(Antara Dua Skenario DPR RI)
Oleh: Louis Jawa
Pastor Desa, tinggal di Manggarai, Flores, NTT
Sekolah akan dimulai lagi, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah menyatakan optimisme pada pertengahan bulan Juli (kompas.com 15/5/2020).
Optimisme ini memang luar biasa, di tengah kelesuan dan kebingungan tentang model persekolahan dengan tipikal pembelajaran jarak jauh, model dalam jaringan (daring) dan asupan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada bagian honor 50 persennya.
Mendikbud, Nadiem Makarim memang sosok yang luar biasa, yang peka dan empati pada begitu banyak kesulitan di medan lapangan, dan menjadi pendobrak kemapanan penyelenggaraan persekolahan yang kaku, birokratis dan berbelit-belit.
Kesigapan Nadiem, patut diapresiasi, meskipun di sana-sini, ia perlu membuat penyesuaian penerapan pembelajaran selaras konteks Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan tidak hanya pada Jawa dan ibu kota provinsi maju lainnya.
Tesis sederhana yang bisa dibangun dalam tulisan sederhana ini adalah membangun kesadaran kritis dan kesiapan gerakan konkret pendidikan harus menjadi vitamin segar bagi kelesuan birokrasi di NTT.
Pada satu sisi kepemimpinan, Gubernur NTT bersikap cepat tanggap dan peka pada banyak persoalan daerah kita, dan pada sisi lainnya kesadaran kritis dan kesigapan bergerak belum menjadi roh dalam satuan birokrasi di bawahnya.
Dua Skenario Tahun Ajaran Baru
Rancangan tahun ajaran baru sekolah dasar dan sekolah menengah kita pada pertengahan Juli pun menghadirkan beragam pertanyaan pada beragam konteks penyebaran Coronavirus Desease 2019 (Covid-19).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi masalah pendidikan (Komisi X) mengingatkan Kemendikbud agar tidak gegabah dalam membangun optimisme selama belum ada kepastian berakhirnya pandemik ini.
Andreas Hugo Pareira, anggota Komisi X DPR RI dari daerah pemilihan NTT, menyuarakan peringatan sejak dini, untuk memetakan segala kemungkinan penyebaran virus dan melakukan sejumlah skenario, mulai dari yang terbaik dan optimistik sampai yang terburuk dan pesimistik (sindonews.com 18/5/2020).
Skenario pertama, memulai sekolah pada pertengahan Juli sebagaimana lazimnya. Skenario kedua, memulai sekolah pada Januari 2021, mempertimbangkan penyebaran virus yang beragam pada tiap daerah dan sekolah dengan jumlah massal bisa membawa gelombang episentrum baru, yang mungkin lebih mengerikan penyebarannya.
“Dalam suasasa ketidakpastiaan, pembuat kebijakan yang baik harus membuat skenario-skenario dengan memperhitungkan semua kemungkinan. We hope for the best, but we have to prepare for the worst,” ujar Pareira (sindonews.com 18/5/2020).
Gagasan dua skenario ini pun mendapat tanggapan dari Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriawan Salim, yang menegaskan agar pemerintah dan DPR tidak boleh terburu-buru dan gegabah menetapkan pemberlakuan tahun ajaran baru pada tahun ini (detik.com 18/5/2020).
Situasi persekolahan jarak jauh memiliki dampak bagi sekolah-sekolah swasta yang menyandarkan salah satu operasional pembiayaannya pada keuangan yang bersumber dari orangtua. Semakin lama sekolah dimulai kembali, maka hal ini akan berat bagi Yayasan dan sekolah-sekolah swasta, untuk menggaji guru-guru dan pegawainya. FSGI menawarkan pembelajaran jarak jauh, sekolah daring dan sistem kontrol yang baik.
Pemerhati Pendidikan, Ki Darmaningtyas, sebagaimana dilansir media sindonews.com, menyarankan pemerintah agar memundurkan awal tahun ajaran baru dari Juli 2020 menjadi Januari 2021.
Menurut dia, salah satu pertimbangan itu terkait masa pemulihan kemampuan finansial orang tua murid yang mata pencariannya terdampak pandemi COVID-19. Apabila mengikuti skenario pesimistis, lanjut Darmaningtyas, pandemi Corona belum berakhir sampai tahun ajaran baru pada Juli 2020.
Kondisi itu akan menyebabkan beban orang tua akan bertambah besar karena harus memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok harian dengan kondisi yang serba terbatas, mencari sekolah untuk anak, serta membayar biaya pendaftaran sekolah dan biaya sekolah.
Sekolah Konteks NTT
“Sekolah dengan konteks NTT, beranikah memulai tahun ajaran baru pada pertengahan Juli 2020?”
Pertanyaan ini seakan menghentak kesadaran kritis masyarakat NTT untuk berpikir serius tentang pendidikan kita. Ada kesan yang sangat kuat, kita menunggu dan terus menunggu, dan pada gilirannya kita menjadi kebingungan dan panik dengan dinamika kehidupan sosial ekonomi, sebagai dampak dari pandemic covid-19.
Majalah Tempo edisi 13-19 April 2020 merilis berita tentang “Pemutusan Kerja di Tengah Pandemi” dengan kurang lebih 74 ribu perusahaan merumahkan sekitar 1 juta pekerja. Pemerintah mengeluarkan stimulus Rp 401 Triliun yang sebagian besar untuk menopang industri.
Pandangan Ki Darmaningtyas dan Wasekjen FSGI, bisa menjadi inspirasi berharga bagi pemangku kebijakan kita, untuk berpikir dan mengambil jalan tengah untuk memulai sekolah kita.
Provinsi kita memang belum mengalami peliknya efek sosial ekonomi semisal PHK dari pekerjaannya, namun bila situasi ini terus memburuk, maka kita akan kebingungan menghadapi kenyataan ini.
Ada tiga hal penting yang menjadi konsentrasi dunia pendidikan di NTT.
Pertama, birokrasi pemerintahan membangun komunikasi dan koordinasi lintas sektoral untuk bisa memetakan pola kemungkinan bidang kehidupan yang terkait satu sama lain. Memberanikan diri memulai sekolah, berarti memberanikan diri untuk ‘bunuh diri’ karena secara kasat mata, penyebaran melalui peserta didik yang massal, akan bermutasi dari satu lokasi ke lokasi yang lainnya. Jangan memutuskan dari meja kekuasaan, bangunlah dialog dengan pemerhati pendidikan dan pemangku kebijakan strategis selain pemerintah.
Kedua, dinas pendidikan bersama Penyelenggara Persekolahan Masyarakat harus mempertegas kembali petunjuk teknis tentang Dana BOS, baik pada penafsiran maupun penerapannya. Banyak pertentangan dan perselisihan di akar rumput sekolah kita, terutama pada sekolah swasta tentang siapakah guru honorer, bagaimana penggajian guru yayasan dan nasib sekolah dengan sedikit murid. Situasi krisis ekonomi akan melanda kehidupan kita, ketika sumber pemasukan semakin terbatas dan tuntutan kehidupan tak terelakkan.
Ketiga, membangun gerakan relawan pendidikan untuk NTT, berjejaring dalam pencerdasan melalui orang-orang muda berbakat, untuk menyalurkan keterampilan dan kecerdasan dalam skala lebih kecil. Saya berpikir, sekolah bukan terutama tentang rapor dan administrasi pembelajaran semata, melainkan juga kemampuan untuk belajar dari talenta yang ada di tengah masyarakat. Apakah birokrasi kita pernah berpikir untuk membentuk relawan sekolah untuk secara sukarela bekerja bagi pencerdasan provinsi kita?
Mari berpikir dan bergerak antara dua skenario yang begitu alot digagas Pemerintah Pusat dan Komisi X DPR RI.