Mengapa Para Ibu Rela Menelanjangi Diri?
Jawaban pertanyaan ini hanya dapat ditelusuri melalui sejarah dan nilai-nilai yang melekat dalam masyarakat Besipae.
Persoalan tanah dan hutan adat di Besipae memang sudah berlangsung lama. Bagi mereka, sejarah adalah jalan terjal yang amat melelahkan. Persoalan tanah dan hutan ini sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Sejak itu pula mereka hidup dalam ketidakpastian akibat ‘pemaksaan’ negara menulis ulang sejarah atas nama pembangunan. Alhasil, tekanan, pemaksaan bahkan intimidasi terus dirasakan warga setempat hingga era pasca reformasi ini.
Mereka terus berjuang agar selalu hidup bersama hutan tanpa proyek pembangunan yang merusak alam. Bagi mereka, tanah dan hutan yang diwariskan secara turun temurun ibarat ibu yang melahirkan kehidupan. Dari sana mereka bisa mendapatkan air, udara, madu, dan makanan untuk menyambung hidup.
Karena itu, aksi telanjang yang dilakukan para ibu di hadapan Gubernur NTT pada Selasa (12/05/2020) lalu, tidak bisa dibaca terpisah dari rentangan sejarah perjuangan yang telah lama larut bersama waktu.
Menelanjangi diri memiliki berarti para ibu rela mengorbankan ‘kehormatan mereka’ demi tanah sebagai sumber kehidupan. Berangkat dari kesadaran tersebut, segala upaya dan sumber daya telah mereka usahakan. Waktu, materi dan tenaga telah habis terkuras. Kehormatan pun menjadi salah satu aset terakhir yang dipertaruhkan demi hidup. Untuk itulah mereka rela telanjang dada di hadapan Gubernur.
Para ibu dan masyarakat Besipae, ingin menyampaikan pesan bahwa kata-kata sudah habis untuk bersuara, tubuh telah lelah melangkah dalam jalan terjal perjuangan. Maka ketika ibu-ibu Besipae mengobralkan kehormatan di hadapan khalayak, itu berarti perjuangan mereka adalah pertaruhan hidup. Ya, tanpa tanah dan hutan mereka sadar, mereka akan musnah.
Bagi masyarakat Besipae, alam (hutan adat) adalah kesatuan hidup yang tidak bisa terpisahkan satu sama lain, jika satu bagian dihancurkan maka mempengaruhi bagian yang lainnya. Sebab air bagi mereka adalah darah, tanah adalah daging, batu adalah tulang dan hutan adalah rambut.
Kita berharap, kehadiran Gubernur NTT, Viktor Laiskodat beberapa waktu lalu dapat mengakhiri penderitaan mereka. Semoga pemerintah juga sadar bahwa membangun NTT tak harus mendatangkan investor besar yang datang mengeruk tanah kita, lalu pergi meninggalkan kematian peradaban. NTT bisa dibangun dari apa yang ada, dari kekuatan masyarakat sendiri sebagai motor penggeraknya.
Selama ini pembangunan kita hanya bergantung pada modal finansial belaka. Uang adalah segalanya. Investor dipuja-puja bahkan disembah layaknya Tuhan di Bumi. Kita lupa bahwa selain modal finansial ada modal sosial (social capital) yang telah lama melekat dalam masyarakat sebagai subyek pembangunan itu sendiri.
Membangun dengan modal sosial berarti mengarusutamakan masyarakat beserta kebudayaannya dalam proses pembangunan. Pembangunan tidak boleh melenyapkan masyarakat dan budayanya, apalagi menghancurkan alam yang menjadi unsur terpenting dalam kebudayaan manusia.
Aksi telanjang di Besipae juga memberi pesan kepada pemerintah untuk mereformulasikan ulang konsep pembangunan yang tidak mencaplok hak-hak masyarakat adat. Pemerintah mesti sadar bahwa strategi pembangunan yang seragam di tengah keberagaman budaya dan ketimpangan ekonomi, justru akan melahirkan ketidakadilan.
Bagi komunitas atau kelompok tertentu, pembangunan memang mendatangkan kekayaan dan kesejahteraan. Namun bagi banyak komunitas lain, pembangunan tidak saja gagal memenuhi janji kesejahteraan, tetapi juga membawa ancaman keberlanjutan hidup, rusaknya alam, dan budaya mereka.
Aksi telanjang di Besipae juga melahirkan refleksi kritis yang harus segera dijawab, apakah benar pembangunan yang berbasis modal finansial itu, menjadi obat mujarab untuk mengakhiri kemiskinan? Jangan-jangan pembangunan itu justru menjadi penyebab kemiskinan oleh relasi kuasa penguasa dan pemodal.