Kupang, Vox NTT-Keluarga besar Lantar dan Welek baik yang tinggal di Lengko Lolok maupun diaspora menolak keras rencana relokasi kampung terkait penambangan batu gamping di Lengko Lolok dan Luwuk, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Merelokasi kampung Lengko Lolok adalah tindakan yang tidak menghargai nilai-nilai luhur sejarah dan adat Manggarai” kata koordinator Kilo Lantar Lengko Lolok, Markus Meno dan Ketua Kilo Lantar Diaspora, Gusti Lesek dalam rilis yang diterima media ini, Rabu (13/5).
Menurut Markus Meno, keputusan menolak relokasi kampung Lolok diambil setelah kilo Lantar dan kilo Welek menggelar pertemuan internal. Mereka menilai, menjual kampung kepada investor tambang adalah perbuatan jahat yang tidak menghargai jasa leluhur.
“Kalau kami jual beo (kampung) dengan compang dan gendang di dalamnya kepada perusahaan tambang, itu artinya kami ini keturunan terkutuk yang tidak menghormati leluhur dan tidak memahami adat Manggarai,” kata Markus Meno.
Ketika ditanya kenapa tiba-tiba berubah sikap, padahal sudah bersepakat dengan perusahaan tambang dan Pemda Manggarai Timur, Markus Meno mengatakan, dalam kesepakatan lisan dengan Bupati Agas Andreas tidak membahas sedikit pun soal relokasi kampung. Tetapi klausul itu tiba-tiba muncul dalam MoU yang dibuat perusahaan tambang.
“Setelah kami baca perjanjiannya, kami kaget, kok ada relokasi kampung. Selain itu, kami juga bingung dengan informasi terakhir, bupati bilang warga Lolok yang mendatangi dia. Kami ini orang kampung, untuk apa kami datang ke rumah bupati. Sopir yang dikirim bupati yang bawa kami. Kami tidak bayar sedikit pun uang oto. Kami bingung, kami dibilang yang datang ke sana, ke Cekalikang (rumah pribadi Bupati Agas Andreas, red),” katanya.
Alasan lain menolak relokasi, kata Markus, beberapa warga kilo Lantar didatangi roh para leluhur dalam mimpi. Yang datang itu Petrus Delo (pendiri kampung Lolok dan saat ini makamnya ada di tengah kampung) dan beberapa orang tua yang sudah meninggal.
Para leluhur itu langsung duduk melingkar di atas compang. Dengan wajah marah, para leluhur menunjuk satu per satu rumah dan orang yang setuju menjual kampung Lolok ke perusahaan tambang.
“Eme pika beo hook agu ise ata tambang, meu ata pertama lami emi, poli hituk ata cebana (kalau kamu jual kampung ini ke perusahaan tambang, kamu yang pertama kami ambil nyawanya, setelah itu orang lain),” tutur Markus Meno menceritakan mimpi yang membuat dua keluarga itu berembuk dan memutuskan menolak relokasi.
Terhina
Sementara itu, Ketua Kilo Lantar Diaspora, Gusti Lesek mengatakan, sejak awal pihaknya menolak keras menjual kampung yang memiliki sejarah panjang kepada perusahaan tambang. Apalagi menjual kampung demi mendapatkan duit.
“Ini memalukan sekali bagi kami keluarga Lantar, seolah-olah kami tidak bisa makan dan harus menjual kampung. Sangat-sangat memalukan,” kata Gusti.
“Setelah kami mengklarifikasi kepada keluarga di Lolok, mereka mengaku tidak pernah membahas dan menyetujui relokasi kampung dalam pertemuan dengan Bupati Agas di rumah pribadinya di Cekalikang. Bagi kami, ini tindakan manipulatif dan melecehkan serta menghina keluarga besar Lantar yang merupakan suku terbesar di Lingko Lolok,” katanya.
Sejarah Kampung
Gusti kemudian menceritakan sejarah Kampung Lolok. Petrus Delo (Lopo Delo) adalah orang pertama yang menginjakkan kaki di Lolok bersama beberapa orang muda dari Kampung Ngendeng, Lamba Leda, Manggarai Timur.
Lopo Delo dan rombongan tiba di Lengko Lolok pada tanggal 17 Mei 1950. Lengko Lolok merupakan dataran tinggi yang cukup luas, terletak di Desa Satar Punda, sebelah utara berbatasan dengan Luwuk.
Konon rencana semula Lopo Delo mau ke Luwuk, tetapi karena di sana sudah ada Lopo Kantor dkk, akhirnya dia memutuskan mengambil tempat di Lingko Lolok.
Rombongan Lopo Delo terdiri dari Mikael Dodo, Lopo Uju, Agustinus Maga, Damianus Kapu, Paulus Dani, dan Paulus Gaus. Ini rombongan pertama yang berangkat ke Lengko Lolok. Rombongan kedua yang menyusul, yakni Yohanes Baas, Andreas Lada, Yohanes Jandu, Lukas Mboat, Titus Tober, dan Petrus Jama.
Setelah menentukan tempat untuk membangun kampung, Lopo Delo memilih tempat berkebun di kawasan (lingko) Satar Tana, yang terletak di sebelah barat, persis di dekat kampung Lolok.
Tua Teno pertama Lengko Lolok langsung dipegang Lopo Delo dari kilo Lantar. Sebagai kilo (klan) mayoritas, Lantar mempunyai hak adat Tua Teno. Jabatan Tua Teno Lengko Lolok kemudian diserahkan dari kilo Lantar ke kilo Welek.
Menurut Markus Meno, penyerahan itu dilakukan setelah ada mimpi bahwa hak tua teno sebaiknya diserahkan ke kilo Welek, karena kilo Lantar sudah punya tua teno di Cepang, Lamba Leda.
Paki Kaba (ritual bunuh kerbau)
Pada tanggal 24 Juli 1953 diadakan acara paki kaba wecek cocok menandai pembukaan Lengko Lolok sebagai beo rame.
Saat itu Lolok mendapat tambor, dan diperkenankan untuk mengadakan kegiatan adat caci. Tanggal 12 November 1956 diadakan acara paki kaba wete wase agu poka haju. Paki kaba ini bertujuan untuk memohon dilindungi ketika mengerjakan kebun. Setahun kemudian, tepatnya 13 Juli 1957 diadakan acara paki kaba tegi woja agu latung.
Paki kaba ini dimaksudkan untuk memohon berkat bagi kesuburan tanah, sehingga mendapatkan panenan padi dan jagung yang melimpah.
Pada 25 Juli 1958 diadakan acara paki kaba di Bea Mberong, untuk memohon diberikan kesuburan bagi lahan (tanah) yang sudah dibagi kepada setiap warga kampung.
Tanggal 9 Juli 1961 diadakan acara paki kaba tegi wae tiku, memohon diberikan air minum bagi kampung Lengko Lolok.
Pada tanggal 1 November 1963 diadakan acara paki kaba buka gendang. Artinya, kampung Lengko Lolok diberikan kewenangan untuk memiliki gendang sendiri (beo rame). Gendang diberikan oleh kampung asal yakni Ngendeng.
Pada saat acara buka gendang tersebut ada delapan kilo yang mendiami kampung Lengko Lolok yakni kilo Lantar, kilo Welek, kilo Lamba, kilo Reca, kilo Sumba, kilo Wudi Wajang, kilo Ketang, dan kilo Nawang Wuni.
Rilis diterima dari: Gusti Lesek