan tangan. Dalam tradisi ketimuran, peristiwa persahabatan ini sangat sulit dihindari. Namun, di saat Corona merebak dan mengancam jiwa raga kita semua, kita pun mulai menghentikan semua indikasi pertautan sosial ini. Kita diminta untuk menggunakan salam Corona, dengan cara menempelkan bagian dalam telapak tangan seraya merundukkan kepala sedikit kepada teman kita saat bertemu. Tidak ada lagi kontak fisik dalam bentuk cium, jabatan tangan dan berpelukan.
Kebijakan Pemerintah
Presiden Joko Wododo, melalui Tim Covid-19 Pusat, berulang kali mengingatkan masyarakat Indonesia untuk menaati protokol penanganan virus ini. Salah satu protokol yang gencar disosialisasikan ialah agar masyarakat, kita semua, wajib melakukan social distancing, yaitu jarak ideal dalam pergaulan sehari-hari di saat kita bertemu dengan keluarga, sahabat atau teman kita, baik di jalan atau di tempat kerja.
Sejalan dengan itu, jika telah kembali ke rumah, kita wajib mencuci tangan dengan sabun, menjemur dan/atau membersihkan pakaian yang kita kenakan saat keluar rumah dan menggunakan masker di luar atau di dalam rumah.
Menurut pengamatan saya, cukup sedikit masyarakat kita yang patuh terhadap himbauan Pemerintah. Dengan alasan tidak punya uang untuk membiayai hidup harian keluarga, seseorang bisa bergerak ke mana saja sesukanya. Masyarakat di zona merah, misalnya, ada yang begitu bebas berjalan ke pasar atau melakukan ritual tertentu. Mereka malah melawan aparat di saat mereka ditegur.
Ada juga masyarakat yang dengan tahu dan mau menghujat kebijakan pemerintah yang mematikan pergerakan ekonomi rumah tangganya atau membatasi gerakan sosial keagamaannya. Bahkan, ada yang masih menyelenggarakan pesta, ritual adat, resepsi pernikahan dan kegiatan sosial lainnya. Saat ditegur aparat, mereka malah melawan dan menantang aparat dengan mengatakan “Kami tidak takut Corona”.
Lain lagi di daerah-daerah yang ada belum terserang virus Corona. Banyak masyarakat yang nongkrong di jalan, bukan karoke, dan buka warung. Mereka malah sibuk seruput kopi bersama, nyanyi ramai-ramai, atau makan bersama keluarga. Jika berjalan, tanpa maskerpun tak masalah. Menhadapi orang ini, aparat perlu juga tegas bertindak.
Virus ini tidak mengenal apakah daerah-daerah kita di NTT masih banyak yang putih bersih atau bebas dari Corona. Virus ini menyebar dari orang-orang yang kita temui tiap hari. Orang-orang tersebut tidak pernah kita tahu bahwa dia pernah pergi ke dan pulang dari Jakarta atau bertemu orang lain di jalan, yang mungkin baru datang dari wilayah lain. Mungkin selama di daerah lain itu dia telah bertemu dengan orang-orang lain lagi yang datang dari wilayah merah Corona. Hanya kewaspadaanlah yang bisa kita lakukan menghadapi situasi ini. Karena itu, tidak salah jika PSPB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diterapkan.
Sindroma Sosial
Dari segi ekonomi, kita harus akui bahwa Virus Corona telah menghancurkan sendi perputaran roda perekonomian banyak orang atau keluarga. Di mana-mana, ada orang menjerit, menangisi dan meratapi kejamnya serangan Corona. Ada perusahaan yang memberhentikan banyak karyawannya karena sangat minimnya pemasukan.
Di kalangan elit politik, virus Corona menjadi media penyerangan terhadap kebijakan perekonomian Presiden Jokowi. Nonton saja di TV. Baca saja berita, baik di media cetak maupun online, termasuk postingan perorangan di media sosial, seperti Facebook, Youtube, Instagram, dan WA. Kelas media sosial terakhir ini menjamur karena penulisnya bisa siap saja dan dikomentari oleh para pengikutnya. Tak tanggung-tanggung, mereka menghina, menghujat dan memaki pemimpin negara. Kata-kata mereka sangat kejam dan tidak mengenal etika dan kehabisan perasaan manusiawi.
Keadaan ini menjadi sebuah sindroma sosial, yang tumbuh di saat mereka tahu sebab-musababnya, tetapi di saat itu, mereka hanya bisa berhak mengomentarinya hanya karena “kebebasan berpendapat” yang terbuka lebar bagi. Label kebebasan ini membias atau disalahmanfaatkan. Tidak heran, jika para provokator media social ini mulai diciduk oleh aparat. Anehnya, saat ditangkap, mereka merengek-rengek minta maaf kepada pemimpin negara ini yang sudah dihinanya.
Sindroma sosial ini sebenarnya terjadi karena kita tidak pernah mengerti terhadap imbauan pemerintah. Siapa yang tidak takut mati kelaparan karena tidak bekerja atau tidak mendapatkan uang selama terkurung di rumah? Semua pasti mau makan dan mau hidup.
Unruk menghadapi sindroma ini, Pemerintah telah menyipakan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan ini merata sampai ke desa. Bahkan saat ini, beberapa wilayah telah memberikan BLT kepada masyarakat yang terdampak virus ini. Sekalipun mungkin jumlah kecil, bantuan ini hendaknya digunakan secara cerdik, hemat dan menahan diri. Saat ini, kita harus belajar mengeluarkan uang sehemat mungkin.
Vox Domini?
Dalam literatur demokrasi, banyak orang tahu teori tentang Vox Populi Vox Dei atau Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Banyak ahli hukum dan politik menelaah adagium Eropa abad pertengahan ini. Ada yang berpendapat bahwa dalam kasus pemilihan presiden dan legislatif, adagium ini tidak bermakna lurus sebab suara rakyat tidaklah sama dengan suara Tuhan yang maha suci. Tanpa membentangkan sejarahnya, adagium ini telah melegitimasi begitu banyak peristiwa demokrasi.
Saat kampanye, misalnya, seorang calon menggelorakan adagium klasik ini dan saat dia menang, dia mengklaim bahwa itu karena suara mutlak dari rakyat yang memilihnya. Suara dari rakyat itu adalah suara Tuhan. Namun dalam kenyataan, saat seeorang yang menang tadi menduduki sebuah jabatan politis, seperti presiden, gubernur, bupati, walikota atau dewan, terseret kasus korupsi, tentu adagium tidak berlaku.
Menghadapi pandemi Corona, Pemerintah Indonesia telah berulang kali mengingatkan masyarakatnya untuk menghentikan semua aktivitas sosialnya, seperti solat Jumat, misa di Gereja, kebaktian keagamaan lainnya, kegiatan perkantoran, perusahan dan sekolah (dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi).
Beberapa perusahaan juga turut berhenti beroperasi, kecuali yang terkait dengan kesehatan. Sedangkan kantor yang tetap siaga ialah kepolisian dan tentara serta kantor terkait dengan penanganan Covid-19.
Perlu hendaknya kita secara bersama-sama memahami bahwa himbauan Pemerintah adalah suara Tuhan, yaitu “Imperium voce est vox Domini”. Suara Pemerintah paling tidak bernada untuk menyelamatkan masyarakat agar tidak banyak yang tertular virus Corona. Keselamatan masyarakat menjadi urusan nomor satu sebab jika banyak orang terinfeksi, Pemerintah akan kehabisan tenaga dan daya untuk menyelesaikan pandemi ini.
Kita patut bersyukur, imbauan Pemerintah untuk melakukan “Social Distancing, StayatHome”, Mencuci Tangan” dan “Mengenakan Masker” telah menjadi menu kesehatan masyarakat.
Di sekitar kita, misalnya, kesadaran itu tumbuh dengan begitu baik dan menjadi sebuah kebiasaan untuk tidak segan-segan mengingatkan orang yang baru masuk ke wilayahnya mengikuti protokol kesehatan. Hasilnya, di setiap daerah telah dibangun atau disiapkan rumah atau hotel tempat karantina warga yang berstatus ODP dan menyilahkan warga lain untuk melakukan karantina mandiri di rumah.
Harus diakui bahwa virus ini telah merusak persaudaraan. Sebuah keluarga, yang baru saja kedatangan anak kandungnya dari sebuah zona merah Corona, terpaksa disemprot dengan disinfektan terhadap jaket dan barang bawaannya dan kepadanya disuruh mandi menggunakan sabun serta menanggalkan semua pakaian di badannya sebelum memasuki rumah.
Ada juga sekelompok warga yang secara gotong royong mengamankan wilayah dari kedatangan orang baru dan membangun Posko Covid-19 serta melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang memasuki atau melewati wilayahnya.
Sekalipun protokol kesehatan telah memasyarakat, toh kita juga patut bersedih sebab sebagian masyarakat masih menganggap bahwa orang yang baru datang dari zona merah sudah terkontaminasi Corona.
Stigma ini mungkin berkembang liar karena terlalu gencarnya pemberitaaan Covid-19 di media massa dan tidak lengkapnya informasi dari pusat ke daerah-daerah serta ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menyosialisasikan secara efektif dan efisien protokol kesehatan dari Pemerintah Pusat. Terlepas dari ada-tidaknya kelemahan Pemerintah, kita semua wajib mendukung Protokol Kesehatan tersebut sebagai pedoman hidup bersama yang bertujuan untuk menjaga agar kita semua tetap sehat.
Kita berharap agar Pemerintah Pusat terus mendukung upaya Pemerintah Daerah untuk menyiapkan fasilitas kesehatan yang memadai, mendatangkan tenaga kesehatan dan/atau medis yang mumpuni dan menggelontorkan dana BLT dan bantuan lainnya kepada masyarakat yang secara langsung terdampak virus Corona. Moga-moga, Provinsi Flobamara akan tetap bebas dari gangguan penyebaran virus ini.