(Menyambut Hari Lahir Pancasila dan Bulan Bung Karno)
Oleh: Y. F. Ansy Lema*
Ende, ibu kota Kabupaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno dan Pancasila.
Kepada Cyndi Adams, penulis buku otobiografi “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Presiden pertama Republik Indonesia ini mengaku mendapatkan inspirasi-ilham melahirkan dasar negara Pancasila saat diasingkan penjajah Belanda ke Ende.
Sang Proklamator berujar, “Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon Sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila”.
Selama empat tahun, yakni 1934-1938 diasingkan ke Ende, Bung Karno memiliki banyak waktu untuk merenung dan memikirkan falsafah negara Pancasila.
Ia sadar, Indonesia merdeka membutuhkan dasar negara sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebelum diasingkan ke Ende, Soekarno mengalami masa paling berat dalam perjuangannya. Lawannya bukan penjajah, tetapi datang dari dalam dirinya sendiri. Soekarno nyaris menyerah.
Tekanan psikologis dan fisik di tahanan Sukamiskin membuatnya letih. Soekarno berniat mengundurkan diri dari perjuangan politik kemerdekaan. Rasa letih yang manusiawi, akibat tekanan begitu hebat.
Pada 30 Agustus 1933, Soekarno bahkan menulis surat kepada pemerintah kolonial Belanda untuk membebaskannya.
Katanya: “Aku berjanji untuk selanjutnya mengundurkan diri dari kehidupan politik, dan menjalankan praktik arsitek dan keinsinyiuran. Tidak ada lain yang aku inginkan sekarang daripada kehidupan yang tenang.”
Hatta, sahabat Soekarno melihat apa yang dialami Soekarno memberikan tanggapan atas disposisi batin Soekarno: “Bagi pergerakan jang akan datang, politikus Soekarno soedah mati.” Dalam surat kabar Daulat Ra’jat.
Belanda rupanya menangkap pergulatan batin Soekarno. Ia pun dikirim ke Ende.
Mereka mengira, masyarakat di Ende belum memiliki kesadaran politik perjuangan kemerdekaan.
Di Ende saat itu tengah dibangun jembatan oleh para misionaris Katolik. Di Ende, Insinyur Soekarno bisa mendapatkan kerja dengan membantu membangun jembatan.
Mereka meramalkan, bahwa Ende akan menjadi tempat Soekarno bereinkarnasi dari pejuang kemerdekaan ke insinyur teknik.
Perkiraan mereka salah. Ende justru menjadi daerah paling tepat bagi reinkarnasi perjuangan Soekarno. Tanah Ende punya daya “magis”.
Konteks masyarakat Ende saat itu menyediakan political silence yang mendukung ‘kelahiran baru” Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan bangsa yang lebih militan.
Masa pembuangan Soekarno di Ende justru menjadi blessing in disguise yang menyiapkan Soekarno bagi puncak kemerdekaan dan perumusan Pancasila sebagai dasar-falsafah negara.
Di Ende, Soekarno menempa diri bukan hanya sebagai seorang orator kemerdekaan, tetapi berkembang menjadi konseptor kenegaraan.
Jauh dari teman-temannya pejuang kemerdekaan, para loyalisnya dan hiruk-pikuk pergerakan politik, Bung Karno lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung.
Dengan demikian, buah pemikiran Soekarno tentang Pancasila tidak muncul tiba-tiba.
Pancasila hadir sebagai hasil dari proses perenungan diri Bung Karno, kontemplasi dan refleksinya secara mendalam selama hidup di Ende.
Dikutip dari buku “Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara”, dikisahkan saat di Ende, Bung Karno menjadi lebih banyak merenung dan berpikir daripada sebelumnya.
Ia lebih reflektif-kontemplatif saat di Ende sebab tak banyak aktivitas politik yang bisa ia lakukan di kota kecil nan sunyi yang jauh dari ibu kota dan pusat pergerakan.
Dalam hening, Bung Karno tertarik lebih dalam belajar soal Islam.
Ia juga secara seksama memerhatikan praktek hidup berdampingan secara damai antara penganut Muslim dan umat Katolik lokal di Ende.
Ende memberi pesan, keberagaman bukan beban, melainkan aset yang menyatukan-menguatkan Indonesia.
Di Ende Bung Karno menyaksikan pergaulan akrab masyarakat pesisir pantai yang Islam dan orang gunung yang Katolik.
Tak ada prasangka buruk di antara mereka. Gereja Katolik bahkan dibangun di atas tanah milik keluarga Muslim Ende yang dihibahkan ke misionaris Katolik.
Demikian pula, pembangunan Mesjid juga dibantu umat Katolik.
Berbeda dalam persatuan, bersatu dalam perbedaan, itulah Indonesia, itulah Ende yang Bung Karno lihat pada masa itu.
Sama dengan Bung Karno yang berayahkan Jawa Muslim dengan ibu berlatar belakang Bali Hindu, identitas Indonesia adalah heterogen, pluralis, beragam, bukan seragam.
Di Ende, Bung Karno menjadi lebih relijius dan memaknai pluralisme secara lebih mendalam. Ia sungguh sosok nasionalis-pluralis sejati.
Konon, dikucilkan jauh dari keramaian membuat Bung Karno yang biasa dikerumuni dan dielu-elukan massa saat berpidato, sempat mengalami frustrasi.
Selain “melarikan diri” dengan berkontemplasi, Bung Karno juga mengekspresikan bakat seninya dengan melukis, juga menulis naskah drama dan bermain tonil bersama masyarakat lokal.
Beberapa kali Bung Karno mementaskan drama di Gedung Pertunjukan Katolik Santa Maria Immaculata.
Ia rajin mendatangi kampung-kampung di Ende, menyapa warga dan mengunjungi Danau Kelimutu sehingga lahirlah naskah drama berjudul “Rahasia Kelimutu”.
Ketajaman nalar Bung Karno makin diasah lewat banyak diskusinya dengan para Pastor Katolik berkebangsaan Belanda.
Para Pastor dengan latar belakang pendidikan Eropa yang baik, dan nota bene ahli filsafat dan ilmu humaniora menjadi “sparing-partner” Bung Karno dalam dialektika dan diskursus.
Hidup menyatu dengan warga Muslim dan Katolik, serta menyerap berbagai pemikiran Pastor Katolik mengenai isme-isme besar dunia yang berkembang kala itu, membuat spiritualitas dan intelektualitas Bung Karno makin diperkaya.
Pengasingannya ke Ende tidak mematikan nyala api perjuangan kemerdekaan Indonesia, justru makin memacunya melahirkan gagasan besar mengenai ideologi Pancasila.
Dalam proses perenungannya melahirkan gagasan Pancasila, terdapat satu tempat keramat bernilai historis yang rajin didatangi Bung Karno untuk berkontemplasi.
Tempat itu adalah di bawah pohon Sukun yang tumbuh menghadap langsung ke Pantai Ende.
Kini, di lokasi itu telah dibangun Monumen dan Patung Permenungan Soekarno.
Letak pohon Sukun itu berjarak 700 meter dari kediamannya.
Secara rutin Bung Karno seorang diri datang ke tempat itu setiap Jumat malam.
Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam berada di bawah pohon Sukun itu.
Di tempat itu, Bung Karno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus sebagaimana dikisahkannya.
“Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari. Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung, di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada.”
Pohon Sukun dalam bahasa daerah setempat disebut “Pu’u Pire”, yang artinya “Pohon Pantangan” atau “Pohon Keramat”.
Maksudnya, akar Pancasila menancap kuat di bumi Nusantara dan pantang dicabut dari bumi Nusantara.
Ende, Sa’o Ria Bhewa Pancasila, Rumah Besar Pancasila, sekaligus rahim dan ibu Pancasila.
Bung Karno pernah mengatakan, “Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.”
Ende sungguh kota Pancasila. Saking kuatnya ikatan emosional-historis antara Bung Karno dan Ende, rute jalan yang biasa dilaluinya dari rumah pengasingan milik Haji Abdullah Ambuwaru menuju Gereja Katolik Kristo Regi untuk bertemu sahabatnya Pastor Paroki Ende, Gerardus Huijtink, lalu dinamakan Jalan Soekarno.
Jika tak keliru, hanya di Ende, satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki jalan bernama Soekarno.
Sepanjang era Orde Baru hingga kini (jika tak salah) hanya ada satu nama jalan Soekarno, yaitu di kota Ende. Ende, Soekarno dan Pancasila memang tak bisa dipisahkan.
Ende adalah rumah hening, titik mula yang paling nyaman untuk menghadirkan Nusantara.
Dari Ende, Soekarno melakukan perjalanan spiritual menyelami Nusantara, menggali nilai-nilai Pancasila yang telah menyublim dalam sejarah. Ende adalah Nusantara, Nusantara adalah Ende.
Peringatan Hari Pancasila 1 Juni dan Bulan Bung Karno ini harus menjadi momentum perjuangan menegakkan Pancasila, tidak hanya refleksi, tapi dalam aksi nyata.
Pancasila adalah fondasi, “dasar statis” yang mempersatukan kita sebagai bangsa yang multikultural.
Pada saat yang sama, Pancasila adalah “bintang penuntun” (Leistar) yang mengarahkan agar mencapai tujuan negara.
Pancasila menjadi landasan kokoh moralitas dan haluan bangsa yang visioner-dinamis.
Mari jadikan Pancasila sebagai landasan spiritual etis, agar kemanusiaan, kebangsaan, dan demokrasi kita dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jaga, rawat, dan bela Pancasila. Amalkan dalam kehidupan sehari-hari.*
*Y F Ansy Lema adalah anggota Komisi IV DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan