Borong, Vox NTT-Hingga kini mutasi Melkior Karo, Plt Kepala Sekolah SD Inpres Luwuk ke SDN Wela Pandang di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) masih menjadi tanda tanya publik.
Berbagai spekulasi pun muncul hingga diduga turut melibatkan orang besar di kabupaten itu.
Dilansir dari sindonews, 19 Februari 2020 lalu, berita pindahnya Plt Kepala Sekolah SD Inpres Luwuk ini mengejutkan, sebab selain sedang dalam persiapan menghadap ujian naik kelas dan UAS, SK mutasi itu juga diberikan bupati secara mendadak kepada guru yang tinggal 10 bulan akan pensiun itu.
Kabar teranyar, Guru Melkior dimutasi diduga berhubungan dengan sikapnya menolak kehadiran tambang di Luwuk, kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur.
Beberapa kali media menghubungi Melkior melalui telpon seluler, namun guru asal Ende itu tidak mengangkatnya.
Din, istri Melkior yang juga mengajar di SD Inpres Luwuk, enggan memberikan banyak informasi dan komentar. Namun ia mengaku cukup kaget dengan mutasi suaminya.
“Bapa mendapat SK yang diterbit tanggal 5 Februari 2020. Bapa akan berangkat tanggal 20 Februari ini,” kata Ibu Din.
Dengan pindahnya Plt Kepala Sekolah, maka saat ini SD Inpres Luwuk tanpa kepala sekolah dan hanya ada tiga guru (2 guru honorer dan satu PNS) untuk mendampingi kelas 1 sampai kelas 6 dengan total siswa 55 orang.
Ditanya tentang persiapan ujian naik kelas dan UAS, Ibu Din mengaku bingung. “Saya tidak tahu lagi bagaimana nasib mereka,” tuturnya.
Mutasinya guru Melkior Karo membuat warga sedih dan kecewa. Sebab, pemerintah terkesan kurang memihak kepada hak didik anak-anak di SDI Luwuk.
Bone Utu, tokoh masyarakat Luwuk, menyayangkan SK yang memindahkan Plt Kepsek Melkior Karo tersebut. Pada kesempatan kunjungan Camat Lamba Leda beberapa hari lalu, Utu menyampaikan keberatan atas SK tersebut kepada camat. Utu mempertanyakan keterkaitan SK tersebut dengan sikap guru Melkior yang menolak pabrik semen dan tambang.
“Kami cukup kaget karena tiba-tiba guru yang sudah lama mengabdi di Luwuk ini tiba-tiba dipindahkan. Kami mendengar, dia dicap sebagai provokator tolak tambang. Jangan-jangan karena itu dia dipindahkan,” tutur Utu sebagaimana dilansir sindonews.
Arnoldus Nefman, warga Luwuk, juga menduga SK yang mendadak itu ada kaitannya dengan sikap keras guru Melkior yang menolak kehadiran pabrik semen di Luwuk.
Pasalnya, saat Bupati Matim Agas Andreas datang ke Luwuk bersama perwakilan PT Istindo Mitra Manggarai pada 21 Januari lalu, bupati meminta warga agar merelakan lahan sawahnya untuk dibangun pabrik semen. Ketika itu, kata Nefman, guru Melkior menolak dengan alasan pencemaran lingkungan.
“Saya duga ada kaitan dengan sikap itu. Saya sangat sedih ketika mendengar dia dipindahkan,” tutur Nefman saat dihubungi.
Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Matim, Yustina Ngidu belum berkomentar banyak. Ia malah meminta wartawan untuk konfirmasi ke dinas PPO.
“Sore nana, konfir ke dinas PPO nana. Tabe,” ucap Yustina saat dihubungi VoxNtt.com, Rabu (13/5/2020) lalu.
Semetara Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Basilius Teto mengatakan mutasinya Melkior lantaran SDN Wela Pandang tengah membutuhkan guru.
“Memang dia dipindahkan karena kebutuhan. Pegawai negeri ini dipindahkan ke mana saja itu siap. Karena itu sumpah kita,” kata Basilius saat ditemui VoxNtt.com di Lehong, Rabu (13/5/2020).
“Jadi mungkin dia dipindahkan ke sana karena kebutuhan lembaga,” tambahnya.
Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton menjelaskan beberapa alasan untuk dimutasi, yakni karena diusulkan, direkomendasikan dan pertimbangan pembina kepegawaian.
Terkait informasi bahwa Melkior dipindahkan lantaran dicap pemerintah sebagai provokator yang menolak pabrik semen, Darius menilai hal itu perlu dipastikan. Oleh karenanya, lanjut Darius, pihak Melkior bisa melaporkan kasus ini ke Ombusdman NTT agar ditindaklanjuti.
Langgar Hukum
Sementara pakar sekaligus praktisi hukum, Edi Hardum
mencium aroma konspirasi di balik mutasi guru Melkior. Ia juga melihat potensi pelanggaran hukum yang dilakukan Bupati Ande Agas.
“Agas tidak memberi alasan yang jelas soal pemindahan tugas mengajarnya Melkior,” terang Edi.
Edi sendiri menilai alasan kebutuhan yang disampaikan Kadis PPO sangat janggal. Pasalnya, di Luwuk sendiri sedang kekurangan guru.
Sebagaimana dugaan tokoh masyarakat, alasan pemindahan itu menurut dugaan Edi, karena Melkior menyampaikan keberatan dengan rencana Agas membangun pabrik semen di Luwuk dan rencana menambang batu gamping sebagai bahan batu semen di Lengko Lolok.
Menurut alumnus Fisipol dan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta itu, Agas seharusnya terbuka kepada masyarakat terutama kepada Melkior sendiri alasan pemindahan tersebut.
“Kalau Agas tidak terbuka maka wajarlah masyarakat menduga keras bahwa pemindahan itu terkait sikap penolakan Melkior terkait rencana Agas membangun pabrik semen di Luwuk dan tambang batu gamping di Lengko Lolok,” ungkap anggota Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (Iska) tersebut.
Dalam kaca mata hukum, Edi menilai keputusan Bupati Agas melakukan pemindahan guru dengan alasan yang tidak jelas melanggar sedikitnya dua undang-undang.
Pertama, melanggar Pasal 3 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi.
Dalam pasal tersebut disebutkan asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi kepastian hukum, tertib penyelenggaran negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalisme dan akuntabilitas.
“Yang saya tekankan adalah asa keterbukaan dan akuntabilitas. Pemindahan Melkior sungguh tak terbuka dan akuntabel. Jadi sudah jelas melanggar UU ini,” kata alumnus S2 Fakultas Hukum UGM Yogyakarta ini.
Kedua, Agas melanggar Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi ‘asas umum pemerintahan yang baik meliputi kepastian hukum, pemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik’.
Dari bunyi pasal ini, alasan mutasi guru Melkior yang tak jelas tersebut, tidak melaksanakan kepastian hukum, tidak melaksanakan asas kemanfaatan yakni kemanfaatkan bagi masyarakat Luwuk. Selain itu, Bupati Agas diduga menyalahgunakan wewenang, tidak terbuka, dan tidak melakukan pelayanan yang baik sebagai bupati.
“Apalagi berdasarkan informasi yang saya dapat, Agas bertindak seperti calo dalam mengurus rencana pabrik semen itu,” kata dia.
Edi juga berharap DPRD Matim dan DPRD Propinsi NTT menjalankan fungsi kontrolnya secara maksimal khususnya terkait persoalan hukum yang menimpa rakyat Matim
“DPRD Matim dan DPRD NTT jangan maka gaji buta saja. Harus peka terhadap tindakan melanggar hukum dari para eksekutif seperti Gubernur dan para wali kota dan bupati,” tegas Edi.
Penulis: Sandy Hayon