Kupang, Vox NTT-Kun Dey, pengusaha jasa angkutan sembako asal Ngada mengeluhkan ketidakpastian aturan yang dijalankan pemerintah daerah di wilayah Flores.
Pasalnya di setiap Posko Covid-19 antar kabupaten, sopirnya harus mengikuti aturan yang berbeda.
Di Manggarai misalnya, mereka harus mengikuti rapid test dengan biaya per orang sebesar Rp.600.000.
Kalau di dalam mobil ada 2-3 orang, maka mereka harus membayar 1,2 juta-1,8 juta.
Anehnya, meski hasil rapid test di Manggarai dinyatakan non reaktif, namun ketika memasuki wilayah Ngada, sopir dilarang melintas.
Kalau mau melintas harus mengganti sopir lama dengan sopir baru yang berasal dari Ngada. Mobil ekspedisi pun harus menunggu sopir baru di perbatasan.
“Kami bingung, kalau mengganti sopir seperti yang terjadi di Ngada, siapa yang bertanggung jawab kalau ada barang yang hilang atau rusak,” ungkap pemilik ekspedisi LFR Trans ini, Jumat (22/05/2020) pagi .
Menurut Kun, sepanjang pengalamannya melintas wilayah Jawa, Bali dan NTB, ia tidak menemukan kerumitan aturan seperti itu.
“Dalam perjalanan kami selama ini dari Jawa sampai Labuan Bajo, setiap pelabuhan memang ada pemeriksaan seperti suhu tubuh. Tapi yang aneh di Flores dorang (mereka) buat beda lagi. Padahal yang kami tahu pelintasan logistik diperbolehkan dari pusat. Kalau logistik dipersulit, bagaimana dengan masyarakat yang membutuhkan?” sambung Kon.
Selama ini, tiga unit mobil ekspedisi miliknya melayani jasa angkutan komoditi seperti pisang dan beras dari wilayah Ngada dan Manggarai Timur.
Tak hanya itu, ia juga kerap menerima kiriman beras dan sembako dari kampung-kampung di Flores untuk diaspora di NTB dan Bali.
“Kalau dipersulit seperti ini, bagaimana kami bisa antar beras dari kampung untuk keluarga yang masih nganggur dan bertahan di Bali dan NTB,” ungkapnya.
Tak hanya itu, ia juga meminta Pemerintah daerah di Flores untuk menerapkan aturan yang jelas, berkesinambungan dan tidak membebankan jasa angkutan.
“Cobalah kasih keringanan bagi kami. Orang lain boleh di dalam rumah tapi kami terus bekerja melayani masyarakat. Kami mohon kalau bisa biaya rapid test ditiadakan. Kami ini sedang kesulitan dengan Covid. Belum lagi harus bayar cicilan setiap bulan,” ungkapnya.
Kun yang mewakili para sopir dan pengusaha jasa angkutan di wilayah Flores juga meminta pemerintah daerah untuk duduk bersama menerapkan protokol yang tidak membingungkan.
“Coba bayangkan, hasil rapid test sudah nonreaktif di Manggarai, tapi di Ngada, kami dilarang melintas. Kalau Pemda bisa duduk bersama dan tidak ego dengan daerahnya sendiri, pasti distribusi logistik berjalan lancar,” pungkasnya dengan nada kesal. (VoN).