Oleh: Louis Jawa
Pastor Desa, tinggal di Manggarai
Gegap gempita malam pameran dan pementasan pada momen 50 Tahun Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero pada 4-6 september 2019, tetap membekas dalam ingatan.
Ingatan itu mengental mesra dalam kenangan beberapa malam di bukit Ledalero yang indah permai dan penuh dengan sejuta satu kenangan.
Malam itu tergerus hasrat untuk terus bertahan mengalami kebahagiaan bersama sama saudara yang pernah menimba ilmu dari almamater tercinta STFK Ledalero.
Euforia bahagia pun semakin bergelora di tengah desakan berjubel umat yang hadir, betapa kegembiraan atas kiprah 50 tahun STFK patut dirayakan.
STFK dan Gereja Katolik, sebagai bagian kuat dari fundasi sejarah masyarakat Flores, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, seakan menjadi sebuah pilar kokoh, yang dengannya segala kemeriahan dan kemegahan, seringkali dirayakan sebagai sesuatu yang membanggakan dan mengagumkan.
Pada sisi kehidupan yang lain, Gereja Katolik dan lembaga-lembaga pelayanannya pun, seringkali melupakan betapa zaman terus berubah, dan apa yang diagungkan kini, bisa redup dan layu di suatu masa kelak.
Sambil menyeruput kopi panas, seorang sahabat yang kini menjadi tokoh awam pendidik, mengusik keindahan malam itu,”Pastor, pastinya 25 tahun lagi, perayaan lebih meriah lagi di bukit ini. 50 tahun saja begini, apalagi 75 tahun.” Kata-kata itu terus mengusik pikiran di tengah pameran. Begitu mengagumkan.
Kami terus terus berbagi kisah. Saat itu, pikiran ini berbisik dalam keramaian ,”Sahabatku, jangan sampai 25 tahun lagi, perayaan malah tak semeriah ini. Saat gereja-gereja dan lembaga-lembaga pendidikannya mulai sepi dan kosong. Saat umat menjadi lebih sekular dan mungkin tak peduli (apatis) lagi dengan Gereja dan pendidikan bernafaskan keagamaan. Ketika gereja dan biara-biara kosong, dilepaskan dan dijual entah jadi apa – hotel, bar atau gelanggang olah raga.”
Agama, pada satu sisi sejarahnya, menjadi simbol magis dan mistis yang menguasai peradaban dunia pada masa silam, namun pada sisi yang lainnya, menjadi sebuah organisasi tua dengan tradisi-tradisi yang semakin dijauhi oleh generasi baru dari zaman yang baru.
“Roma Locuta, Causa Finita” sebuah adagium imperatif yang kini mulai bergeser dan dalam praksis seringkali menyimpang “ Roma Locuta, Causa Discusa”.
STFK Ledalero adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, yang juga tak terpisahkan dari misi SVD, dan dengannya menjadi bagian dari sejarah panjang karunia dan kharisma Gereja Universal sekaligus Gereja Lokal.
Tsunami Peradaban
Tak mudah beriman di tengah geliat zaman yang semakin sekular, mendunia dan mengental dalam tsunami peradaban. Dunia pernah dihentakkan oleh sebuah masa pencerahan, aufklarung, ketika sebuah kesadaran kemanusiaan perlahan-lahan mempertanyakan iman dan terutama legitimasi institusi keagamaan.
Gelombang kesadaran itu terus berpacu dalam sebuah revolusi betapa hidup beriman bukanlah satu-satunya dogma kemajuan. Zaman bisa berkembang tanpa agama sekalipun dan tempat Tuhan Allah pun dapat digeser oleh sejuta perkembangan. Institusi Gereja pun mengalami betapa kerasnya kesadaran sejarah manusia dalam fase antitesis ini.
Perguliran perubahan cepat sudah dialami sejak peralihan sistem pertanian tradisional yang dikuasai pemilik hak ulayat dan warisan monarki. Getaran itu terus bergelora dalam perombakan sistem industri manual, kerja tangan menuju industri mesin. Tenaga kerja manusia digeser oleh mesin-mesin industri, yang bisa memproduksi secara lebih efektif dan efisien. Tsunami peradaban itu pun semakin mengental dalam arus cepat perubahan yang ditimbulkan oleh derap cepat revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pastor Inosentius Sutam, dosen Universitas Katolik (UNIKA) St Paulus Ruteng, menguraikan konsep tanda-tanda zaman dalam Konstitusi Gaudium et Spes.
“Inilah sebuah dokumen konsili yang menampung pelbagai masalah Gereja yang tidak tertampung dalam dokumen-dokumen yang lain yakni roh sekular, roh demokrasi, kebebasan dan kemerdekaan dan roh persaingan yang mengarah pada konflik, kekerasan dan perang. Roh sekular sudah mulai muncul pada masa renaisans (akhir abad pertengahan). Ia berkembang di Barat didorong oleh kebudayaan yang berbasis IPTEK, komunisme, kapitalisme, kebudayaan pop dan kebudayaan massa yang muncul di tahun 1960-an. Pada abad pertengahan kekristenan adalah faktor yang mempersatukan semua peradaban dan Gereja menjadi penguasa sosial dan budaya terbesar. Namun di zaman yang semakin sekular, Gereja tidak lagi menjadi sumber harmoni bagi kebudayaan dan keberadaannya dipertanyakan.”
Gelanggang Kebenaran
Adolf Heuken dalam bukunya Sedjarah Geredja Katolik di Indonesia ( 1971; 62) mengagumi pulau Flores dan kekatolikannya.
Pada sebuah ragam kehidupan yang tidak lagi sama, STFK terpanggil untuk masuk dalam passion kemanusiaan dalam kehidupan yang keras, kritis dan kadang penuh dengan kekerasan.
Dalam simposium internasional STFK Ledalero, saya sendiri menemukan ada begitu banyak gagasan-gagasan besar yang diutarakan dalam aula dengan sejuta satu manusia dengan gelar hebatnya.
Simposium itu terasa begitu hebat dan dahsyat, namun kita pun tetap dihadapkan pada pertanyaan penting, tentang seberapa dalam kita berakar dalam kebenaran dan bisa mengubah konteks kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan, kemiskinan dan kekerasan.
Adapun tesis yang bisa dibangun dalam tulisan ini adalah seberapa kuat sebuah tradisi keberimanan bisa bertahan dalam arus zaman, dan Gereja harus sanggup menjadi agama kemanusiaan di tengah belenggu ketidakadilan, kemiskinan dan kekerasan yang masif.
Satu dua gerakan kemanusiaan yang konkret dari buah pendidikan Katolik dapat dirasakan melalui sentuhan keberpihakan pada orang-orang dengan gangguan mental, sentuhan keberpihakan pada anak-anak dan perempuan sebagai korban kekerasan seksual serta sentuhan keberpihakan pada kelompok migran, perantau dan masyarakat lingkar tambang.
Seminari-seminari dan juga STFK Ledalero hadir dengan nama besar pada masa lalu, namun boleh jadi akan tenggelam dalam nama besar itu sendiri. Banyak orang mengagung-agungkan institusi ini, dan persis pada titik itulah, kita mesti lebih berhati-hati untuk memetakan pendidikan yang selaras zaman.
Seminari-seminari dengan keterikatannya pada tradisi, harus berhadapan dengan perkembangan zaman dengan segala fitur kecemerlangannya. Gelanggang kehidupan menjadi saksi ketika ilmu mesti berpadu dengan keberanian untuk kebenaran yang menyelamatkan, di tengah godaan rayuan dunia dengan segala tipu muslihatnya.