Oleh: Defri Ngo
Gerorge Floyd’s, seorang pria kulit hitam tewas setelah dijepit oleh tiga petugas kepolisian Minneapolis pada 25 Mei 2020.
Disinyalir, kematian Floyd’s bermula dari tuduhan seorang karyawan terkait pemalsuan uang yang digunakan untuk membeli sebungkus rokok dari Cup Foods.
Tiga orang polisi di Minneapolis lekas datang dan menginterogasi Floyd’s terkait tuduhan tersebut. Mereka memborgol dan memasukan Floyd’s ke dalam mobil patroli.
Beberapa menit berselang, Chauvin seorang dari ketiga petugas kepolisian menarik Floyd’s keluar dari sisi penumpang dan menempatkan lutut kirinya pada leher Floyd’s. Beberapa kali Floyd’s berteriak minta tolong, tetapi Chauvin sama sekali tidak mendengarkan suaranya.
Selama delapan menit empat puluh enam detik, Chauvin melakukan aksinya. Di bawah lutut Chauvin, Floyd’s menghebuskan napas terakhirnya. Ia tidak mati dengan senjata, tetapi dengan cara yang terlampau biadab oleh oknum polisi.
Setelah kematian Floyd’s, gelombang protes terhadap pemerintahan Amerika Serikat, khususnya pihak kepolisian terus menerus digalangkan massa. Dari berbagai negara, massa menyumbangkan suara untuk menegakan keadilan dan penghapusan rasisme di Amerika Serikat. Massa di Slandia Baru, London dan Australia tampak ramai di jalanan dan meyuarakan protes terkait kematian Floyd’s.
Belasungkawa serupa terjadi di Indonesia dengan melakukan protes lewat media sosial. Masyarakat Indonesia berusaha mendudukkan kembali persoalan rasisme yang terjadi atas Floyd’s dan warga kulit hitam di Papua yang kerap mendapat perlakuan serupa dari pihak kepolisian.
Terakhir, rasisme terhadap masyarakat Papua terjadi pada 16 Agustus 2019 bertepat di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Sejumlah Ormas meneriakan makian dan melemparkan batu ke dalam asrama.
Protes kemudian meluap di sejumlah lokasi, seperti di Jayapura, Manokwari dan Sorong pada 19 Agustus 2019, tepat dua hari setelah merayakan ulang tahun kemerdekaan Indonesia (tirto.id, diakses pada 05 Juni 2020).
Rentetan tindak kekerasan, intimidasi dan kematian yang diderita masyarakat kulit hitam meniup kembali persoalan mengenai rasisme. Dalam sejumlah persoalan, aparat kepolisian kerap menjadi subyek utama yang mengakibatkan tindakan rasis. Polisi yang amburadul dan tidak memiliki kepekaan humanistik telah menyebabkan terjadinya rasisme.
Rasisime dan Polisi Amburadul
Rasisme berasal dari kata ras yang berarti suku atau keturunan. Sedangkan imbuhan isme dimengerti sebagai paham atau ideologi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rasisme merupakan turunan dari kata rasialisme yang berarti prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda.
Oxford Dictionary Online secara lebih padat mengartikan rasisme sebagai perlakuan tidak adil terhadap orang-orang yang berasal dari ras yang berbeda; perlakuan kekerasan terhadap mereka.
Mengikuti defenisi dalam Oxford Dictionary Online, rasisme kemudian dipahamai sebagai tindakan mengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan keturunan dan ras yang melekat di dalam diri mereka.
Rasisme lahir sebagai bentuk konstruksi sosial dan pandangan yang destruktif atas keberadaan suatu kelompok masyarakat. Perlakuan rasisme menjadi indikasi yang menggambarkan lemahnya penghayatan atas nilai-nilai pluralisme.
Sekelompok pribadi dan masyarakat menolak keberadaan kelompok masyarakat lain untuk hadir dan mengekspresikan diri dalam lingkungan hidupnya. Eksklusivisme telah menutup diri terhadap nilai-nilai yang di bawah oleh kelompok masyarakat lain.
Rasisme, karenanya adalah nama lain dari intoleransi yang mengarah pada penolakan yang masif terhadap keberadaan suatu kelompok. Paul Ricouer, filsuf hermeneutik berkebangsaan Prancis menyebut intoleransi sebagai “sesuatu yang tidak dapat ditenggang” (Feliks Baghi, 2012: 417).
Ricouer menulis, “intoleransi telah menjadi hal yang tidak dapat ditenggang hanya apabila diperbandingkan dengan suatu keadaan budaya di mana […..], pribadi tersebut telah dipengaruhi oleh sejumlah signifikan rezim politik yang ditopang oleh opini publik yang tercerahkan (ibid).”
Pernyataan Ricouer hendak menegaskan bahwa intoleransi sesungguhnya menjadi konstruksi politis yang dibangun oleh suatu rezim tertentu. Dalam diskursus tentang intoleransi, sebuah rezim cenderung dipengaruhi oleh common sense publik dalam bentuk opini, maupun propaganda langsung yang menyatakan penolakan terhadap suatu kelompok masyarakat.
Horison dengan persoalan rasisme, terbentuk pula rantai ekuivalen antara pemerintah yang berkuasa, common sense publik dan peran serta pihak keamanan (kepolisian). Sejumlah persoalan rasisme telah menegaskan bahwa pihak kepolisian cenderung menjadi subyek utama terjadinya segregasi, intimidasi dan kekerasan yang berakibat pada kematian.
Berhadapan dengan korban, polisi tampak bertindak amburadul dan tidak mengikuti prosedur identifikasi yang jelas. Pandangan yang timpang terhadap ras kulit hitam sebagai kelas bawah serempak menegaskan keabsahan tindakan yang mereka lakukan.
Sebelum intimidasi yang dilakukan terhadap Floyd’s, kepolisian Amerika Serikat juga menangkap dan menembak Arianee McCree, seorang pemuda kulit hitam pada 23 November 2019. News One mencatat pembunuhan atas masyarakat kulit hitam oleh polisi dengan malprosedur dari akhir 2019 sampai Mei 2020 adalah sebanyak 80 kasus (Katadata.co.id, diakses pada 05 Juni 2020).
Dalam keseluruhan persoalan rasisme, anggota kepolisian cenderung mengedepankan emosionalitas dan sentimen pribadi, serta tidak bekerja atas prosedur yang jelas. Kerja kepolisian tampak amburadul. Gambaran ini akan mengarahkan publik pada lemahnya kinerja kerja pihak kepolisian atas sejumlah persoalan.
Setelah Kematian Floyd’s
George Floyd’s telah tewas di bawah lutut Derek Chauvin, seorang polisi kulit putih di Minneapolis. Ironis dan memilukan. Kematian Floyd’s menyiarkan lemahnya penghayatan atas nilai-nilai pluralisme dan penghargaan atas aspek kemanusiaan.
Sejumlah protes yang dilakukan di Inggris, Slandia Baru dan Australia merupakan bukti kepedulian atas Floyd’s sebagai sosok pribadi yang bermartabat dan patut dihargai. Tegasnya, Floyd’s dan semua masyarakat kulit hitam harus dilindungi karena mereka adalah satu dan sama dengan masyarakat kulit putih.
Kematian Floyd’s menjadi catatan penting yang harus dipelajari oleh semua negara. Rasisme sebagai suatu persoalan serius dalam kehidupan masyarakat sudah seharusnya dihilangkan.
Sebaliknya, toleransi dan penghargaan atas martabat pribadi dan kelompok perlu ditekankan dalam keseharian hidup. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kerja sama yang intens antara pemerintah dan masyarakat guna membangun kembali toleransi dan penghargaan atas pluralisme.
Sejumlah kerja sama dapat dilakukan antara lain, pertama masyarakat dan pemerintah harus berbesar hati untuk menerima keberagaman bukan sebagai musuh, tetapi menjadi bagian integral yang memperkaya kehidupan dalam negara.
Pertumbuhan moral pribadi perlu diimbangi dengan upaya menempatkan dan menerima setiap perbedaan sebagai bagian dari kehidupan bersama.
Selanjutnya, guna meneruskan kerja sama pada tahap pertama, maka pada tahap kedua pemerintah dan pihak kepolisian harus mampu bekerja sama untuk mengontrol sejumlah persoalan dalam kehidupan bersama.
Pemerintah dapat memberikan sanksi dan tindakan hukum yang tegas jika pihak kepolisian cenderung bekerja secara amburadul. Sebaliknya, pihak kepolisian dituntut untuk bekerja sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, bukan sebaliknya tunduk di bawah emosionalitas dan sensitivitas pribadinya.*