Oleh : Edi Hardum
Lawyer dari “Edi Hardum and Partners: Advocates and Legal Consultants”, anggota Presidium Iska
Akhir-akhir ini media massa dan media sosial di Nusa Tenggara Timur (NTT) ramai dengan pemberitaan pro dan kontra mengenai rencana pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping di Desa Satar Punda (Luwuk dan Lengko Lolok), Kecamatan Lembaleda, Manggarai Timur.
Bagi yang pro, mereka berargumentasi antara lain, pertama, pembangunan pabrik dan penambangan tersebut akan membebaskan masyarakat Matim khususnya dan Manggarai Raya umumnya dari kemiskinan karena terciptanya lapangan kerja.
Kedua, pembangunan pabrik semen yang direncanakan, akan menambah terpenuhinya kebutuhan semen di Tanah Air terutama NTT dan Manggarai Raya umumnya. Padahal stok semen secara nasional sudah surplus.
Alasan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat merupakan salah satu dari sekian janji manis (Surga) pihak perusahaan tambang dan pemerintah Matim (terutama Bupati Matim, Ande Agas).
Adapun argumentasi kelompok kontra antara lain, pertama, dari puluhan pengalaman kegiatan penambangan minerba (batu mangan) di Manggarai Raya dan NTT umumnya, tidak mendatangkan kesejahteraan atau perbaikan ekonomi bagi masyarakat lingkar tambang atau pabrik.
Malah sebaliknya, masyarakat jatuh dalam kemiskinan ekonomi karena lahan sebagai sumber kehidupan mereka, telah dijadikan kawah dan gunung tandus akibat dikerok dan dirusak demi pertambangan.
Kedua, lingkungan hidup rusak, seperti mata air hilang dan tanah perkebunan petani sirna ditelan daya rusak tambang.
Ketiga, kehadiran perusahaan tambang mendidik masyarakat bermental kuli yakni sebagai karyawan perusahaan tambang. Mereka menjadi Satpam, pengangkut batu (barang yang ditambang), dan sebagainya dengan harapan gaji harian atau bulanan.
Ketika perusahaan tambang tidak beroperasi, mereka bakal kehilangan pendapatan. Sementara untuk kembali berkebun, tanah mereka sudah mengalami degradasi akibat dampak pertambangan dan pabrik semen.
Cara-Cara Licik
Dalam catatan penulis, aktivitas pertambangan di Manggarai Raya terutama sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), pihak perusahaan tambang bersekongkol dengan penguasa lokal. Mereka memainkan cara-cara yang curang alias menipu masyarakat (licik) sebelum pertambangan dijalankan (ekploitasi).
Pihak perusahaan tambang dan pemerintah daerah mengabaikan ketentuan Pasal 2 huruf c UU Minerba yang menyatakan bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan asas partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas. Dalam penjelasan pasal ini memang hanya mengatakan ‘cukup jelas’ (kecual huruf d ada penjelasannya).
Namun menurut penulis, partisipatif artinya masyarakat harus dilibatkan dalam proses sebelum kegiatan pertambangan dimulai seperti studi kelayakan.
Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan agar memperoleh informasi secara rinci terkait seluruh aspek seperti kelayakan ekonomis, teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang (Pasal 1 poin 16 UU Minerba).
Asas transparansi artinya pihak pertambangan dan pemerintah harus menyampaikan secara terbuka dan jujur mengenai dampak negatif dan positif kegiatan pertambangan. Yang terjadi selama ini adalah pihak perusahaan tambang dan pemerintah hanya menyampaikan hal-hal positif saja, sebagaimana dialami masyarakat di Desa Satar Punda saat ini.
Ranah Hukum Perdata
Mirisnya lagi, karena pihak perusahaan tambang dan pemerintah tahu dampak buruk pertambangan luar biasa, maka mereka mengelabui dan menipu masyarakat dengan membagi-bagikan uang.
Ketika uang telah dibagikan pihak perusahaan tambang dan pemerintah, ada narasi yang mengatakan, masyarakat tidak bisa berbalik untuk menolak. Kalau berbalik, maka, pertama, uang harus dikembalikan dan kedua akan dilaporkan ke polisi dan masuk penjara!
Cara-cara seperti ini adalah bukti ketidakjujuran perusahan dan bahkan melanggar hukum. Sebab, masyarakat dirayu dan disuruh atau mungkin atas permintaan masyarakat sendiri (penulis belum mendapat informasi seperti ini), untuk menandatangani perjanjian kerja sama pihak perusahaan tambang.
Kasus ini juga bukan masuk dalam ranah hukum pidana, melainkan ranah hukum perdata.
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa supaya terjadi persetujuan uang sah, perlu dipenuhi empat syarat: (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu; (4) suatu sebab yang tidak terlarang.
Kita urai masyarakat Satar Punda dan perusahaan tambang bersama pihak Ande Agas (Pemkab Matim).
Poin pertama, yang melakukan kesepatan adalah masyarakat pro pabrik semen dan penambangan batu gamping dengan perusahaan tambang bersama pihak Andre Agas.
Poin kedua yakni kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Baik masyarakat pro pabrik dan penambangan dan pihak perusahaan tambang bersama Andre Agas sama-sama cakap. Cakep di sini artinya berumur 18 tahun ke atas dan tidak dalam keadaan tidak waras alias gila.
Poin ketiga, suatu pokok persoalan tertentu terpenuhi yakni kerja sama agar pabrik semen beroperasi dan penambangan batu gamping dilaksanakan.
Poin keempat, suatu sebab yang tidak terlarang artinya tidak dilarang oleh undang-undang.
Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafatan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Pasal 1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dilakukan oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat.
Nah, sosialisasi pabrik semen dan penambangan batu gamping di Desa Satar Punda hanya menyampaikan dampak-dampak positif, janji-janji surgawi tanpa memberitahu dampak negatif baik dalam waktu dekat maupun waktu panjang bagi masyarakat dan daya rusak lingkungan hidup, adalah sebuah penipuan.
Apalagi ketika sosialiasai dilakukan disertai dengan cara intimidasi terhadap masyarakat juga tidak dibenarkan menurut hukum.
Kalau masyarakat Luwuk dan Lengko Lolok merasa ditipu dan diintimidasi sehingga menandatangani persetujuan, maka perjanjian masyarakat dengan pihak perusahaan agar pabrik semen dan penambangan batu gamping dilaksanakan, batal demi hukum.
Karena batal demi hukum maka masyarakat yang sudah menerima uang tidak perlu mengembalikan uang tersebut karena diberikan sebagai bentuk tipu muslihat agar masyarakat setuju.
Oleh karena itu, pihak Polri jangan sampai memproses hukum laporan pihak perusahaan tambang mengenai masyarakat yang dinilai ingkar janji dalam hal seperti itu; perjanjian seperti di atas adalah ranah hukum perdata. Bukan ranah hukum pidana, bukan ranah polisi. Polisi yang memproses pengaduan seperti ini patut diduga kuat telah disogok.
Kalau pihak pemberi uang merasa masyarakat ingkar janji, gugatlah masyarakat secara perdata. Dan masyarakat tidak perlu khwatir, banyak yang siap membela.
Oleh karena itu, saya mengajak masyarakat di Luwuk dan Lengko Lolok yang telah menerima uang dari pihak perusahaan dan menandatangani persetujuan, ayo bersama menolak! Pertahankan kebenaranmu. Kalian tidak salah menurut hukum.