Borong, Vox NTT-Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Manggarai Timur (Matim) Wilibrodus Nurdin turut menyoroti keterlibatan Bupati Agas Andreas di balik pembangunan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.
“Saya lihat pa Bupati Agas seolah-olah pasang badan, ada apa? Saya menduga mungkin saja ada “bonceng kepentingan” di balik pabrik itu. Dia (Bupati) seolah jadi bumper dalam proses memuluskan pabrik ini,” ujar pria yang kerap disapa Wili itu saat ditemui VoxNtt.com di Borong, Minggu (26/04/2020).
Menurutnya, persoalan besar seperti kasus dugaan suap bandara senilai 3,8 Miliar dan perbatasan Matim-Ngada, hingga kini belum juga disampaikan secara terbuka oleh pemerintah kepada publik.
Ia mengatakan dua kasus besar itu juga, hingga kini menuai kecurigaan publik. Apalagi, sejumlah pihak mencium aroma dugaan korupsi, termasuk Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus.
Baca: Gereja dan Masyarakat Mesti Dukung Pindahkan Pabrik Semen ke Luar NTT
“Maka saya minta pa Petrus harus terbuka dengan persolaan ini. Harus tuntaskan persoalan ini. Karena ini dapat mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat Manggarai Timur,” tegas Wili.
“Maka pabrik semen juga jangan sampai seperti itu. Saya pikir Pemda harus berkaca dari persoalan ini. Jangan sampai ada narasi atau pun dugaan ada kepentingan yang terselubung,” lanjut mantan Wakil Ketua DPRD Matim itu.
Dikatakannya, masyarakat petani di Luwuk dan Lingko Lolok sudah pernah bersama tambang, tetapi keadaan mereka masih seperti biasa. Bahkan belum ada perubahan yang signifikan selama beraktivitas sebagai penambang.
“Tidak ada hal yang luar biasa. Lingkungan banyak rusak, sumber mata air turun debit. Sekarang tugas pemerintah memulihkan kembali apa yang sudah rusak itu,” ujarnya.
Baca: Warga Luwuk: Manusia Saja yang Beranak, Tanah Tidak
Wili menjelaskan, walaupun deposit batu gamping sebagai bahan dasar untuk dibangunnya pabrik semen, memenuhi syarat. Pertanyaan berikutnya papar Wili, adalah siapa yang mau bangun? Kalau oleh investor, itu dari mana? Apakah pemerintah sudah seleksi? Apakah pemerintah sudah lihat itu bahwa betul atau serius?
Baca: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
“Atau ini hanya, saya menduga adalah sebuah mafia,” tegas pria yang 15 tahun pernah menjadi anggota DPRD itu.
Menurut Wili, banyak investor yang menjual semua izin usaha atau sejenisnya kepada pihak bank untuk melakukan kredit.
Perlu Pertimbangkan Kembali
Wili menejelaskan, jika mengacu pada aturan, memang kewenangan memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) ada pada provinsi. Artinya kata dia, kewenangan mutlak itu ada di pemerintah provinsi sebegai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
“Kita sadar negara ini negara hukum. Bicara tentang pertambangan minerba, batu bara, itu kita bicara Undang-undang. Implementasi Undang-undang itulah yang sekarang dilakukan,” katanya.
Cuman persoalannya jelas Wili, untuk saat ini pembangunan pabrik semen di Luwuk tidak pada tempatnya, juga untuk ke depan tidak bisa.
Hal itu dikarenakan, pertama, areal dibutuhkan dalam jumlah besar dapat mengurangi lahan pertanian masyarakat.
Kedua, untuk membangun fasilitas demi kepentingan masyarakat membutuhkan waktu yang lama.
Ia pun mencontohkan sejarah pabrik Semen Kupang yang hingga kini, puluhan hektare areal di sekitar pabrik itu dibebaskan dan penduduk terpaksa direlokasi.
“Jika masyarakat sepakat, itu butuh waktu untuk bangun, sementara proyek mulai kerja. Bagaimana kelangsungan hidup mereka?. Mereka bukan hanya memiliki ayah dan ibu tetapi mereka juga punya anak-anak,” ujarnya.
“Pihak pemerintah harus terbuka kepada masyarakat. Karena mereka yang tinggal di Lingko Lolok bukan mereka sendiri, termasuk saya punya keluarga di sana,” urainya.
Ia pun menyarankan Bupati Agas dan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat agar menimbang kembali dan tidak boleh paksa untuk membangun pabrik semen.
Wili juga menilai saat ini, yang sedang dimainkan oleh para penguasa adalah politik devide et impera atau adu domba.
“Memecah belah dan menguasai. Mereka coba memainkan peran supaya di masyarakat terjadi konflik. Ada pro dan kontra. Termasuk publik ramai membicangkan ini. Tetapi titik akhir mereka menguasai,” urainya.
Bila Dipaksakan
Dikatakannya apabila pemerintah memaksa untuk tetap membangun pabrik semen, maka harus mencari lahan lain yang masih kosong dan jauh dari pemukiman penduduk.
“Mereka tidak boleh bangun di situ perusahaannya. Tapi bahan bakunya ambil dari situ (Lingko Lolok). Artinya masyarakat sebagai pekerja utama untuk menggali itu,” katanya.
Sehingga jelas Wili, jikalau tidak ada lagi batu gamping sebagai bahan baku semen, warga bisa menjadikan lahan tersebut untuk pertanian. Apalagai dengan adanya dukungan fasilitas dari perusahaan.
Ia juga menambahkan, yang perlu diperhatikan oleh pemerintah jika tetap dipaksakan, maka harus memenuhi tuntutan masyarakat yang memiliki tanah di lokasi itu.
“Tetapi kalau tidak, saya minta jangan. Tinggal sekarang bagaimana berpikir membantu masyarakat di sana. Kalau ada di bidang pertanian, perkebunan ataupun nelayan, pemda tinggal dorong mereka. Itu kan bermuara ke kesejahteraan. Mengapa harus barter dengan pabrik semen? Saya pikir nggak perlu lah,” urai Wili.
Bagaimana Pertemuan di Cekalikang?
Terkait pertemuan di Cekalikang, Wili berpikir positif. Menurutnya ada pertimbangan-pertimbangan, sehingga pertemuan dilakukan di tempat itu.
Baca: Terkait Pertemuan di Cekalikang, Warga Lingko Lolok Bantah Pengakuan Bupati Agas
“Lokasi atau tempat itu kan relatif. Buat saya mungkin pa Ande berpikir dari segi kenyamanan atau ada pertimbangan lain. Tetapi isi dari pertemuan itu apa?. Yang mereka lakukan kan tidak tahu, kita hanya dengar bahwa hasilnya itu,” ujarnya.
Menurutnya yang dibutuhkan adalah konsistensi. Pernyaatan yang ada di media massa Bupati Agas hanya menfasilitasi, tetapi yang berkepentingan itu para investor dan dan masyarakat.
“Maka masyarakat jangan putar balik. Katakan ya kalau ya, katakan tidak kalau tidak. Sehingga tidak membingungkan semua orang dan tidak mengkambinghitamkan masyarakat,” tegasnya.
DPRD Jangan Cuci Tangan
Wili juga meminta DPRD Matim tidak boleh “cuci tangan” dalam menyikapi polemik pabrik semen itu.
Semestinya DPRD kata dia, harus mempunyai cara pandang sebagai wakil rakyat. Karena ketika terpilih pada saat Pemilu, darimana saja dari daerah pemilihan, tetap disebut sebagai DPRD Matim.
“Mulai dari pimpinan sampai anggota mempunyai kewajiban moral, untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat,” ujarnya.
“Karena mereka wakil rakyat dibayar oleh rakyat. Bukan setelah Pemilu, lalu mereka jadi DPR dan masalah rakyat, rakyat yang urus,” lanjut Wili.
Ia pun menyarankan DPRD Matim harus turun ke lapangan dan mengkaji secara mendalam rencana pembangunan pabrik itu.
“Apa untung dan ruginya, kemudian harus terbuka, umumkan dengan masyarakat. DPRD jangan tutup mulut, seolah-olah tidak tahu persoalan ini,” tegasnya.
DPRD kata dia, harus berani berbicara terbuka, melakukan rapat paripurna, memanggil Bupati dan memminta penjelasannya mengapa sampai ribut? Ada apa?
“Panggil Bupati. Itu DPR punya tugas tidak ada masalah kok. Nanti hasil penjelasan itu diumumkan ke publik. Begini duduk soalnya,” ucapnya.
Ia pun meminta para pemangku kebijakan, agar jangan pernah marah dengan publik atau siapa pun yang mengkritisi pembangunan pabrik semen.
“Ini karena pemerintah tertutup. Saya dukung pemerintah kalau kebijakannya terbuka,” ucapnya.
Wili juga menambahkan DPRD daerah pemilihan Lamba Leda harus menjadi mediator untuk melakukan komunikasi baik di lembaga DPRD maupun dengan warga atau pemilik lahan.
“Saya minta 4 orang itu harus proaktif, jemput persolan itu, diskusikan sampaikan ke DPRD, supaya hasilnya elegan,” tukasnya.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba