Oleh: Louis Jawa
Pastor Desa, tinggal di Manggarai
“Di mana-mana aku selalu dengar
Yang benar akhirnya yang menang
Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan?
Kebenaran tidak datang dari langit,
dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar…”
-Pramoedya Ananta Toer-
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar, yang sanggup menggugah dan mendongkrak sebuah kesadaran kritis rasional dalam diri anak bangsa ini.
Entah mengapa saya sangat terinspirasi oleh karya-karya Pramoedya dan juga karya-karya Antonio Gramsci, mungkinkah atas alasan sebuah alasan yang mengerikan, buah pena mereka dihasilkan dari balik jeruji penjara. Ataukah letupan pemberontakan mereka selipkan dalam narasi sastra yang indah serta dalam catatan politik yang membuka mata hati dan mata budi sekaligus.
Gagasan itu tetap gagasan yang inspiratif dan tak tergantikan, tak heran bila karya Pramoedya sudah diterjemaahkan ke dalam 41 bahasa asing. Ia bahkan pernah masuk dalam nominasi penghargaan nobel sastra, sebuah pencapaian yang amat sangat sulit dicapai oleh anak bangsa kita pada saat ini.
Eufemisme kekuasaan, sejatinya dapat dipahami sebagai manipulasi bahasa untuk memperhalus sebuah kenyataan yang sesungguhnya lebih buruk dari yang disampaikan. Kita pun tidak tahu persis, seperti apa eufemisme kekuasaan itu telah terjadi di provinsi NTT, dengannya kita pun tergerak memperjuangkan civilisasi sebuah kekuasaan birokrasi kita.
Tesis yang bisa dibangun dalam refleksi sederhana ini adalah seberapa jujur birokrasi kita pada bonum commune masyarakat NTT dan seberapa parah salah tata kelola birokrasi pemerintahan kita. Besipae, kini menjadi sebuah letupan antara kenyataan dan opini, tentang kekuasaan, kemanusiaan dan makna pembangunan kita. Fakta keberanian seorang pemimpin berbenturan dengan opini dan keyakinan masyarakat yang merasa dirinya ditindas dan dirampas hak-haknya oleh pemerintah. Fakta kesungguhan pemerintah berbenturan dengan fakta masyarakat yang mau hidup sejahtera tanpa kehilangan hak miliknya, yang oleh keputusan legal, berada hanya pada satu pengelolaan.
Menjadi “Profesor Pemberani”
Sosok Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur Provinsi NTT, dengan karakternya yang khas, menghadirkan sejuta satu kesan, penilaian, pujian dan kritik yang tiada henti. Ada yang memuji pidato dan sambutan-sambutannya yang lurus, tegas, vulgar dan langsung ke pokok persoalan. Kerangka teoretis kurang mendapat tempat dalam arahannya, namun kerangka teknis operasional tepat sasar, menjadi target pembangunannya.
Mengutip tulisan “Sekolah Virtual, New Normal dan Dilema Daerah Tertinggal” (Ekora NTT 29/5/2020): “ gerakan ‘New Normal’ tidak lama lagi (15 Juni 2020) akan menggebrak kekakuan dan ketakutan masyarakat, ketika kepanikan dan kebingungan harus dientas lebih tegas sebagaimana keberanian kepemimpinan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) beserta jajaran birokrasinya.
Satu hal yang mengagumkan, yang saya temukan dalam diri Gubernur NTT saat ini adalah keberanian dan ketegasannya untuk membangun salah satu provinsi termiskin menjadi sebuah provinsi ‘kuda hitam’ di antara provinsi-provinsi lainnya.
Dalam salah satu kesempatan perjumpaan jajaran pemerintahan, Gubernur dengan tegas menyebut dirinya sebagai ‘Profesor Penjahat’, sebagai sebuah imperasi bagi dunia kehidupan masyarakat NTT yang masih dikuasai preman-preman pencuri yang merugikan masyarakat.
Saya lebih memilih ‘Profesor Pemberani’ untuk menggantikan ‘Profesor Penjahat’, karena keberanian dan ketegasan seorang pemimpin sangatlah dibutuhkan untuk membangun sebuah daerah tertinggal, yang perlu didobrak dan digebrak lebih kuat lagi.”
Pada bagian lain, Gubernur menegaskan imperasi iman yang mesti selaras dengan pembangunan, antara doa-doa dan kesalehan dengan kekuatan untuk bangkit dalam pembangunan provinsi NTT.
Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) membangun sebuah optimisme yang berani, yang secara kasat mata, ditampakkan dalam ketegasan dan kesungguhan untuk memulai sebuah titik mulai yang tidak mudah untuk zona nyaman yang enggan bergerak maju.
Pada bagian tertentu, keberanian “Profesor Pemberani” mesti berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar, apakah industri pertambangan menjadi pilihan politik pembangunan NTT. Pada bagian lainnya lagi, Besipae menjadi sebuah tragedi kemanusiaan ataukah sebuah pintu pembangunan yang harus disambut dan diperkuat lagi jejaringnya?
Tragedi Besipae, Fakta atau Opini
Kebenaran tidak turun dari langit, membahasakan hidup adalah proses, sebuah perjuangan tiada henti dan terus menerus. Pertanyaan selanjutnya, apa itu kebenaran, dan siapakah yang berhak menyatakan kebenaran dalam pentas kehidupan manusia dewasa ini. Apakah kebenaran berwajah ganda, ataukah kebenaran itu adalah kenyataan itu sendiri, yang seringkali untuk sebuah kepentingan, dapat dipoles kisahnya dengan bumbu-bumbu kepentingan.
Sosok sastrawan pejuang sekelas Pram, menemukan dunia yang tidak boleh takluk pada kekuasaan dunia, termasuk ketika suara yang benar itu dibungkam dan terus dibungkam. Ketidakadilan tetaplah ketidakadilan, ia tidak dapat dirubah oleh perspektif sekuat apapun, termasuk kekuasaan dan belenggu bedil yang mengancam, termasuk jeruji penjara dan kekejamannya.
Berkaca-kaca mata saya, membaca tulisan seorang pemikir dan pegiat demokrasi, Pius Rengka (PR) , ketika kekuasaan ternyata dapat dipandang dari sebuah sudut realita yang jujur dan tidak berdusta dalam dirinya sendiri. PR seorang figur yang berpengaruh, paling kurang yang saya alami secara pribadi, gagasan-gagasannya membentuk sebuah cara pandang kritis atas sebuah persoalan aktual.
Tulisan bernas ‘Besipae, Bena dan Aksi Buka Dada itu’ (Vox NTT.com 26/5/2020) menggugah jiwa dan kesadaran kritis, betapa kepemimpinan NTT saat ini menyematkan sebuah misi perjuangan yang mengagumkan, dalam cara yang unik untuk memajukan sebuah provini yang masih tergolong tertinggal dari kabupaten lainnya.
Ada tiga pokok gagasan bernas ini yang (berhasil) saya temukan dalam tulisan ini.
Pertama, kekuasaan sungguh dibutuhkan untuk mempengaruhi publik, dan gerakan konkret kepemimpinan NTT saat ini adalah sesuatu yang mahal serentak istimewa. Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, pada ranah teoretis dan terutama dalam ranah praksis, memperjuangkan gerakan beralih dari kemiskinan dan keterbelakangan pada kesejahteraan dan kemajuan sebuah daerah.
Kedua, keinginan yang tulus untuk membangun seringkali berhadapan dengan mekanisme pembelaan diri yang stagnan, kasar dan eksklusif. Kehadiran seorang Gubernur dengan keinginan tulus untuk membangun dihadang oleh sebuah kemarahan dan kegelisahan yang tidak memiliki titik simpul. Gerakan mempertahankan tanah sebagai tumpah darah kemanusiaan bertarung sengit melawan kesungguhan pemerintah untuk membangun kehidupan yang lebih sejahtera.
Ada pertarungan pola pemikiran, pola perasaan dan pola perilaku, antara dua kekuatan besar, yakni kekuatan kekuasaan yang memimpin dan kekuatan rakyat jelata yang dipimpin. Moderasi dua kekuatan ini akhirnya terungkap dalam aksi naik pagar oleh seorang sosok pemimpin tertinggi di NTT ini.
Ketiga, setiap orang bisa memiliki perspektif tentang sebuah peristiwa, dengannya dapat membangun sebuah opini tajam dan kritis tentang peristiwa itu. PR menegaskan primat berpikir yang benar dan adil, ketika setiap realitas harus tergambar sebagaimana mestinya, dan pengadilan atas realitas itu sungguh harus dibuktikan oleh kejernihan hati nurani dan akal budi.
Ketiga pokok gagasan PR, menjadi sebuah refleksi yang sangat dalam tentang perjuangan demokrasi lokal kita, ketika kita dihadapkan pada pilihan untuk mau membantun NTT ataukah kita terus terjebak dalam konstruksi klasik, dan akhirnya kita tetap berjalan di tempat.
Kisah di Besipae, yang bisa kita saksikan di youtube, baik aksi naik pagar maupun dialog Gubernur dengan beberapa pria, mengungkapkan secara jelas tentang konflik kepentingan dalam sejarah kepemimpinan daerah kita. Persis pada dinamika ini, PR menempatkan seorang pemimpin apa adanya, dalam fakta in se, dan memberikan sebuah maklumat tentang cara berpikir yang jernih dan waras.
Civilasi Provinsi NTT
Dalam pikiran saya, kelengahan negara dan apatisme masyarakat, jelas, sesuatu yang sangat berbahaya dan destruktif. Johan Gottfried (2000,132) menjelaskan civilisasi sebuah negara yang ditandai oleh lima ciri berikut:
Pertama, kemakmuran masyarakat. Tingkat peradaban negara hanya bisa dibaca dan diukur dalam kriterium ini. Citra negara beradab sering dihancurkan oleh budaya korupsi, penyalahgunaan kekayaan dan aset negara.
Kedua, perlindungan dan jaminan kehidupan dan keamanan bagi seluruh warga masyarakat, seperti anak-anak, orang tua dan sakit, kaum cacat, orang miskin dan melarat. Warga masyarakat membutuhkan jaminan kepastian kehidupan dan keamanan. Peradaban negara mesti menjamin hal ini.
Ketiga, penguasaan terhadap setiap kekerasan dan potensi-potensi destruktif dalam masyarakat. Negara memiliki hak untuk melumpuhkan terorisme dan mengadakan perang dalam situasi darurat. Namun penggunaan kekerasan senjata terhadap warga sipil dan rekayasa kekacauan dan konflik adalah sebuah pengkhianatan terhadap rakyat.
Keempat, kepastian dan kewibawaan hukum. Harus ada koridor pasti bagi demokrasi, hukum jadi kriterium itu.
Kelima, adanya pembagian dan pemisahan kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Carl Schmitt (1888-1985) dalam The Concept of The Political (1927) menghadirkan paradigma keterlibatan warga negara dalam berdemokrasi (baca: proses politik). Besette, Elster, Habermas dan Held memandang keterlibatan warga sebagai “roh demokrasi” itu sendiri. Melalui keterlibatan dan pertimbangan warga itulah, bobot legitimasi dalam pembuatan aturan dan kebijakan dapat diukur (Bohman & Rehg, 1997).
Kepemimpinan pada sudut kebijakan manapun pasti akan mendapatkan kesan, opini dan kritik-pujian, namun pada tempat yang sama, kepemimpinan NTT mesti bisa membuktikan karakter pembangunannya tanpa terjebak dalam politik kepentingan yang sempit.
Gubernur NTT saat ini boleh membanggakan segala gebrakan pembangunan dengan orasi politik yang menggebu-gebu dan kerapkali vulgar dan kontroversial, namun Gubernur NTT harus bisa bertanggungjawab atas ide yang dicetuskan dan diciptakannya, mengawal setiap derap langkah pembangunan. NTT bukan hanya sekadar minuman Sophia dan pidato kehebatan, NTT adalah kehidupan yang harus dirawat senantiasa.
Hembusan baru gerakan “Indonesia Terserah” menghujam kesadaran kritis masyarakat, ketika negara memang dituntut untuk menunjukkan kapabilitasnya di tengah situasi darurat apapun. Seperti pengalaman negara Amerika Serika, negara adidaya, yang kemudian menjadi bumerang baginya, bermula dari eufemisme retorika yang membius masyarakat negaranya sendiri.
Ketika negara-negara berjuang keras untuk melawan penyakit dengan virus yang mematikan, Presiden Donald Trump malah sibuk bermain catur kekuasaan, dengan menyemburkan eufemisme kekuasaan tanpa etika.
Mengutip gagasan pengamat politik, Boni Hargens (2006:121) dalam bukunya Demokrasi Radikal, rakyat sesungguhnya sangat membutuhkan demokrasi sejati yang lahir dari kesahajaan dan keberpihakan pada kesejahteraan umum.
Sosiolog Max Regus dalam “Dekade yang Hilang” ( 2012;58-59) mengkritik kerangkeng badut politik:“Maka lahirlah kutukan demokrasi dan dislokasi kekuasaan, takhta disalahtempatkan.” Di tengah dekade yang hilang itu, Max menyerukan tobat politik, untuk mengetuk pintu hati kekuasaan demi membongkar krisis demokrasi ( 2011;46-47). Kuasa sangat dekat dengan kemapanan dan kekayaan, namun hati yang melekat di hati rakyat, memimpin dan mengarahkan pada kepentingan publik, jadi ciri kesegaran kepemimpinan saat ini.
Inilah saatnya untuk memaknai betapa kebenaran harus diperjuangkan, dan ia memang tidak turun dari langit.