Ruteng, Vox NTT- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) turut menyoroti sikap dan pernyataan Bupati Manggarai Timur (Matim), Agas Andreas dalam rencana pendirian pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.
“Modus operandi Bupati Agas dalam berkelit mencuci tangan seakan-akan hanya menjadi juru selamat buat warganya untuk melepaskan hak atas tanah dengan harga Rp 12.000 per meter persegi,” ujar Koordinator TPDI Petrus Salestinus dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Minggu (26/04/2020).
Menurut dia, Bupati Agas sedang menjalankan praktik politik burung unta. Itu karena ia mencuci tangan dengan sembunyi muka dari urusan beraroma Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang mengorbankan harga diri warganya.
Padahal menurut Salestinus, Bupati Agas seharusnya mempersulit terjadinya jual-beli tanah dalam jumlah 500-an hektare yang dihuni oleh sebagian besar warga 1 (satu) desa secara turun temurun.
Sebab di situ, melekat hukum adat dan hak-hak tradisional sebagai ekosistem kebudayaan yang wajib dilindungi.
Baca: Warga Luwuk: Manusia Saja yang Beranak, Tanah Tidak
“Karena menjual tanah satu desa itu sama dengan membumihanguskan ekosistem kebudayaan masyarakat satu desa,” tegas Advokat Peradi itu.
Ia juga menyayangkan sikap Bupati Agas yang hanya mengumbar perannya agar terjadi jual-beli tanah warga Lingko Lolok kepada perusahaan semen. Sebab, Bupati Agas memfasilitasi agar warganya tidak dirugikan.
Menurut Salestinus, sikap Bupati Agas ini mempertegas peran “makelar” atau “calo” tanah.
Bupati Agas juga dinilai telah bertindak merendahkan wibawa pemerintah yang seharusnya melindungi warganya. Ia telah membiarkan warganya terjerat hutang Down Payment (DP) Rp 10 Juta dari PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai untuk sesuatu yang terancam batal.
“Dengan perilaku “makelar” atau “calo”, tanpa peran mengayomi warganya dari praktek penjeratan hutang atau ijonisasi bahkan relokasi desa sekaligus punahnya hak-hak tradisional warga, maka cepat atau lambat Bupati Agas akan menghadapi krisis kepercayaan publik, tidak saja dari warga masyarakatnya tetapi juga dari Pemerintah Pusat, karena tambang semen tidak termasuk kepentingan umum,” ujar Salestinus.
Ia menegaskan, asas-asas penyelenggaraan Negara tidak tampak sedikitpun dalam perilaku Bupati Agas. Sebab, telah memberi ruang selebar-lebarnya bagi PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai untuk memperdaya dan menjerat warganya.
Baca: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
Agas, kata dia, malah dengan bangga mengatakan bahwa warga datang bertemu Bupati sudah membawa surat kesepakatan jual-beli tanah. Sehingga Bupati Agas hanya menjaga agar warganya tidak dirugikan. Padahal, kata dia, warga Luwuk dan Lingko Lolok sudah dirugikan.
Agas Tidak Berpihak dengan Warga
Menurut Salestinus, klarifikasi Bupati Agas di balik rencana pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok sebenarnya sedang menunjukkan sikap ketidakberpihakan dengan warga.
Beberapa poin fakta yang diakui Bupati Agas, kata dia, bahwa perannya memberikan izin lokasi pabrik semen.
Agas juga berperan memfasilitasi warga Luwuk dan Lingko Lolok untuk bertemu dengan pihak PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai dalam jual-beli tanah untuk lokasi tambang Semen.
“Klarifikasi Bupati Agas sebagai representasi Negara, terbukti tidak berpihak pada kepentingan warga Kampung Luwuk dan Lingko Lolok selaku pemilik tanah leluhur, selaku pemangku adat isitiadat beserta hak-hak tradisional yang oleh konstitusi diwajibkan untuk dihormati, diakui dan dilindungi Negara,” ujar Salestinus.
Apalagi menurut Salestinus, Bupati Agas mengakui telah mengeluarkan izin lokasi. Ia juga mengakui pula bahwa urusan IUP PT Singa Merah di Luwuk dan Lingko Lolok itu menjadi kewenangan provinsi, bukan urusan Bupati Matim.
“Kecuali soal jual beli tanah Agas berperan sebagai Bupati dan sebagai keluarga fifty–fifty, agar pihak yang menjual tidak dirugikan oleh pembeli. Ini peran ‘makelar’ dan ‘nepotisme’,” tandasnya.
Hal semacam ini menurut Salestinus, sebenarnya menunjukkan bahwa Bupati Agas sedang mencuci tangan dan bersembunyi di balik kewenangan memberi IUP dengan alasan ada di tangan Gubernur NTT.
Asumsi yang boleh diambil di balik pernyataan Agas ini ialah pabrik semen dan segala dampak buruknya bukanlah tanggung jawab Bupati Matim, tetapi tanggung jawab Gubernur NTT.
Dikabarkan sebelumnya, Bupati Manggarai Timur (Matim) Agas Andreas akhirnya buka suara terkait rencana pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.
Pabrik semen tersebut dalam rencananya akan digarap oleh dua perusahaan. Keduanya yakni, PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai.
“(Izin tambang) provinsi, bukan Bupati. Orang salah mengerti seolah-olah Bupati kasih izin. Tidak,” ujar Bupati Agas saat dikonfirmasi sejumlah awak di media di ruangannya, Kamis (23/04/2020).
Ia menegaskan, tanggapan masyarakat selama ini seolah-olah pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok itu sudah berjalan. Namun sebenarnya belum ada izin.
Agas menjelaskan, saat ini tahapannya ialah Bupati Matim sudah mengeluarkan izin lokasi pabrik semen di Luwuk. Syarat izin lokasi adalah harus ada rekomendasi dari Badan Pertanahan.
“Tapi di tempat pabriknya. Di Luwuknya yang sudah keluar (izin). Sedangkan izin untuk tambang bukan kewenangan Bupati,” tegas Agas.
“Orang selalu berpikir bahwa oh sudah jadi ini tambang. Belum,” sambung Bupati yang berpasangan dengan Jaghur Stefanus itu.
Menurut dia, saat ini sedang ada proses negosiasi antara masyarakat dengan pihak perusahaan terkait pembebasan lahan. “Jadi, belum ada yang bombadir di bawah,” imbuhnya.
Ia menambahkan, proses selanjutnya ialah setelah masyarakat menjual tanahnya di Notaris kemudian disusul dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Setelah tahapan AMDAL lalu proses izinnya. Jadi, masih lama,” tegasnya.
Baca: “Bagaimanapun Bentuknya, Saya Punya Tanah Tidak Boleh Diganggu”
Bupati, kata dia, memfasilitasi masyarakat dalam urusan kesepakatan dengan pihak perusahaan merupakan kewajiban. Hal ini tentu saja sebagai upaya pembelaan terhadap masyarakat.
“Jangan sampai perjanjian nanti antara perusahaan dengan masyarakat justru merugikan masyarakat. Itu yang saya coba fasilitasi,” terang Agas.
Alasan Bertemu Masyarakat di Cekalikang
Sejumlah masyarakat Luwuk dan Lingko Lolok sebelumnya dilaporkan pernah bertemu Bupati Agas di kampung halamannya di Cekalikang, Kecamatan Poco Ranaka.
Banyak pihak yang mempertanyakan modus pertemuan tersebut. Sebab, setelah pertemuan dengan Bupati Agas, masyarakat mengambil pilihan untuk menerima uang down payment (DP) sebesar 10 Juta per Kepala Keluarga (KK) dari perusahaan.
“Kalau masyarakat datang ketemu saya, apa salahnya?” tukas Agas.
Ia mengaku lebih memilih bertemu masyarakat Luwuk dan Lingko Lolok di Cekalikang karena pertimbangan jarak dan situasi.
“Kenapa? Dekat to dengan saya dengan mereka. Itu yang pertama. Yang kedua, kalau saya bertemu di sini (Borong), masyarakat berhadapan dengan Bupati, lebih dominan Bupatinya. Tapi kalau saya bertemu di atas (Cekalikang) mungkin fifty fifty antara Bupati dengan keluarga,” tegas Agas.
Baca: Agas: Izin Tambang di Provinsi, Bukan Bupati
Menurut Agas, masyarakat datang dengan membawa kesepakatan di antara mereka. Sebab itu dalam pertemuan tersebut membicarakan kesepakatan yang dibuat mesti operasional dan tidak boleh merugikan masyarakat.
Ia kembali menegaskan, masyarakat sendiri yang membawa kesepakatan, bukan dia sebagai Bupati Matim yang menentukan.
“Saya hanya memfasilitasi jangan sampai mereka sepakat mengenai hal-hal yang merugikan mereka itu kah. Mereka minta untuk bertemu, masa saya larang,” pungkasnya.
Penulis: Ardy Abba