Borong, Vox NTT- Lembaga Justice, Peace, Integrity of Creation (JPIC) Paroki St. Agustinus Weleng menilai Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur sudah “lupa” akan misinya.
Itu terutama misi untuk menyanjung historisitas sebagai aspek besar dalam kehidupan bersama.
Hal itu sebagai respon atas rencana pemerintah untuk mendirikan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.
Baca: JPIC Paroki Weleng Desak Gubernur NTT Tidak Beri Izin Pabrik Semen di Lingko Lolok
Pasalnya, selain berpotensi merusak alam, kehadiran pabrik yang akan dikelola oleh PT Singa Merah NTT dan PT Istindo Mitra Manggarai itu juga bakal memindahkan hunian warga Kampung Lingko Lolok.
Menurut JPIC Paroki Weleng, wacana besar yang sempat terungkap, di mana Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur mau menyatukan kembali semua wilayah Lamba Leda dalam satu nama.
Baca: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
Dua kecamatan yang namanya hendak diubah yakni Kecamatan Poco Ranaka menjadi Kecamatan Lamba Leda Selatan dan Kecamatan Poco Ranaka Timur menjadi Lamba Leda Timur.
Wacana tentang pengubahan nama kecamatan tersebut telah lama bergulir di kalangan masyarakat, khususnya para tetua adat setempat.
Kabarnya, pengubahan nama kecamatan ini bertujuan agar ada kesesuaian antara wilayah administrasi modern dengan sejarah tanah dan batas wilayah yang telah lama dikenal oleh komunitas adat setempat.
“Titik tolaknya adalah aspek sejarah yang sama. Namun gejolak Lingko Lolok dan Luwuk, yang mau diubah historisitasnya menimbulkan pertanyaan besar tentang maksud Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur itu,” tulis JPIC Paroki Weleng dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Minggu (24/05/2020).
Rilis tersebut ditulis oleh Ketua JPIC Paroki St. Agustinus Weleng Fransiskus Dasa, Ketua DPP St. Agustinus Weleng Marselinus Alsadin, dan Pastor Paroki St. Agustinus Weleng Marianus Suardi Galus.
Baca: Tambang Sumber Konflik Sosial dan Rampas Hak Warga
JPIC Paroki Weleng menyebut, pendirian pabrik semen ini menjadi masalah ketika ada banyak aspek yang kemudian dikorbankan.
“Salah satu aspek yang paling mendalam adalah aspek kultural yang merupakan warisan turun temurun wilayah tersebut,” sebut JPIC Paroki Weleng.
Pendirian pabrik semen, tulis JPIC, mengarah pada ‘pengusiran’ masyarakat dari suatu wilayah ke suatu tempat yang belum pasti. Hal ini berarti juga menjadi ruang pelenyapan atas situs-situs adat yang telah diturunkan.
Bahkan mereka menyebut, peradaban pada suatu wilayah yang telah diturunkan begitu jauh dari para leluhur dihilangkan atau dihapus begitu saja.
Masyarakat ‘dipaksakan’ untuk memulai kembali sebuah peradaban yang baru. Peradaban yang bersinggungan dengan aspek historis, yang bersentuhan dengan para leluhur, yang telah mapan dihidupi ‘direlakan’ untuk sebuah ketidakpastian.
Baca: “Bagaimanapun Bentuknya, Saya Punya Tanah Tidak Boleh Diganggu”
Dengan demikian, tulis JPIC Paroki Weleng, rencana besar tentang pendirian pabrik tersebut telah bertentangan dengan aspek kesejahteraan.
Kesejahteraan sebenarnya bukanlah sekadar aspek ekonomis, tetapi mencakup banyak aspek dalam kehidupan bersama, termasuk juga aspek kultural.
Pendirian pabrik itu justru mengabaikan kesejahteraan kultural, dan mengedepankan kesejahteraan instan yang juga belum pasti adanya. (VoN)
*Sumber pers rilis