🙂 CERPEN Bryan Lagaor*
“Maaf nona….. kamu harus dikarantina!!”
“Ya pak..saya mengerti dengan situasi kita sekarang tetapi izinkan saya untuk bertemu ibuku terlebih dahulu, pak.”
“Tidak bisa! karena hal ini dilakukan demi pencegaan penularan”
“Tolong pak……cukup saya melihat senyumnya saja, sebab sudah lama senyum itu tak kulihat lagi”
“Sekali lagi ini demi keselamatan warga kampung dari pandemi yang belum ada penawarnya. Soal rindu masih bisa diobati sedangkan waba ini belum ada obatnya. Jadi tolong menghargai pemerintah melalui proses ini”
Laztry, nama gadis itu, terpaksa menuruti perintah pak polisi yang ditugaskan mengawasi kampung mereka. Laztry berusia lebih muda dari perempuan paruh baya lebih tua dari gadis kecil. Sepasang matanya teduh. Rambutnya tersanggul, menawan.
Setelah menyelesaikan kuliah di kota yang dijuluki kota pelajar di pulau Jawa, ia memutuskan untuk pulang kampung. Sebab sudah lama sekali tak pernah bertemu ibunya yang sendirian di rumah lantaran telah ditinggal pergi sang Ayah ketika dirinya masih belia.
Keputusannya itu bukan karena Laztry tidak menghiraukan himbauan pemerintah untuk stay at home. Tetapi sebagai anak kos, ia sangat sulit hidup dalam situasi pandemi ini. Apalagi harga-harga sembako kian mundhak dan isi dompet kian cekak. Sehingga ia berpikir lebih baik pulang kampung daripada mati kelaparan di tanah orang lantaran tak punya uang lagi untuk membeli makanan.
Setelah tiba di kampung dan belum sempat melepas rindu dengan Ibunya, malah ia digiring menuju ruang isolasi tepat di ujung kampung.
Sesuai isu yang beredar di kampungnya, Laztry membawa penyakit mematikan yang sekarang menyebar sangat cepat itu dari tanah rantau (zona merah) sehingga harus dikarantina, padahal tujuan karantina adalah untuk antisipasi, bukan berarti yang dikarantina itu sudah terinfeksi virus. Begitulah orang kampung memvonisnya.
Tidak pernah ada dalam bayangan Laztry sebelumnya, kalau masa liburannya lebih banyak ia habiskan dalam ruangan isolasi. Awal-awal Sulaztry masih bisa menerima apa yang terjadi dengan dirinya, yang harus duduk membunuh waktu di dalam ruangan berukuran 3×4 tersebut.
Angan-angan yang lama endap dalam kepalanya untuk makan bersama ibunya dan ingin bercerita tentang perjuangan tanpa keluh demi membahagiakan ibunya, akhirnya ditunda.
Hari demi hari, suasana di dalam ruangan itu semakin menggelisakan Laztry meskipun hanya dua minggu. Empat belas hari sesuai dengan kesepakatan akhirnya tiba juga. Laztry tidak sabar lagi sehingga dari subuh sebelum pagi ia sudah terjada di depan pintu.
“Laztry….kamu sudah bisa diizinkan untuk pulang karena tidak ada gejala yang mununjukan bahwa kamu terinfeksi virus.”
“Memang benar, saya sama sekali tidak mengalami gejala-gejala demikian pak.”
“Oke… Terimaksih untuk kesabaranmu melewati masa karantina”
“Sama-sama pak. Maaf…. tetapi saya harus bruru-buru ke rumah”
“Iya..tetap selalu menggunakan masker kalau berpergian dan tetap jaga kesehatan”
“tentu pak……sampai jumpa di lain kesempatan”
Sulaztry cepat-cepat keluar dari ruangan isolasi langsung bergegas menuju rumahnya tempat segala jenis rindu akan pulang. Di depan pintu ternyata ibunya tengah duduk menantinya dengan derai air mata antara bahagia dan terharu bercampur aduk.
Mereka menghabiskan hari itu dengan bercerita tentang apa saja. Rindu seolah-olah tuntas dibayar tunai saat mereka makan malam bersama dengan hidangan seadanya. Disajikan ibunya tanpa garam namun penuh rindu melihat putrinya mencicipi makanan masakannya lagi setelah sekian tahun. Mereka tidak peduli dengan isu sumpang siur tentang Laztry yang benar-benar bebas dari penyakit mematikan tersebut atau tidak.
Kebahagiaan mereka malam itu tidak lama. Semuanya berubah setelah Laztry benar-benar mengetahui bahwa semua orang kampung semakin menjauhi mereka. Alasan jelas bahwa belum ada petugas medis yang melakukan pemeriksaan terhadap orang dengan pengawasan seperti Laztry.
Ketika Laztry hendak berjalan-jalan di lorong-lorong kampung, orang kampung selalu menjauhi dia. Bahkan ketika bertandang ke rumah sahabat kecilnya dulu, di mana halaman rumah mereka itu menjadi tempat rekam jejak segala cerita masa kecil, ibu dari sahabatnya itu langsung menutup pintu rumah mereka. Laztry langsung menjatuhkan air matanya melihat hal tersebut. Hatinya seberti diiris sembilu. Hancur berkeping-keping. Laztry kemudian pulang dengan berlari menujuh rumahnya. Ia langsung menuju dapur menemui ibunya yang sedang meniti jagung di samping tungku.
“Bu………”. Laztry memanggil ibunya dengan suara liri. Semntara bulir-bulir airmatanya semakin membanjir.
“Kenapa nak..??” Tanya ibunya semakin keheranan melihat Laztry menangis menjadi-jadi di pelukannya.
“Bu…..saya…tadi ke rumah………” tidak sempat menghabisakn kalimatnya, ibunya langsung memotong pembicaraannya seolah mengerti apa yang mau ia ceritakan.
“Lastri….ibu kan sudah bilang…jangan keluar rumah dulu. Apalagi bertandang ke rumah sahabatmu itu”
“Tetapi kenapa bu…..saya kan tetap menggunakan masker dan menjaga jarak kalau berbicara dengan mereka.”
“Untuk sementara memang tidak bisa nak……..”
“Bukan hanya itu bu….semua orang melihatku dengan mata sinis. Sama sekali tidak bersahabat. Mengapa semuanya menjadi seperti ini bu?”
“Ibu juga tidak tahu mengapa situasi kampung menjadi seperti ini nak…apalagi semenjak dirimu masih di dalam ruangan itu, tetangga kita tidak lagi bercerita dengan ibu seperti biasanya. Mereka selalu menghindar…”
“Ini tidak adil bu…..kita juga manusia bukan binatang. Sama saja mereka mengasingkan dan mengucilkan kita berdua. Di mana sisi kemanusian mereka bu..? Lalu kalau saya terinfeksi virus, kenapa saya tidak langsung mati waktu masih di dalam ruangan isolasi, bu? Ini bentuk isolasi paling kejam, lebih menggelisakan dari ruangan itu.”
Laztry dan ibunya semakin menangis sambil berpelukan. Ibunya tidak bisa menjawab semua pertanyan Laztry. Apalagi soal keadilan dan kemanusian. Mereka berdua tetap menangis di dekat tungku. Api di dalam tungku kehidupan mereka berdua sedang dipadamkan secara perlahan-lahan.
Setelah kejadian tersebut Laztry berjuang melawan penolakan orang kampung terhadap dirinya dan ibunya. Ia tidak lagi keluar rumah. Keadaan Laztry baik secara fisik maupun psikis dari hari ke hari semakin buruk. Laztry sudah tidak mau makan dan minum apa pun yang dihidangkan ibunya. Cita-cita mau membahagiakan ibunya dipatahkan begitu saja.
Hingga pada suatu pagi yang kelam suasana kampung lain sekali dari pagi-pagi lain sepanjang tahun. Hujan tidak Cuma ingin rintik-rintik saja. Lebat mengguyur. Kilat menyambar serupa mau menghanguskan semesta. Semua orang kampung takut untuk keluar rumah. Sedangkan ibu Laztry seperti biasanya, bangun selalu sumbuh, dan mempersiapkan sarapan buat mereka berdua.
Hidangan begitu sederhana tapi cinta menyiapkan hidangan itu sungguh luar biasa. Dua cangkir teh dan sepiring jagung titi. Namun ada yang aneh dalam firasat ibunya karena Laztry tak kunjung juga keluar dari kamarnya. Ibunya memanggil namanya berulang-ulang kali namun tidak ada jawaban. Akhirnya ibunya beranjak menuju kamar Laztry.
“Laztry………………..” teriak ibunya karena melihat anaknya tergeletak kaku di atas tempat tidur dengan sebila pisau dapur tertancap di dadanya. Sedangkan darah segar terus membanjir di bawah kolong tempat tidur. Ibunya langsung pingsan karena semakin sengit getir kehidupan yang ia tanggung. Sungguh malang nasib Laztry yang kemudian tersiar berita bahwa Laztry melakukan tindakan bunuh diri supaya ibunya tidak lagi diasingkan oleh orang-orang kampung.
Satu minggu kemudian baru diketahui bahwa Laztry sama sekali tidak menderita penyakit apapun. Berita ini semakin menyayat hati ibunya karena semuanya sudah terlambat. Laztry benar, ketika diasingkan atau dikucilkan oleh orang-orang terdekat kita adalah bentuk isolasi sosial paling kejam. Membunuh langsung pada jiwa.
Ledalero, Medio April 2020
*Bryan Lagaor menetap di Ledalero- Maumere-NTT