Borong, Vox NTT-Hari menjelang sore. Waktu menunjuk pukul 16.00 Wita. Hari itu, Sabtu 25 April 2020.
Suasana kampung Kewa Kaba, Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur itu, masih terlihat ramai.
Suara anak-anak bernyanyi terekam jelas diiringi riakan air di petak-petak sawah. Suara mereka kadang terdengar sumbang, lupa lirik, bahkan ada yang hanya bergumam.
Beberapa warga mulai memadati kali. Mulai dari kaum ibu, bapak-bapak hingga anak-anak.
Nama kali itu Wae Pake. Jaraknya sekira 1 kilometer dari rumah warga yang berada di ujung kampung itu.
Kali itu merupakan salah satu sandaran warga untuk minum, masak, mandi, cuci dan keperluan lainnya. Namun itu hanya terjadi pada musim hujan.
Bila kemarau menyapa, warga harus pergi mengambil air di Kampung Pandu. Mereka berjalan kaki sejauh 2 kilometer (km).
“Kami pake pikul pak. Coba lihat jalan kami, masih seperti ini. Dari dulu hingga saat ini belum pernah berubah,” ucap Lusia Bombol salah satu warga kampung.
Lusia tampak tak banyak bicara. Namun, raut wajahnya seolah memberi isyarat, tentang susahnya kehidupan warga kampung.
Wanita kelahiran 1964 silam itu pun mengajak VoxNtt.com untuk seruput kopi pahit di rumahnya, sekira 500 meter dari kali Wae Pake.
Di depan rumahnya tampak beberapa tumpukan karung berisi kemiri. Kata Lusia, kemiri itu akan dikupas kulitnya lalu dijual ke pasar atau kepada para tengkulak lokal.
“Kalau kami terdesak butuh uang, terpaksa kami ambil uangnya dulu ke para pedagang nanti baru kami tutup dengan barang,” katanya.
Rumah Lusia belum dialiri listik. Begitu pula 15 Kepala Keluarga (KK) di kampung itu.
Sudah lama mereka merindukan aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun, tak kunjung tiba.
Untuk mendapat penerangan, warga pun terpaksa menggunakan mesin generator, milik salah satu warga di kampung itu.
“Kami bayar tiap bulan Rp.80.000, setiap rumah hanya 3 mata lampu. Tetapi itu pun tidak sampai pagi, jam 10 malam (22.00 Wita) sudah matim,” aku Lusia.
“Untuk bisa sambung kabel ke rumah-rumah, tiangnya pake kayu bambu pak, memang berbahaya tetapi mau bilang apa. Beginilah yang kami punya,” sambung Lusia.
1 jam bercerita, Lusia tersenyum. Ia kian berani mengungkapkan rasa. Bercerita lebih dalam, tentang perjuangan melawan keterbatasan.
Ia memang sudah mulai keriput. Namun ibu dua anak itu menitipkan harapan agar kelak warganya bisa menyembuhkan kepedihan yang sudah lama dialami.
“Semoga kami bisa diperhatikan. Kami di sini sangat susah pak. Terima kasih sudah mengunjungi kampung kami warga kampung Kewa Keba,” tuturnya.
Sepulang dari kampung itu, VoxNtt.com menyambangi kediaman Kepala Desa Lembur, Yohanes Baos di kampung Pandu.
Kades Yohanes bahkan mengakui Kewa Kaba adalah salah satu kampung yang masih terisolir di desa itu.
Karenanya, pria yang baru dilantik 20 Desember 2019 lalu itu berujar, saat ini desa Lembur sudah menganggarkan Dana Desa (DD) sebesar Rp. 870.000.000 untuk rehabilitasi air minum.
“Rencananya kita alirkan sampe ke sana (Kewa Kaba), karena kita nanti buat bak besar. Program ini sudah ditetapkan dalam APBDes. Sehingga dana itu bisa dimanfaatkan untuk mengatasi semua kebutuhan air minum,” ucapnya.
Kendala yang paling besar kata dia, yakni sarana perpipaan yang sudah rusak sejak 3 tahun silam.
“Banyak yang tidak berfungsi bahkan patah. Makanya kita akan lakukan rehab secara menyuluruh sampai perkampungan,” tukasnya.
Pria kelahiran November 1978 itu bahkan tegas mengatakan bakal memastikan kehidupan warganya ke depan akan sejahtera.
Namun mimpi Yohanes terkendala wabah virus corona yang tak tahu kapan akan berakhir. Dalam doanya ia selalu memohon agar virus yang sudah merenggut banyak nyawa itu sirnalah segera.
“Ini bukan pernyataan ugal-ugalan. Semoga saja virus ini segera berakhir,” imbuhnya.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Irvan K