(Kritik Kekuasaan dalam Perspektif Bung Hatta)
Oleh: Louis Jawa
Kepala Sekolah SMAK St Gregorius Reo, Manggarai
“Demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarki akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator.”
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita: Idealisme dan Realitas Serta Unsur yang memperkuatnya
Indonesia adalah sebuah proses panjang entitas kebangsaan, mulai dari runtuhnya kekuasaan lokal nusantara, pemutlakan kekuasaan Negara oleh VOC, eksistensi Hindia Belanda dan semangat kebangkitan nasional hingga kemerdekaan sebuah bangsa yang utuh dalam wadah Nation State.
Indonesia, selain sebagai sebuah nama pada akar historis dan perasaan kolektif, juga adalah sebuah intrik kehidupan yang tidak pernah usai, sebuah legasi kekuasaan yang penuh dengan sejuta satu kepentingan, potret legasi yang seringkali monolitik, eksklusif dan kadang sangat tragis.
Indonesia, tidak saja tentang Soekarno, atau Hatta, atau Soedirman dan sederet nama besar dalam sejarah bangsa ini. Indonesia juga adalah tentang masa sebelum kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan, padanya kemerdekaan hanyalah sebuah titik untuk memulai perjuangan yang sesungguhnya.
Detik-detik akhir kehidupan Presiden Soekarno, atau detik-detik menegangkan lambaian tangan perpisahan Presiden Abdulrahman Wahid, membenturkan sebuah tragedi kekuasaan, intrik kepentingan dan ambisi kekuasaan.
Di balik tragedi itu, Indonesia memetik jiwa besar tokoh nasional kita, terus merawat Indonesia dengan mengorbankan harga diri demi menghindari pertumpahan darah sesama anak bangsa. Tesis sederhana yang bisa dibangun dalam tulisan ini adalah merawat Indonesia dalam politik hati nurani dalam pelbagai lapisan sejarah kepentingan antar golongan dan idealisme politik saat ini.
Etimologi Indonesia dan Ilmuwan
Indonesia, kini yang dikenal dan dikenang, dan dicintai, ternyata memiliki sebuah catatan etimologis dari dunia penelitian para ilmuwan. Ada dialektika pembahasaan dan penamaan dalam setiap penemuan penting pada ruang dan tempat, di bumi Nusantara ini. Wikipedia membuka sejarah penamaan itu (http//wikipedia//Indonesia.diakses pada 2 Juni 2020).
Nama Indonesia itu sendiri bermula dari diskursus majalah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) pada tahun 1847 di Singapura. Majalah ini dikelola oleh James Richardson Logan (1819–1869), warga Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh.
Pada tahun 1849 seorang ahli etnologi asal Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813–1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA serta menggagas nama Malayunesia dan Indunesia untuk membedakannya dari suku Indian. Logan dalam The Ethnology of the Indian Archipelago (“Etnologi dari Kepulauan Hindia”) untuk pertama kalinya menggunakan nama Indonesia (tercetak pada halaman 254).
Logan melengkapi pandangan George Earl yang lebih memilih nama Malayunesia ketimbang Indunesia. Logan menggantikan alphabet u dengan o, maka jadilah INDONESIA. Adolf Bastian (1826–1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (“Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu”).
Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda meski ia hanya mengambil istilah magis ini dari tulisan Logan. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) adalah orang Indonesia pertama yang menggunakan istilah “Indonesia”.
Tulisan demi tulisan, ucapan demi ucapan, membentuk sebuah dialektika kebangsaan dari sebuah nama, yang telah diletakkan oleh para ilmuwan dalam sejumlah penelitiannya. Indonesia itu lantas menjadi sebuah ingatan kolektif yang melembaga dan mengakar dalam sebuah kedaulatan kenegaraan, yang diakui oleh dunia internasional dengan tata hukumnya.
Merawat Hati Bangsa
Parakitri T. Simbolon, wartawan senior KOMPAS menguraikan kesadaran berbangsa dalam buku pamungkasnya Menjadi Indonesia (1995, 792 halaman), sebuah catatan historis yang mengagumkan. Ada tiga hal menarik yang saya temukan dalam ulasan Simbolon.
Pertama, perjuangan melawan penindasan atau penjajahan bangsa kolonial, lahir dari sebuah cara berpikir akan kesetaraan dalam kehidupan. Tidak ada manusia dengan kelas-kelasnya, lantas yang tertindas dan terjajah, harus dihargai dan dimahkotai hak asasi dan hak negaranya.
Kedua, melahirkan sebuah bangsa, tidak hanya sekali jadi. Ia lahir dari darah dan keringat, dari sebuah tanda mata kematian untuk tanah yang dipersatukan oleh kekuasaan kerajaan di masa lalu. Bangsa yang beradab tidak saja bangsa yang memamerkan perkembangan kemajuannya, melainkan bangsa yang bisa bangkit dari keterpurukan dan terus berlangkah maju ke masa depan, pada pijakan masa kini.
Ketiga, pemimpin berganti pemimpin, namun cita-cita akan sebuah bangsa yang adil beradab, tetap menjadi idelisme dan realitas politik dewasa ini. Tidak ada kekuasaan yang absolut, eksklusif dan tiran. Ia mesti diatur dalam tata hukum kenegaraan yang baku, agar dapat dikontrol dan tetap dalam sebuah keseimbangan.
Sejarah dwitunggal Soekarno-Hatta terpahat pada godam antara kultus tiran diktator dan idealisme demokrasi. Soekarno di mata Hatta adalah seorang pemimpin karismatis dan pemberani, namun bagi Hatta, kekaguman pada pidato dan penampilan lahiriah belumlah cukup untuk memajukan bangsa Indonesia.
Untuk ini Bung Hatta menulis ,“ Diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tak lama umurnya. Sebab itu pula, sistem yang dilahirkan Soekarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya akan roboh seperti rumah kartu.”
Lebih tajam dalam bukunya Demokrasi Kita: Idealisme dan Realitas Serta Unsur yang memperkuatnya, Hatta menegaskan kritiknya: “Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya: diktator.”
Pembuangan demi pembuangan sebagai tahanan politik adalah jejak Soekarno dan Hatta. Keduanya berbeda bahkan memilih untuk memaknai kekuasaan dengan pergi dari kekuasaan, ketika Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden (1956).
Intrik kekuasaan itu pun terus berlanjut ketika Soekarno mengekang kebebasan Hatta, sebuah paranoid kekuasaan pada sahabat seperjuangan, yang kelak mengurung dirinya oleh kekuasaan Soeharto.
Dalam tayangan Melawan Lupa: Jiwa Merdeka Soekarno (MetroTv 6/1/2020) dan Saksi Hidup: Presiden Indonesia (TransTV 23/8/2018), kisah kesendirian dan kesepian hingga kematian Soekarno dilukiskan dengan mengharukan.
Soeharto pun lengser dari kursi kekuasaan, Habibie melanjutkan dan kemudian memilih mundur di tengah kemenangan demokrasi Negara Timor Leste. Abdulrahman Wahid, juga dilengserkan di tengah masa jabatannya oleh sahabat-sahabatnya yang menjamin kursinya.
Kisah ini pun sangat menarik, ketika Gus Dur, sapaan Wahid, memilih untuk tidak memperkeruh kekuasaan dengan menggalang massa serta memantik reaksi anarkis. Seorang negarawan sejati.
Pada sebuah tayangan KickAndy di stasiun MetroTV, Gus Dur tetap jenaka dan menerima takdir politik tanpa pertumpahan darah dan kekacauan sesama anak bangsa bernama Indonesia.
Bahtera Indonesia itu pun kini sedang diarungi oleh rakyat, dalam keberagaman kisahnya. Presiden Joko Widodo, menghadapi deru gelombang kritik dan isu pemakzulan yang bertubi-tubi. Kekuasaan tetaplah kekuasaan, ketika Indonesia tidak hanya menjadi sebuah nama atau gelar, melainkan sebagai nafas hidup yang harus dipertahankan.