Oleh: Pius Rengka
Dua pekan lalu. Hari itu, suhu udara Pulau Timor, 34 derajat takaran Celcius. Panas. Di tengah deraan terik mentari itulah, rombongan Gubernur NTT, 25 orang, berangkat pukul 07.00 Wita menuju SoE, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Anggota rombongan, kecuali para staf kantor terkait Gubernur NTT, di antaranya ikut dalam rombongan itu, Wakil Ketua DPRD NTT, Christ Mboeik (Nasdem), mantan Pemimpin Redaksi Harian Umum Victory News, Kupang dan Mantan Redaktur Pelaksana harian Petang Suara Pembaruan, Jakarta.
Ikut pula, DR. Imanuel Blegur, satu dari delapan Staf Khusus Gubernur NTT. Sebagai rakyat biasa, tentu saja, saya merasa beruntung, karena saya adalah salah satu orang hina dina yang sangat biasa yang diajak ikut rombongan itu.
Kunjungan ke TTS, kecuali untuk kepentingan teleconference dengan Menteri Pertanian RI, Syahrul Yassin Limpo, tetapi kunjungan itu juga dimanfaatkan Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat untuk mengontrol dari dekat bagaimana persiapan petani di TTS terkait musim tanam tahun ini.
Dalam sesi percakapan bebas dengan saya, diperoleh tekad sangat kuat bahwa Gubernur Victor ingin memastikan persiapan riil lahan pertanian 10.000 ha demi menjaga stabilitas persiapan pangan di NTT, meski harus menerjang ancaman wabah virus corona.
TTS adalah salah satu kawasan kabupaten yang dipersiapkan serius. Tetapi, untuk melakukan teleconference dengan Menteri Pertanian RI di lokasi lahan persiapan, yang terletak 10 km di luar Kota SoE, ke arah Timur itu, rombongan Gubernur berjalan kaki 2 km dari 5 km jarak tempuh dari tepi jalan negara trans Timor.
Gubernur Victor, berjalan paling depan. Dia berlangkah cepat. Terkesan seperti agak sedikit berlari. Anggota rombongan lain, ngos-ngosan. Tertinggal jauh di belakang. Terlebih mereka yang berperut buncit. Tak bakal sanggup mengimbangi kecepatan Victor Laiskodat. Saya pun terseok-seok, lantaran sepatu redwing coklat saya agak berat.
Victor Laiskodat, mengenakan kaus berkrah. Di bagian lengan kanannya, tampak ada sobekan kecil. Diduga, kaus itu berharga tak lebih dari Rp. 75.000. Celana jeans murahan agak kumal. Pake sepatu olahraga adidas kumal, tanpa mengenakan lencana tanda jabatan Gubernur. Topi pun dipakainya agak miring ke belakang. Terkesan seperti anak mileneal yang lagi naik badan.
Dia berlangkah enteng ringan di antara pecahan batu jalan tanah. Sesampai di lokasi kebun petani, Gubernur kelahiran Pulau Semau itu, mesti tunggu 30 menit sebelum teleconference dimulai. Sisa waktu tunggu itu diisi dengan dialog dengan Bupati TTS, Ir. Epy Tahun.
“Apa yang mesti saya katakan kepada Menteri Pertanian untuk kepentingan petani TTS,” tanya Gubernur kepada Bupati. “Kami minta 10 traktor Pak Gub,” jawab bupati Tahun santun, tapi ketus.
Gubernur angguk-angguk. Tatkala teleconference on air, Menteri Pertanian Syahrul Limpo menyapa Gubernur dengan hangat. “Selamat siang Boss Gubernur NTT,” ujar Menteri sambil angkat tangan.
Gubernur NTT Victor Laiskodat diminta Menteri Pertanian RI supaya menyampaikan ringkas kondisi persiapan lahan pertanian di NTT, khususnya TTS, dan peluang apa yang perlu dibantu Kementerian Pertanian.
Tanpa tedeng aling-aling, Gubernur Victor berkata: “Ok Pak Menteri, selamat bertemu. Saya langsung ya, karena saya masih banyak acara kunjungan ke rakyat hari ini. Untuk kepentingan para petani dan mobilisasi kemakmuran pertanian di NTT dan khususnya di TTS, kami sangat membutuhkan dukungan dan bantuan Menteri Pertanian 50 traktor pengolah lahan. Itu saja. Terimakasih”. Jawab Menteri Pertanian: ”Baik Pak Gubernur, permintaannya ditampung”.
“Bukan begitu Pak Menteri. Saya minta kepastian, Pak Menteri bantu atau tidak,” desak Victor. “Ya ya ya, Pak Gub pasti diatur,” jawab Menteri. “Baik terimakasih,” ujar Victor yang disambut tepuk tangan puluhan petani dan rombongan yang menyaksikan dialog amat sangat singkat itu.
Saya sungguh merasa sangat lain. Lain, karena pembicaraan dengan Menteri Pertanian ternyata tak berlangsung lama tak sebanding dengan persiapan teleconference itu sendiri yang memakan waktu cukup melelahkan sejak sehari sebelumnya. Benar-benar to the point. Dirasa lain juga karena pembicaraan dengan menteri sebperti bicara dengan sahabat lama yang kebetulan duduk di kursi kekuasaan berbeda.
Saya melihat Bupati TTS sumringah senang. Wajar. Karena dia meminta bantuan 10 traktor, tetapi ternyata Gubernur justru menyebut 50 traktor dan sepertinya bakal dikabulkan. Setelah mengucapkan proposal pertanian itu, Gubernur Victor tak berbasa-basi. Dia melanjutkan kunjungan ke dataran Bena.
Di Bena
Di Bena lain lagi. Jarak tempuh SoE Bena, 40 km. Rombongan Gubernur tiba di Bena, satu jam kemudian melintas punggung bukit Besipae. Sebagaimana biasa, Gubernur tak berlama-lama. Dialog dengan petani berlangsung santai di halaman rumah penduduk Bena. Hadir di situ selain rombongan gubernur, juga Bupati TTS, Camat, dua Kepala Desa, dan para pendamping desa.
Inti dialog, bahwa land clearing untuk penanaman jagung telah siap. Tetapi, ada soal. Jaringan distribusi air irigasi dari bendungan masih menyimpan problem karena ada konflik antarelit birokrasi pengelola irigasi. Akibatnya, air belum mengalir ke lokasi land clearing.
Mendengar laporan itu, Gubernur bertanya: “Siapa persisnya orang yang bertanggung jawab memecahkan urusan itu. Saya minta, hambatan itu dipecahkan sekarang juga saat saya sedang ada di Bena. Pak Bupati, telpon sekarang orang yang bertanggung jawab itu. Sekarang juga! Kasih tahu dia, Gubernur Victor Laiskodat mau bicara,“ ujar Gubernur.
Singkat kisah, petugas lapangan dari balai pengairan itu dikontak. Dalam percakapan telpon, Gubernur minta petugas dimaksud untuk segera mengatasi persoalan distribusi air di dataran Bena, di lokasi lahan persiapan tanam jagung, karena rakyat butuh problem mereka sesegera mungkin diatasi.
Kata Gubernur, tugas pemerintah atau siapa pun yang mengurus masalah rakyat ialah menyelesaikan problem rakyat, bukan menghalangi kepentingan rakyat. “Kau mengerti ini kan?” tanya Gubernur.
Dari seberang, terdengar jawaban melalui speaker handphone seseorang menjawab: ”Siap laksanakan Pak Gubernur. Sebentar pasti selesai”. Para petani, tepuk tangan.
Saat memberi sambutan, Gubernur Victor berkata: “Jika pemerintah sudah menyiapkan segala sesuatu untuk kepentingan petani, dan rakyat sendiri menyatakan siap bekerja tuntas, tetapi kalau nanti usaha kita tidak berhasil dan rakyat TTS masih miskin, itu berarti Gubernur, Bupati, Camat dan Kepala Desa serta semua pendamping desa adalah kumpulan orang sangat bodoh. Tetapi saya pastikan, jika benar usaha kita ini tidak berhasil, maka yang pertama ditempeleng itu adalah bupatinya. Bagaimana, Pak Bupati kamu setuju saya tempeleng dirimu,” ujar Gubernur sambil tersenyum dan menoleh ke Bupati. “Siap Pak Gubernur,” ujar Bupati Tahun yang disambut tawa dan tepuk tangan para petani. Bupati pun tertawa terbahak-bahak.
Setelah istirahat sambil minum air kelapa muda, rombongan pun pulang ke Kupang melewati punggung bukit Besipae sebagaimana tadinya ketika rombongan Gubernur melintas pergi ke arah Bena. Tadinya, aksi rakyat di situ belum ada. Sepi-sepi saja.
Tetapi, dalam perjalanan pulang, tatkala rombongan Gubernur tiba melintas persis di dekat kantor-kantor yang lama tidak difungsikan sejak tahun 90-an, Gubernur Victor menyaksikan puluhan warga masyarakat berteriak di balik pagar berkawat.
Mereka berkumpul di balik pagar sambil berteriak-teriak dan mengacungkan tinju tatkala rombongan Gubernur melintas dengan mobil berkecepatan penuh. Tampak plakat bertuliskan tolak kebijakan pemerintah atas Besipae.
Gubernur berhenti. Dia turun dari mobilnya. Begitu melihat Gubernur, seperti tersulut api amarah, warga pun berteriak histeris dan berseru-seru dengan tuntutan tunggal agar mereka tidak boleh diusir keluar dari lokasi Besipae. Alasannya, tanah di Besipae milik mereka.
Teriakan, seruan, caci maki dan tuntutan campur aduk jadi satu bagai koor unik tanpa dirigen jelas. Tidak jelas pula siapa juru bicara. Tampaknya seperti semuanya jadi juru bicara mewakili diri mereka masing-masing. Ada pula tuntutan yang sifatnya tidak akan mau membuka dialog entah dengan siapa pun, apalagi dengan pemerintah. Berkali-kali terdengar caci maki.
Semua orang bicara, laki perempuan, tua muda. Berkali-kali Gubernur beri isyarat minta diam, supaya bicara baik-baik. Tetapi permintaan itu, bukan saja tidak dipatuhi dan digubris sama sekali, malah teriakan kian keras, hujatan menjadi-jadi sehingga lainnya seperti tersulut pijar api kesurupan beraksi sambil mondar mandir dengan wajah nanar, berteriak kian keras memecah kesunyian hutan Besipae yang kian mekar dalam kerinduan solusi cepat.
Menyusul peristiwa itu, Gubernur tampak sempat agak marah, karena tatkala Gubernur minta warga diam agar mereka menyampaikan aspirasi mereka dengan tenang. Permintaan itu, justru disambut tingkah laku yang menjurus ke sejenis penghinaan.
Terhitung tiga perempuan paruh baya, satu di antaranya berkulit putih langsat rambut agak pirang, melakukan aksi mencopot baju dan kutang, memperlihatkan segala yang ada di dada tanpa selembar penutup yang patut persis di depan banyak orang, dan di depan Gubernur.
Saya berdiri di luar pagar 4 meter tak jauh dari aksi buka dada perempuan berkulit putih langsat itu. Saya memperhatikan detail segala yang tampak. Terdengar ucapan keluhan, tuntutan dan permohonan keadilan. Intinya mereka meminta agar komunitasnya tidak diungsikan dari lokasi Besipae, dengan alasan bahwa tanah yang ditempati itu adalah tanah warisan nenek moyangnya.
Entah bagaimana isi negosiasi Gubernur Victor dengan delegatus warga itu, tetapi tampaknya berhasil manis. Teriakan warga berhenti, meski baju penutup dada tiga dara paruh baya, tetap menghirup dan dibelai udara bebas tanpa hambatan. Lembar kain penutup dada entah dicampakkan di mana, tak seorang jua pun menaruh peduli. Hiruk pikuk aksi demonstrasi dramatis itu usai sudah menyusul senyum sumringah Gubernur dan seorang Ibu berbaju hijau dirangkul kasih harapan Gubernur.
Namun, meski didih amarah memuncak, tetapi untunglah angin hutan tropis Besipae membalut dan membelai wajah kami dari terpaan hawa panas di sana. Air emosi yang mendidih tak terkendali, akhirnya terkulai dalam sunyi senyum ketika pacuan kendaraan rombongan gubernur kembali dalam formasi sebagaimana biasa.
Patahan Sejarah
Sembari Gubernur Victor melakukan dialog dalam pondok darurat di balik pagar itu, saya bertemu seorang pria yang tampak seperti petani intelektual dari daerah sekitar itu. Tetapi dia tak mau menyebutkan namanya. Saya meminta pandangannya tentang makna peristiwa itu.
Pertama, yang disebutkannya, ialah bahwa sejak tahun 80-an hamparan punggung bukit Besipae telah disepakati para pemilik lahan untuk diserahkan kepada pemerintah. Tidak diketahuinya apakah ada batas waktu atau tidak.
Kala itu, Kabupaten TTS dipimpin Bupati Piet A. Tallo. Gubernur NTT, Ben Mboi. Tetapi, sejak tahun 1990-an, aktivitas di Besipae sepi setelah sejumlah gedung dibangun. Padahal dijanjikan, bahwa lokasi itu bakal menjadi semacam ranch untuk penggemukkan dan pembibitan sapi kerja sama Pemerintah Australia dengan Pemerintah RI.
Bahkan saat itu, katanya, ahli inseminasi ternak dari IPB, Prof. DR. Mozez Tulihere, yang kemudian menjadi Rektor Undana, memiliki tugas khusus untuk mengelola sapi yang rencananya akan dikonsentrasikan di Besiapae. Kami dengar Prof. Mozez Tulihere adalah juga ahli yang dipakai oleh Presiden Soeharto untuk ternak sapi milik Soeharto. Tetapi, nyatanya hingga hari ini, Besipae ditinggalkan begitu saja, sementara para tuan tanah yang telah bersepakat lainnya sudah tiada. Tidak tahu apakah dokumen hukum masih tersedia atau tidak supaya kita mengerti apa isi dan inti isi dokumen tersebut. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi sebaiknya semua pihak kembali ke isi dokumen perjanjian tentang Besipae.
Kedua, para tokoh adat dan pemilik tanah telah bersepakat bahwa hamparan punggung bukit Besipae diserahkan ke pemerintah. Orang yang tak mau disebutkan namanya itu mengaku, dirinya menjadi bagian yang menginginkan sekali agar perihal Besipae dibicarakan secara damai, tetapi tidak dengan semangat konfliktual, tidak pula dengan cara aksi buka dada sebagaimana dilakukan tiga perempuan paruh baya itu. Bahkan menurutnya, warga yang ribut sambil buka baju itu, sesungguhnya adalah warga yang selama ini tidak berasal dari bagian dalam negosiasi dengan pemerintah pada waktu Besipae dibicarakan.
Ketiga, perihal aksi buka baju para ibu paruh baya itu, merupakan gejala baru untuk masyarakat Timor. Tidak ada dalam kultur masyarakat Timor yang beraksi sampai-sampai berani memperlihatkan bagian yang patut dijaga dan dilindungi itu. Bagian itu tidak hanya dijaga atau dilindungi norma susila dan sopan santun, tetapi juga dijaga norma adat dan agama karena akan terasa hambar dengan aksi melalui cara itu. Kok dibuka tutupannya dan boleh ditonton di depan banyak orang. Bagaimana perasaan suami atau pacar mereka, bagaimana pula orangtua yang melahirkan mereka. Bagaimana pula perasaan orang-orang yang menyaksikan peristiwa ini. Dia mengaku tidak mengerti, kok ada perempuan Timor yang sanggup sampai bertindak begitu. Dia menduga, mesti ada aktor intelektual yang ada di balik peristiwa ini. “Saya tidak mengerti dan tidak tahu cara menjelaskannya,” ujarnya.
Keempat, dia berharap agar urusan Besiape segera diselesaikan agar relasi antarwarga di daerah ini kembali damai dan pembangunan boleh dirancang jalan terus, agar semua pihak boleh menuntut haknya asal dengan cara-cara yang bermartabat pula. Pihak lain yang melihat kasus ini dari jauh, sebaiknya tidak ikut membakar dan memanas-manasi sehingga konflik berlanjut.
Kelima, dia menduga kasus ini muncul karena ada patahan sejarah dalam pembangunan Besipae. Patahan sejarah itu dimulai ketika kawasan Besipae tidak diurus tuntas sesuai perjanjian dan peruntukannya dengan pemerintah. Selepas Gubernur Ben Mboi, kawasan ini ditelantarkan, tidak diurus, sementara bangunan yang ada di tengah hutan Besipae terkesan dihuni hantu atau mungkin pula dipakai oleh pasangan pria dan perempuan yang ingin membagikan kehangat tubuh di sini.
Tambahan lagi Perusahaan Listrik Negara kok melayani permintaan pemasangan listrik untuk rumah-rumah yang dibangun di kawasan ini. Sehingga para pemilik rumah merasa pemasangan listrik itu sebagai bagian dari legitimasi dan konfirmasi atas klaim kepemilikan. Karena tak ada teguran dari siapa pun, tidak ada pula peringatan atau sejenisnya, maka para okupan merasa, nyaman dan lambat laun mereka merasa memiliki.
Keenam, Gubernur Victor datang mau memakai kawasan ini untuk proyek pertanian tatkala para okupan tidak ada perasaan lain kecuali merasa ini tanah milik mereka karena memang tidak pernah ada teguran atau perjanjian baru yang mungkin diperlukan. Atau sebutan okupan bagi mereka adalah keliru, karena mereka merasa ini kawasan milik nenek moyangnya.
Ketujuh, pemerintah sekarang perlu melakukan telusuran dokumen agar tidak terjadi salah kira baik untuk warga di sini maupun pendatang luar dari mana-mana yang mengaku memiliki tanah di sini.
Pandangan Para Juru Tafsir Eksternal
Mencermati pandangan juru tafsir eksternal atas peristiwa Besipae, memang beragam. Juru tafsir eksternal yang dimaksudkan di sini adalah para pihak (political community, civil society dan state) yang membangun kekayaan ragam perspektif. Perspektif yang beragam itu terbelah dalam tiga irisan.
Pertama, perspektif para politisi, misalnya, bahwa peristiwa telanjang dada Besipae, adalah sejenis ekspresi perjuangan politik masyarakat atas tanah yang diduga milik mereka. Mereka tentu saja berpihak pada kepentingan survival atas tekanan hidup di tengah janji tanah yang menjanjikan.
Besipae adalah hamparan subur, tetapi fakta memperlihatkan kawasan itu telah lama ditelantarkan ketika akumulasi harapan dan kekecewaan rakyat kian justru memuncak. Pada bagian ini, dimengerti bahwa setiap masyarakat yang sedang mengalami transisi akan menunjukkan pola perkembangan yang dipengaruhi oleh pelbagai gejala masalah-masalah khusus yang berkenaan dengan situasi geografis, ekonomis dan politis.
Salah satu gejala masyarakat transisi adalah terjadinya pergolakan dan perubahan struktur masyarakat menyangkut pula perubahan kedudukan golongan-golongan sosial yang mempunyai peranan dan kekuasaan dalam menentukan arah dari gerak perubahan tersebut.
Seiring dengan itu, tekanan sosial, entah itu ekonomi dan politik membuncah menjadi semacam disorientasi terutama terkait penguasaan atas tanah. Lalu mereka kemudian terkonsolidasi, bukan karena kehendak mereka sendiri atau by design, melainkan karena dibimbing oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang menekan, sehingga mereka kemudian membentuk elit kampung dalam skema perjuangan bersama.
Kepentingannya bertemu, karena memiliki masalah bersama, yaitu ketiadaan akses dan kontrol atas tanah. Mereka kemudian memperkuat integrasi unsur-unsur kepentingan bersama, agar kemudian diekspresikan secara radikal dan jika perlu sangat keras dan bahkan ekstrim.
Bagi kaum perempuan Besipae, ekspresi yang paling radikal itu ialah membuka kutang sebagai simbol perlawanan, bukan simbol nafsu terpendam untuk meminta elusan kasih sayang dari orang terpandang yang sedang memandang.
Kedua, perspektif komunitas atau individu civil society. Salah satu perjuangan khas komunitas ini ialah memaksimalkan kesejahteraan bagi rakyat. Aneka ragam keluhan dan tuntutan (grievances and demands) rakyat justru mengarah pada point yang satu yaitu pentingnya negara hadir untuk menyelesaikan masalah rakyat, menjaga hak-hak rakyat dan menjamin perlindungan atas kepentingan terbaik rakyat.
Masalah utama rakyat ialah derita negara. Atau di balik, masalah negara adalah derita rakyat. Mengurus rakyat derita adalah tugas utama negara karena dengan demikian negara menjadi penting hadir di sini.
Karena itu, reaksi para ibu buka kutang, adalah aksi kepedulian warga negara atas reaksi perilaku masa bodoh negara. Negara dianggap absen begitu lama, karena itu patut diingatkan dengan aneka cara. Jika cara-cara biasa ternyata tidak dianggap sahih, maka rakyat akan menggunakan cara luar biasa (extra ordinary) agar hal-hal biasa yang seharusnya menjadi tanggungan negara diperhatikan secara serius tanpa reserve kultural.
Buka dada tak lagi hanya kekuatan biasa laki-laki jantan, tetapi perempuan mensahihkan dada sebagai tanda bahwa dahaga pada kebenaran dan keadilan telah mencapai titik kulminasi puncak serius. Jadi, bila Besipae tidak diurus tuntas, maka ekspresi lanjutan bisa meluas menjadi bukan hanya dada yang dibuka, tetapi juga paha pun dapat mengangkang demi mengangkangi ketakbecusan negara atas tanggung jawab wajibnya atas warga negara.
Ketiga, perspektif state. Sikap negara biasanya berbasis pada imajinasi mengakumulasi modal melalui investasi justru untuk menyelesaikan problem rakyat itu sendiri dan kepentingan saving di masa depan. Negara seolah-olah bertindak seperti privat sector untuk akumulasi modal dalam skema akumulasi investasi, ekspansi dan diversifikasi usaha.
Caranya, memaksimalkan semua sumberdaya, memobilisasi semua daya yang bersumber dari tanah, isi tanah (tambang) dan ekstraksi potensi sumberdaya alam melalui mekanisme demokratik. Karena itu, watak negara yang seharusnya yang utama ialah opsi pada mengurangi derita rakyat, melalui mekanisme deliberative demokrasi, negosiasi kepentingan, dan memaksimalkan negosiasi demi kepentingan bersama terutama kesejahteraan rakyat.
Dalam praktek, bukan mustahil, pemerintah kerap dan dapat lalai, sebagaimana pengalaman Besipae sejak ditinggal Ben Mboi dan Piet A Tallo. Cilakanya, elit state post kedua tokoh hebat ini bertemu dengan elit tradisional yang memalingkan perhatian pada masa silam.
Di sini antagonisme dapat berkembang dan bertumbuh serta mengalami metamorfosa menjadi sektarianisme kultural yang membilah dan memecahkan kecenderungan. Elit negara ingin mengubah dengan cara demokratik dan negosiasi berbasis hukum negara, tetapi elit lokal mempertahankan diri dan lebih berorientasi ke masa lampau sebagai jaman yang gemilang.
Jadi, dua kecenderungan arus bertemu dalam pusaran antara orientasi ke masa depan dengan orientasi ke masa silam. Bahayanya ialah jika ketegangan ini tidak segera dilerai dengan mekanisme damai, maka buka dada dan tunjuk buah dada dianggap negara sebagai pembangkangan, sedangkan bagi elit lokal dianggap sebagai romantisme masa silam yang menyenangkan untuk dikenang kembali. Buka dada adalah simbol kenikmatan historis bagi elit tradisional, sedangkan bagi negara sebagai perlawanan di luar garis batas.
Untuk damainya, kecuali menggelar tikar perundingan, sambil memainkan dan menawarkan game win-win solution, karena toh dada tanpa dibuka pun diketahui apalah isinya, dan bagi negara tanpa protes buka dada pun mestinya mengerti rakyat sudah ada di garis batas derita yang tak tertahankan.
Jadi negara pasti tidak boleh menjadi predator demokrasi, dan juga predator bagi rakyatnya sendiri. Di sinilah mungkin, kata-kata Gubernur Victor Laiskodat dapat dimengerti sebagai pendekatan solusi sosial ketika dua bulan silam di ruangan kerjanya mengatakan: “Saya ke NTT bukan untuk menimpakan derita bagi rakyat NTT, tetapi saya dan Kak Josef Nai Soi datang ke NTT untuk membawa rakyat NTT eksodus dari lilitan belenggu rantai derita”.
Nah, kita mungkin patut menguburkan sejarah bukan supaya meniadakan sejarah itu dari muka bumi, tetapi supaya sejarah itu sendiri adalah kuburan untuk meminta kita boleh berbuat sejarah lagi, terutama dalam kenangan para pemburu kebenaran.
Pada bagian ini, saya kemudian terkenang pada kata ahli ekonomi kelahiran Perancis abad 18, Vilfredo Pareto, yang mengatakan: sejarah adalah kuburan bagi pelbagai aristokrasi. Begitu ya!