Maumere, Vox NTT- Mereka berlarian menuju gundukan sampah ketika sebuah truk memasuki kawasan tersebut.
Begitu truk memuntahkan isi perutnya, lima perempuan tersebut langsung bergerak lincah mengais bahan pilihan.
Begitulah rutinitas perempuan-perempuan itu setiap harinya di lokasi Tampang Pembuangan Akhir (TPA) Wairi’i, Desa Kolisia, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT.
Baca: Kisah Guru Honorer di Sikka: Jadi Tukang Tambal Ban hingga Penjahit Masker
Setiap ada truk yang datang mereka harus sigap. Dari sana, mereka ‘menambang’ bahan pilihan untuk dijual kembali.
Tentu saja ada harapan di balik sampah yang diantar truk-truk ke sana, terselip barang yang mereka cari.
Meski tak dipungkiri, kadang mereka harus kecewa dan mengelus dada sambil menunggu truk berikutnya datang.
TPA Wairi’i adalah kawasan berbukit di sebelah barat Kota Maumere. Tempat menampung semua sampah dari Kota Maumere. Ada 3 lokasi timbunan sampah di sana.
Kurang lebih ada belasan orang yang rutin memulung sampah di TPA Wairi’i. Mayoritasnya adalah perempuan. Hanya saja, hari itu, Sabtu (30/05/2020), hanya tampak 5 orang di lokasi.
Untuk Keluarga
“Kami mulai kerja disini sejak 2002,” ungkap Florensia Nita (58) tahun.
Florensia punya 5 anak. Namun semuanya sudah berkeluarga. Sejak anak-anak masih bujang pun Nita sudah memulung sampah.
Suaminya, meninggal 25 tahun lalu. Dari sampah lah ia menghidupi anak-anaknya.
“Mereka semua tidak selesai sekolah. Tapi saya bersyukur mereka sudah berkeluarga,” ujarnya.
Demikian juga dengan Wisrance (38). Ia harus bekerja membantu suaminya yang saban hari bekerja sebagai tukang.
“Kami punya anak 1 orang tetapi sudah besar dan pergi merantau. Sekarang kami ada pelihara 1 orang anak angkat. Masih SD,” ungkapnya.
Ada pula Lusia Meti (34). Ia memulung sampah bersama ibunya, Yustina Lanu (64) yang sudah renta.
Suaminya hanya seorang buruh harian. Sementara ada 5 orang yang harus makan dan tetap hidup. Apalagi ada 2 anak mereka yang masih duduk di bangku SD.
Mereka harus bergelut dengan sampah demi menghidupi diri dan keluarga.
Pemulung memang bukan profesi yang diwarisi secara kultural dalam masyarakat Flores.
Situasi lah yang memaksa mereka harus bertarung di antara bukit-bukit sampah.
“Kita hidup ini semua harus pakai uang, kalau tidak ada uang kami mau bagaimana,” tandas Lusia.
Meski kesehariannya bergelut dengan sampah, mereka tak berkecil hati. Keluarga atau pun tetangga tak mempersoalkan itu.
“Aman-aman saja. Tidak ada masalah. Beruntung kami atau anak-anak juga jarang sakit walaupun kami kerja di tempat kotor begini,” tambah Wisrance.
Setiap pagi, mereka berangkat dari Watugo, Waturia, tempat tinggal mereka menempuh jarak beberapa kilometer dengan berjalan kaki.
Terkadang mereka sempatkan membawa bekal. Namun lebih sering mereka menahan lapar.
Yang menarik adalah pengamanan diri. Selain peralatan seperti karung dan sepotong kayu, mereka melengkapi diri dengan busana khusus.
Sepatu tua dan kaus kaki setinggi betis, sarung tangan, kerudung dan topi. Semuanya untuk menjaga diri mereka. Barang-barang tersebut berasal dari TPA, lantas dicuci dan dibersihkan untuk dipakai saat bekerja mencari sampah.
Pendapatan Kecil
Untuk sementara mereka hanya mengumpulkan gelas dan botol air mineral, botol kaca, serta beberapa logal seperti besi, aluminium dan tembaga.
Pasalnya, jenis barang tersebut lah yang dibeli pengepul. Untuk menjualnya pun mereka tak harus ke kota atau membawa pulangnya ke rumah.
Salah satu pengepul membuka tempat penampungan di lokasi TPA. Sampah disimpan di sana, selanjutnya akan ditimbang setiap akhir pekan.
“Tidak banyak.Tetapi cukup untuk makan minum,” ujar Lusia.
Dulunya, mereka mendapatkan banyak sampah yang masih bisa dijual. Belakangan, hasil memulung menurun.
Diduga hal ini dikarenakan bisnis barang bekas menjamur di Maumere. Banyak pengepul membeli langsung dari rumah-rumah atau pun gang. Sampah sudah disortir dari rumah tangga sebelum diangkut ke TPA.
Meski demikian, mereka tak berpikir untuk berhenti memulung sampah.
Baca: Anas Undik, Janda yang Bertahan Hidup di Tengah Gempuran Kemiskinan
Itulah pekerjaan yang mereka geluti sekian lama. Agak sulit bagi mereka untuk menemukan pekerjaan baru apalagi rata-rata mereka tak tamat SD.
Apapun kondisinya mereka akan terus berjuang demi keluarga.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Ardy Abba