Ruteng, Vox NTT-Ternak sapi ternyata membawa berkah bagi Yosualdus Jurdin (51). Setelah banting stir kerja dari pertambangan mangan, warga asal Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT itu mulai merambah ke jalan lain untuk mencari nafkah.
Dus, begitu warga setempat akrab menyapanya, berkisah, ia mulai bekerja di PT Arumbai Mangan Bekti sejak tahun 1999.
Di perusahaan yang beraktivitas mengeruk mangan di wilayah Lingko Lolok dan Sirise itu, Dus bekerja sebagai Satpam basecamp karyawan.
Kala itu, ia diberi upah 150.000 rupiah setiap bulannya. Pria berbadan kurus itu mengaku cukup dengan upah tersebut. Sebab, saat bekerja sebagai Satpam ia masih bujang, belum menikah.
Dus hanya bertahan satu tahun bekerja sebagai penjaga basecamp itu. Pada tahun 2000, ia hendak dipindahkan ke Pantai Ketebe, Desa Robek, Kecamatan Reok Kabupaten Manggarai.
“Saya mau dipindahkan ke Pantai Ketebe. Mereka (PT Arumbai) tidak tawar naik gaji. Gajinya masih seperti itu (Rp 150.000/bulan),” kisah Dus saat ditemui sejumlah awak media di kediamannya, Sabtu (13/06/2020).
Kala itu, pikiran Dus sudah berkecamuk akan nasib masa depannya. Bagi dia, upah 150.000 rupiah setiap bulannya sudah tidak cukup lagi untuk menopang kehidupan keluarga. Apalagi, pada tahun 2000 ia mulai menata kehidupan barunya dengan menikahi Elisabet Dei (41). Beban hidupnya semakin besar.
Sebab itu, ia memilih keluar dan merambah jalan lain untuk mencari nafkah. Berharap ada pendapatan lebih untuk menghidupi istrinya. Dus kemudian bekerja sebagai petani sawah di Dampek, Desa Satar Padut, Kecamatan Lamba Leda.
“Saya urus sawah di Dampek seperempat hektare. Panen dua kali setahun. Setiap kali panen, hasilnya 12 karung,” terangnya.
Hasil kerja kerasnya cukup untuk sekadar kebutuhan pangan keluarga, terutama beras. Sembari sebagai petani sawah, ia serius mengurus sapinya yang hanya satu ekor.
Kendati hanya berjumlah satu ekor, Dus lantas tidak putus asa. Ia serius, tekun, dan fokus mengurus sapi itu.
Pohon lamtoro yang banyak tumbuh di wilayah Lingko Lolok dipandangnya sebagai potensi pakan ternak sapi jangka panjang.
Dalam sehari, Dus dua kali mengontrol sapinya. Hawa Lingko Lolok yang panas memaksa Dus membawa air untuk sapinya setiap hari.
Rutinitas ini lantas dijalankan tanpa tekanan, tidak seperti menjadi Satpam di perusahaan mangan yang kerap dikontrol atasan.
“Saya kasih daun lamtoro setiap pagi dan sore. Lamtoro saya ambil dari lahan sendiri, meski setiap lahan warga pasti ada tumbuh daun lamtoro. Sedangkan air untuk sapi saya ambil dari sumur,” terang pria dua anak itu.
“Sistem piaranya terkadang dilepas. Tetapi kalau musim tanam, sapi harus diikat sudah,” tambah dia.
Sapi Bawa Berkah
Keluar dari perusahaan mangan bukan kutukan bagi Dus. Serius bertani dan beternak membawa berkah bagi keluarganya.
Dus mengaku, pada tahun 2000 ia mulai memelihara satu ekor sapi betina. Selama lima tahun berturut-turut, sapi itu beranak. Totalnya 5 ekor dan semuanya betina. Dari satu induk sapi, lima tahun berikutnya menjadi 6 induk.
Sapinya terus berkembangbiak. Pada tahun 2018, sapinya betambah menjadi 10 induk dan 4 anak.
Di tahun ini, ia memutuskan untuk mulai memanen. Ia kemudian menjualnya dalam kisaran harga 3,5 juta rupiah sampai 9 juta rupiah. Puluhan juta Dus dapatkan dari hasil penjualan sapi-sapi itu.
Fokus, kerja keras, dan keuletan Dus memelihara sapi membawa berkah bagi kehidupan keluarganya.
Dari hasil penjual sapi, ia bisa menghidupi ekonomi keluarga dan membiayai anaknya yang sekolah.
Bahkan, ia bisa membangun rumah permanen 7×13 meter. Terpantau, rumah Dus salah satu yang megah di Lingko Lolok. Meski memang rumahnya belum diplaster.
“Pesan saya, untuk urus peternakan kita harus fokus dan tekun,” kata Dus.
Setelah merasakan manfaat dari penjualan sapi, ia kemudian berpandangan bahwa peternakan dan pertanian sangat menjanjikan di tanah Lingko Lolok. Asal saja bisa dijalankan secara fokus dan tekun.
Pantauan VoxNtt.com, di Kampung Lingko Lolok banyak sapi di berbagai hutan lamtoro. Tidak hanya sapi, ternak lain yang banyak ditemukan ialah kambing.
Penulis: Ardy Abba