Oleh: Melky Nahar dan Ferdy Hasiman
Saat ini, Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas sedang memberi karpet merah kepada PT Istindo Mitra Manggarai yang akan menambang batu kapur/gamping – salah satu bahan baku semen – dan PT Semen Singa Merah NTT yang akan mendirikan pabrik semen. Keduanya hendak beroperasi di Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda.
Sikap dan kebijakan Bupati Agas yang mendukung dan memfasilitasi masuknya dua perusahaan itu, menurut kami, menunjukkan kesesatan cara berpikir yang ujungnya melahirkan kebijakan yang salah dan ngawur serta berdampak buruk bagi keselamatan rakyat dan lingkungan.
Dalam proses pengurusan izin dua perusahaan ini, Bupati Agas tampak sangat aktif. Hal itu terlihat dari upayanya memfasilitasi dan memuluskan proses negosiasi antara masyarakat dan pihak perusahaan, termasuk dengan menggelar pertemuan di rumah
pribadinya di luar jam kerja.
Ia juga mengaku telah mengeluarkan izin lokasi untuk PT Semen Singa Merah NTT, langkah yang diambil secara diam-diam. Dalam sejumlah pernyataannya di media, ia juga tampak mendukung penuh kehadiran dua perusahaan itu.
Namun, dari berbagai pernyataannya pula, tampak bahwa Agas berniat mencuci tangan dari tanggung jawab, dengan mengatakan bahwa jadi tidaknya investasi itu adalah kewenangan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.
Ia berusaha berlindung di balik UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memang menetapkan bahwa izin
tambang diberikan oleh gubernur.
Agas tampak berusaha mengecoh publik dengan hanya berkutat di soal perizinan tambang. Padahal, izin lokasi yang ia sudah terbitkan untuk pabrik semen adalah dasar bagi Laiskodat untuk menerbitkan izin untuk pabrik.
Ia juga meletakkan tanggung jawab itu pada masyarakat di Lingko Lolok dan Luwuk, dengan selalu mengklaim bahwa mayoritas dari mereka telah setuju dengan kehadiran dua perusahaan itu.
Selain itu, pernyataannya yang mengarahkan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa terkait perjanjian dengan perusahaan di pengadilan mengindikasikan sikap mengorbankan masyarakat, yang kita tahu selalu berada di posisi lemah dan terbatas.
Tabiat Lama
Fakta di atas tentu tidak mengherankan, jika melihat rekam jejak Agas sejak ia menjabat sebagai wakil bupati selama 10 tahun (2008-2018), mendampingi Yoseph Tote. Rezim Tote-Agas telah meninggalkan jejak polemik tambang di Manggarai Timur, dengan
menerbitkan sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Keduanya memilih ngotot, meski berhadapan dengan protes keras dari publik, termasuk Gereja Keuskupan Ruteng.
Sepanjang dua periode kekuasaan, mereka nyaris tak pernah berpihak pada masyarakat di daerah lingkar tambang yang terkena dampak buruk akibat operasi perusahaan, terutama di Sirise, Satar Teu, Lingko Lolok, Tumbak, Legurlai, dan Weleng.
Aktivitas tambang di sejumlah wilayah itu telah merampas tanah-tanah warga, menyebabkan beberapa orang ditangkap dan dipenjara dan memicu konflik sosial yang berkepanjangan
akibat politik adu domba. Selain itu, perusahaan merusak sistem struktur budaya masyarakat Manggarai, misalnya dengan membentuk ‘tua adat palsu’ (tua adat yang ditunjuk pihak perusahaan).
Di lokasi-lokasi tempat perusahaan tambang mangan tersebut
pernah beroperasi, kehidupan masyarakat tidak berubah menjadi lebih baik, sebagaimana yang dijanjikan. Yang tersisa hanya lingkungan yang rusak, di mana lubang-lubang bekas tambang masih menganga. Perusahaan pergi setelah mengeruk isi alam dan mendapat keuntungan, sementara masyarakat masih tetap dengan narasi kemiskinannya.
Kami melihat, kehadiran dua perusahaan yang kini akan beroperasi di lahan seluas 505 hektar akan memperparah kerusakan jangka panjang, tidak hanya bagi warga di sekitar
lokasi, tetapi jauh lebih luas dari itu.
Dari data yang kami peroleh, wilayah izin perusahaan itu mencakup wilayah perkampungan warga Lingko Lolok, yang membuat relokasi kampung (untuk tidak menyebut penggusuran) menjadi tidak terhindarkan. Agas pun telah menyatakan dukungan terkait relokasi itu.
Relokasi tidak sekadar soal pindahnya rumah, tetapi juga tercerabutnya komunitas warga dari kampung mereka yang tentu punya nilai budaya dan historis.
Relokasi itu juga berpotensi melahirkan masalah sosial baru, terkait adanya resistensi dari warga-warga di kampung sekitar lokasi baru, yang kini mulai mencuat.
Di samping itu, ada bahaya lain yang mengintai. Proses pengolahan semen tentu membutuhkan pasokan energi listrik yang besar, yang tidak memadai jika hanya mengandalkan listrik dari PLN.
Dari informasi yang kami peroleh, rencana penambangan dan pabrik semen oleh kedua perusahaan itu akan terintegrasi dengan pembangunan PLTU Batubara serta terminal pengepakan dan pelabuhan yang semuanya berpotensi menimbulkan kerusakan yang dahsyat dan berkepanjangan.
Pabrik semen yang dalam proses produksinya menggunakan bahan bakar fosil bisa menimbulkan dampak gas rumah kaca, dampak fisik secara langsung terhadap pekerja dan masyarakat sekitar, dan pada tingkat kebisingan serta getaran mekanik dari rangkaian proses poduksi.
Tak hanya itu, debu yang dihasilkan oleh kegiatan industri semen, baik pada tahap penambangan bahan baku maupun selama proses pembakaran hingga pengangkutan bahan baku ke pabrik dan bahan jadi keluar dari pabrik, serta pengantongannya, juga berisiko besar bagi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar.
Debu juga berpotensi merusak tanaman dan sumber air. Ini tentu belum termasuk limbah pabrik semen, semisal debu dan partikel, yang masuk ke dalam kategori limbah gas dan limbah B3.
Udara sebagai media pencemar untuk limbah gas atau asap keluar bersamaan dengan udara yang pada akhirnya berdampak buruk bagi kesehatan. Proses pembakaran batubara dari PLTU juga menghasilkan PM2.5; partikel halus yang dihasilkan dari semua jenis pembakaran, termasuk pembangkit listrik. Partikel ini akan menetap di udara dalam jangka waktu lama dan mudah tertiup angin hingga ratusan mil.
PM2.5 ini mengandung senyawa beracun yang jika terhirup dapat masuk hingga aliran darah manusia. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan asma, infeksi saluran pernapasan akut, kanker paru-paru dan memperpendek harapan hidup.
Tidak hanya itu, PLTU juga menghasilkan emisi Nitrogen Dioksida (NO2) dan Sulfur Dioksida (SO2) yang dapat meningkatkan risiko penyakit pernafasan dan jantung pada orang dewasa. Bahkan, emisi tersebut dapat menyebabkan hujan asam yang merusak
tanaman dan tanah, serta membawa kandungan logam berat beracun, seperti arsenik, nikel, krom, timbal dan merkuri.
Dengan demikian, akumulasi dari setiap jenis aktivitas yang akan dilakukan pihak perusahaan, jelas tak hanya berisiko bagi masyarakat di Lingko Lolok dan Luwuk, tetapi juga masyarakat sekitar yang terpapar dari seluruh jenis aktivitas perusahaan.
Seluruh potensi daya rusak itu, tentu tak dialami oleh Agas yang sebagian besar harinya dihabiskan di Borong, tetapi jelas menjadi salah satu aktor penting di balik rencana masuknya dua perusahaan itu.
Maka, ketika Agas terus memfasilitasi masuknya kedua perusahaan itu, tanpa diikuti dengan kejernihan cara berpikir, termasuk abai terhadap suara penolakan berbagai pihak, maka, dugaan mendapat keuntungan dari perusahaan pun patut diajukan. Apalagi, dalam tahap awal proses masuknya dua perusahaan itu, Agas tampak seperti “calo perusahaan.”
Dari informasi yang kami peroleh, masyarakat setempat juga tidak mendapat informasi dan pemahaman yang memadai terkait dampak kehadiran dua perusahaan itu bagi masa depan mereka. Sejauh ini, yang mereka terima lebih banyak janji-janji manis, yang dibarengi dengan pemberian uang yang diklaim sebagai DP (down payment) lahan mereka.
Harapan untuk Gereja
Di hadapan berbagai ancaman di atas, kita tentu tidak bisa mengambil sikap diam. Dengan menolak dua perusahaan ini, kita tidak sedang berbicara tentang hari ini, tetapi juga tentang keselamatan masa depan kehidupan dan lingkungan kita. Wilayah di Manggarai Raya terlalu kecil hanya untuk dimanfaatkan bagi industri ekstraktif.
Kami bersyukur bahwa Gereja Keuskupan Ruteng, bekerja sama dengan berbagai pihak lain, telah mencatat sejarah berhasil mengakhiri rezim pertambangan ketika beberapa tahun lalu semua perusahaan gulung tikar dari Manggarai Raya. Kami berharap, saat ini Gereja mengambil sikap yang sama agar ancaman kerusakan ini tidak terjadi kembali.
Apalagi, sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, “Tantangan yang mendesak untuk melindungi rumah kita bersama mencakup upaya menyatukan seluruh keluarga manusia guna mencari bentuk pembangunan berkelanjutan dan integral.” (Laudato si, art. 13)
Tentu saja, langkah ini tidak mudah, mengingat pergerakan perusahaan dan pemerintah yang sudah lumayan jauh, termasuk dengan membuat kesepakatan bersama warga dan menerbitkan izin lokasi.
Namun, kami berharap, dengan meletakkan dasar sikap pada komitmen merawat bumi dan menghadirkan alam yang baik bagi generasi masa depan, sikap tegas dari Keuskupan Ruteng untuk menolak dua perusahaan ini perlu dilantangkan. Gereja perlu tegas mengambil sikap mengingat tambang hanya melayani kepentingan sesaat dan memperkaya segelintir orang tetapi membawa malapetaka untuk masa depan.
Kami perlu menambahkan catatan bahwa dengan memilih sikap demikian, Gereja perlu terus mendorong pemerintah memaksimalkan sektor-sektor yang tidak membawa bahaya
bagi masa depan lingkungan dan generasi kita.
Dan dalam rangka mendukung hal itu serta menunjukkan keberpihakan pada masyarakat terutama di wilayah-wilayah yang terus diganggu investor, Gereja kiranya perlu merumuskan pola pastoral yang menyapa situasi mereka.
Kami menutup surat ini dengan kutipan dari Laudato si art. 159, dokumen yang pada 25 Mei tahun ini genap berusia lima tahun:
“Krisis ekonomi global telah menunjukkan sangat jelas kerugian yang diakibatkan bila kita mengabaikan nasib kita bersama yang juga menyangkut orang-orang yang datang sesudah kita. Kita tidak bisa lagi berbicara tentang pembangunan berkelanjutan tanpa solidaritas antargenerasi. Ketika kita memikirkan keadaan dunia yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang, kita mulai berpikir dengan cara yang berbeda, sadar bahwa dunia adalah hadiah yang telah kita terima secara gratis dan yang kita bagi dengan yang lain. Jika bumi diberikan kepada kita, kita tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran manfaat, efisiensi dan produktivitas untuk kepentingan pribadi. Kita berbicara tentang solidaritas antargenerasi bukan sebagai sikap opsional, tetapi sebagai soal mendasar keadilan, karena bumi yang kita terima juga milik mereka yang akan datang.”
Kelompok ‘Lami Tana Dading’