(Antara Ketidakadilan, Kemiskinan dan Kekerasan)
Oleh: Louis Jawa
Pastor Desa, tinggal di Manggarai, Flores, NTT
“ Orang kristen tidak menguburkan begitu saja ketidakadilan yang terjadi di masa lalu demi kompromi-kompromi murahan. Kisah masa lalu tidak dilepaskan demi keuntungan-keuntungan masa sekarang. Kenangan akan penderitaan masa lalu menjadi suatu keharusan, karena tanpa kenangan yang hidup, berbagai bentuk ketidakadilan akan terlampau mudah diulang kembali.” (Paul Budi Kleden, Jurnal Ledalero 2005)
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi kebanggaan dan kecintaan, terutama sebagai putra-putri yang dilahirkan dalam rahimnya.
Ada banyak ragam bahasa, yang seringkali membanggakan, namun tidak sedikit juga yang melontarkan kritik tajam mulai dari kehidupan keagamaan yang terkesan belum berdampak pada kesejahteraan hingga kehidupan birokrasi dan demokrasi lokal yang tersandung korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Apa makna iman bagi kehidupan nyata? Apa efek kehidupan beragama bagi pembangunan hidup yang nyata?
Tulisan sederhana masuk lebih mendalam pada tesis, orang-orang beriman dan beragama harus bisa membangun Provinsi NTT keluar dari lingkaran maut ketidakadilan, kemiskinan dan kekerasan.
Paul Budi Kleden, Dosen STFK Ledalero, dalam tulisannya tentang sejarah kepemimpinan di NTT menekankan empat hal penting ini (Majalah VOX Ledalero Edisi II 2008).
Pertama, NTT adalah sebuah entitas politik yang mesti diberi isi.
Kedua, kepemimpinan NTT telah bergeser dari konsentrasi yang besar pada tokoh kepada birokrasi. NTT membutuhkan kepemimpinan politik yang tampil sebagai tokoh yang dapat membangkitkan rasa percaya diri masyarakat dan dengan kewibawaan serta kecerdasannya menumbuhkan semangat membangun dalam diri warga.
Ketiga, NTT perlu menentukan posisinya dalam konstelasi politik di Indonesia dan merebut perhatian publik Indonesia.
Keempat, periode penguasa dan sejarah kepemimpinan memang berganti, namun masyarakat yang dihadapi tetaplah sama.
Pemikiran Kleden menghantar setiap masyarakat betapa memperjuangkan NTT yang adil, sejahtera dan damai membutuhkan perjuangan panjang. Seakan ada keterpisahan antara kultus kesalehan dengan praktik hidup yang korup dan tidak adil.
Ada jurang yang amat lebar antara kekudusan agama dan budaya pembiaran (permisif) atas praktik-praktik kotor dalam sistem kekuasaan. Inilah sebuah ironi, betapa iman belum sanggup menjiwai dan berakar dalam diri umat beriman kristiani.
Menguji Peran Agama
George Y. Aditjondro menegaskan pentingnya fungsi kontrol institusi agama di tengah realitas kemiskinan masyarakat NTT. Gereja semestinya menjadi palang pintu dan bukan sekadar palang merah (2009;53).
Aditjondtro menyebutkan lima kelemahan mendasar Gereja sebagai institusi agama dalam jebakan koorporatisme penguasa dan pemodal /penguasaha.
Pertama, kompleks minoritas yang diidap sebagian besar pemimpin Gereja yang membuat mereka takut mengecam proyek-proyek raksasa yang didukung pemerintah.
Kedua, mentalitas daerah tertinggal yang mendorong para pemimpin informal seperti juga para pemimpin formal untuk mendukung industrialisasi secara tidak kritis, dengan mendukung proyek-proyek raksasa yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja secara luas bagi ekonomi setempat.
Ketiga, latarbelakang pendidikan para pemimpin Gereja umumnya yang didominasi oleh teologi dan ilmu sosial tanpa mendalami masalah lingkungan ekonomi dan politik, ikut membuat mereka untuk melihat proyek-proyek raksasa itu semata-mata sebagai berkat Tuhan buat daerah dan jemaat-jemaat Gereja.
Keempat, tersebarnya secara merata satuan-satuan dan persona militer desa atau paling tidak sampai ke tingkat kecamatan. Boleh jadi hal ini ikut menciutkan nyali para gembala jemaat dan pemimpin Gereja untuk bersuara berbeda dari suara resmi Gereja.
Kelima, rasa terima kasih para pemimpin Gereja yang berlebihan terhadap donatur-donatur besar yang paling besar andilnya dalam pembangunan fisik Gereja.
Gagasan Aditjondro sungguh menikam kekakuan iman yang terbelenggu oleh tiga lingkaran maut yakni kemiskinan, ketidakadilan dan kekerasan.
Gereja dan institusi agama lainnya tidak dapat lari dari kenyataan betapa masyarakat NTT sedang bergerak untuk mewujudkan perubahan yang signifikan di tengah masyarakat, dengan balutan stigma yang tiada pernah habis-habisnya terus disematkan.
Dalam praksis, ada begitu banyak aktor politik, yang terus dan terus menggerus kemiskinan sebagai aset politik, dan mengeruk kesederhanaan serta kesahajaan orang miskin sebagai proyek besar kekuasaan.
Inilah dosa politik yang tiada pernah habis-habisnya: menjadikan kemiskinan sebagai lumbung proyek untuk memperkokoh kekuasaan dinasti politik, yang diwariskan turun temurun.
Ujian Demokrasi Lokal
Demokrasi yang sehat tidak boleh memutlakan kekuasaan pada orang dan kelompok tertentu. Masyarakat dan juga institusi agama perlu membangun jejaring kontrol demokrasi yang baik, agar tidak terjebak dalam malapraktik kekuasaan.
Survei Koran Kompas beberapa tahun terakhir menempatkan perjuangan demokrasi dalam ambiguitas pilihan demokrasi dan kontrol kekuasaan (Kompas 2012-2017). Ada kesenjangan antara hak politik masyarakat untuk memilih dan berkompetisi dalam jabatan publik ( skor:8,5-8,7) dengan aksi demokratik seperti partisipasi masyarakat dalam pembuatan hingga pengawasan keputusan atau kebijakan publik ( skor: 5,0-5,2).
Demokratisasi tetap harus melibatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, dan institusi agama tidak boleh terjebak dalam kompromisme sesat dan murahan.
Dalam konteks berpikir yang sangat sederhana, kemiskinan memang tidak sepenuhnya menjadi domain tanggung jawab penguasa lokal, namun sepatutnya mereka mengambil bagian dalam teladan kesederhanaan dan kejujuran. Teladan kesederhaan ini kemudian akan terpancar dalam perilaku yang berdampak pada perbaikan mental masyarakat yang serba instan dan terkadang tenggelam dalam budaya pesta (sampai porak-poranda ekonominya).
Berhadapan dengan praktik hidup yang tumpang tindih itu, Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia No 5 menyatakan: “Belum cukup kiranya kalau setiap orang Katolik berbuat baik dan berusaha baik, seakan-akan dengan sendirinya semua lantas baik pula. Hal ini sama sekali tidak benar. Perlu diadakan perubahan dalam struktur baik sosial maupun kultural, politik dan ekonomi.”
Pada titik inilah, kita bisa membangun NTT dalam sebuah optimisme sebagai orang sanggup membuktikan iman dalam praksis perjuangan kita.
Ada bahaya ketika kita selalu lupa akan jati diri sebagai umat beriman ketika kita dihadapkan pada kuasa, harta dan popularitas. Melawan lupa kini hadir sebagai agenda penting, agar kita tidak terjebak dalam retorika belaka.
NTT bukan sekadar nama, namun NTT adalah kehidupan dan inspirasi. NTT itu juga bukan sekadar penguasa, namun rakyat yang diberdayakan.