(Dari Lengkololok ke Luwuk)
Oleh: Louis Jawa*
Pastor Desa, tinggal di Wilayah Lingkar Tambang
Demonstrasi besar-besaran menentang industri pertambangan, beberapa tahun lalu, masih terekam jelas dalam ingatan saya, baik di kota Ruteng maupun di kota Borong.
Di bawah terik mentari yang menyengat, masyarakat pencinta keutuhan alam ciptaan, memekikan seruan tolak tambang dan para orator menegaskan alasan penolakan industri pertambangan di wilayah pesisir utara kabupaten Manggarai dan kabupaten Manggarai Timur.
Begitu melelahkan namun membahagiakan ketika aspirasi tolak tambang itu didengarkan dan ditetapkan dalam sebuah moratorium (2018) yang berpihak pada keutuhan alam ciptaan dan keselamatan hidup manusia itu sendiri.
2017 memang sebuah tahun oportunis pada penjelajah kekuasaan dan kekayaan, ketika janji-janji politik bisa meredakan pekikan demonstrasi tolak tambang, serentak pada saat yang sama melahirkan sebuah empati politik; pemimpin yang merakyat, adalah pemimpin yang menolak industri pertambangan yang tidak selaras dengan konteks masyarakat di Flores pada umumnya.
Politik memang selalu mengemas isu politik dalam janji-janji manis, yang kelak akan dikhianatinya sendiri. Politik kekuasaan itu sendiri pun akhirnya terjebak dalam sebuah pragmatisme demi keuntungan diri dan kelompoknya, tidak peduli sejauh mana janji pernah ditaburkan pada sejuta masyarakat yang berharap kepadanya.
Tambang, memang sebuah isu yang enak untuk dimainkan, namun sulit untuk dipertahankan nilai konsistensinya. Tidak untuk menuding siapa-siapa, namun rencana pabrik semen di kampung Luwuk dengan bahan batu gamping di kampung Lengkololok, jelas telah merendahkan makna janji politik, yang kini dipelintir sebagai sebuah model baru dari arah pembangunan, kebutuhan akan semen dan bukan pertambangan mangan seperti waktu sebelumnya.
Kehadiran penguasa di antara warga kampung, sejenak untuk memastikan proyek raksasa adalah sebuah kehadiran yang melemahkan daya kritis masyarakat, yang pada satu sisi tenggelam dalam kesahajaan dan kesederhanaan, dan pada sisi lain, terjebak dalam sikap hormat dan taat pada pejabat pemerintahan yang dianggap sebagai orang besar dan orang hebat.
Dilema ketulusan dan kesahajaan berbenturan dengan pola cantik operasi senyap penguasa dan pengusaha. Ini sebuah koorporatisme pemodal-penguasa, dengan sejumlah trik dan strategi cantik untuk mensukseskan kepentingan bersama itu.
Polemik Tambang Flores
Globalisasi dan pertambangan nyata. Wacana di masa silam sudah menguat dan mimpi kemajuan dan keuntungan terjebak dalam lingkaran maut kekuasaan dan kekayaan. Polemik tambang di Flores mencerminkan ketegangan antara jaringan pemodal – penguasa melawan jeritan rakyat jelata – jeritan kosmis.
‘Perkawinan’ konglomerat – penguasa dapat dipahami sebagai oportunisme politik-bisnis: membuka ruang bagi pemodal serentak menggenggam kekuasaan sekuat mungkin, tak peduli dengan keutuhan ciptaan dan masyarakat di lingkar tambang.
Jeritan rakyat jelata tenggelam dalam kepasrahan bisu selama berpuluh-puluh tahun, ketika pengusaha tambang datang dengan mengantongi izin pemerintah, yang konon disegani dan ditakuti.
Nama perusahaan dari kota besar bahkan luar negeri meninabobokan penderitaan rakyat kecil sekitar area pertambangan.
Artinya, kebijakan perizinan di masa lalu dimanfaatkan oleh kekuatan pengusaha untuk mencari peluang area pertambangan lain, mengeruk dan mengeksploitasi habis-habisan.
Pater Mike Peruhe, OFM dalam sidang pastoral postpaskah 2013 di Ruteng membentangkan manipulasi pertambangan berdasarkan studi dokumen perizinan dan operasional teknis lapangan di wilayah Manggarai Timur.
Pegiat masalah kemanusiaan ini membuka ruang kesadaran bersama tentang keutuhan ciptaan dan perjuangan kemanusiaan. Janji kesejahteraan bagi rakyat sekitar area pertambangan hanyalah kebohongan, ketika upah mereka ternyata jauh di bawah standar UMR Provinsi NTT.
Demikianpun pembangunan rumah adat dan kapela dalam wilayah pertambangan hanyalah simbol ‘opium bisu’, sekadar menghibur dan membungkam pikiran kritis masyarakat sekitar. Begitu pilu terasa, ketika pertambangan hanya menyisakan alam yang terluka dan ternoda.
Berani Tolak Tambang, Sebelum Terlambat
Ignas Kleden secara tegas menempatkan persoalan lingkungan hidup dalam ranah keterbukaan ruang dunia satu sama lain (2000; 24). Globalisasi membuka wajah dunia dan kerusakan ekologi di satu wilayah akan berdampak pada wilayah lain. Polusi udara tidak lagi dapat dibatasi secara teritori atau pengotoran laut tidak bisa dibatasi menurut ketentuan hukum laut dan perairan.
Ekologi atau lingkungan hidup semakin cerah ketika dunia yang satu dan sama ini menjadi tempat bernaung bagi semua manusia. Egoisme kapitalistik akan sangat berdampak pada subordinasi bangsa-bangsa dan eksploitasi alam semakin menjadi-jadi.
Problematika negara-negara kuat sering memperalat isu perdamaian untuk terus mengeruk kekayaan alam bangsa-bangsa yang secara geopolitis tak terlalu menguntungkan. Prinsip ilmu pengetahuan dieliminir oleh oportunisme bangsa dan vandalisme peradaban.
Fenomena bosisme terkuak di balik polemik tambang. Boni Hargens, pakar politik nasional menyebutkan empat kekuatan yang menjadi pilar bosisme dalam konteks Manggarai (2009; 16): tuang pelitik (elite partai politik), tuang pegawe (elite birokrasi), ata bora (konglomerat) dan ata rani (preman). Bosisme menguat dan melemahkan demokrasi lokal.
Gerakan tolak tambang mesti berhadapan dengan mekanisme yuridis dan politis dari sebuah kebijakan (pertambangan). Jeritan alam semesta yang ‘sakit bersalin’ menyeret persinggungan ‘bola panas’ antara rasa nyaman / mapan dalam struktur politik bosisme dan panggilan untuk setia pada tugas kemanusiaan.
Getaran keprihatinan itu pun tidak pernah terhenti meski oleh tekanan dan ancaman sekalipun; ia terus bergetar dan bergema dalam sejarah dunia.
Dalam praksis hidup sehari-hari masyarakat sekitar wilayah tambang, pada industri sebelumnya, saya menemukan lapisan persoalan yang bertumpuk dan tidak sanggup diuraikan dan diselesaikan hingga kini.
Hal itu bisa ditemukan dalam perpecahan dalam keluarga dan suku akibat pembagian keuntungan pertambangan yang tidak merata, alam ciptaan yang ternoda dan sumber air yang semakin berkurang.
Pada sisi hidup yang lain, saya tetap menemukan dinamika hidup masyarakat sederhana yang menjadi tamu di tanahnya sendiri. Ketika duduk bersama umat di Lengkololok pada Januari 2020, saya pernah bertanya dalam nada persaudaraan,”pertambangan, apakah membawa manfaat bagi kalian? Pernahkah orang-orang besar di pertambangan memikirkan untuk mendirikan sebuah sekolah atau taman baca di kampung ini? Pernahkah mereka serius membiayai anak-anak kalian untuk menjadi dokter atau insinyur yang bisa membangun daerahnya kelak?”
Mereka terkejut sekali ketika saya membagikan kisah tentang tanggung jawab sosial perusahaan, dan lebih terkejut lagi ketika saya mengatakan mereka jadi tamu di rumah sendiri.
Perjuangan tolak tambang bukanlah soal kenyang atau bosan, melainkan pergulatan dan pergumulan panjang untuk menemukan sebuah titik simpul makna penghargaan kemanusiaan dan keutuhan ciptaan.
Lebih mengenaskan lagi bila gerakan ini dinodai dan diboncengi oleh kepentingan-kepentingan baru seperti mencari popularitas politik lalu setelah mencapai tampuk kekuasaan, orang lupa pada getir pahit melawan kekuatan penguasa dan pengusaha.
Gagasan-gagasan Yohanes Paulus II yang termaktub dalam ensiklik-ensikliknya menegaskan panggilan kemanusiaan dalam persoalan tambang. Ini sebuah jalan panjang tentang makna kehidupan yang sejati, betapa keutuhan ciptaan dan martabat kemanusiaan rakyat jelata tak boleh tunduk pada rayuan manis hegemoni kekuasaan dan kekayaan.
Tambang, tolak tunduk jawaban kami.