Oleh: Anselmus Sahan
Dosen Universitas Timor, Kefamenanu, Timor, NTT
16 Juni 2000 adalah hari lahir Universitas Timor (Unimor) di Kota Kefamenanu, ibukota Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Itu dituangkan di dalam surat keputusan (SK) resmi Yayasan Pendidikan Cendana Wangi (Sandinawa) Nomor 01/P/YS/VI/2000 tentang Pendirian Unimor di Kefamenanu tertanggal 16 Juni 2000.
SK ini sebenarnya sebagai realisasi dari diterbitkannya SK Mendiknas Nomor: 67/D/O/2000 tentang Pendirian Universitas Timor di Kefamenanu dan Pemberian/Pemindahan Status Terdaftar Kepada 11 (sebelas) Program Studi Untuk Jenjang Pendidikan Program S1 di Lingkungan Unimor di Kefamenanu, tertanggal 6 Juni 2000.
Sebagai suatu cara untuk mengabadikan tanggal “keramat” ini, maka setiap tahun diperingati sebagai hari lahirnya (Dies Natalis) Unimor pada tanggal 16 Juni.
Apa yang saya ulas di dalam artikel ini bersumber pada buku Sejarah Lahirnya Universitas Timor (Unimor), yang diterbitkan oleh Penerbit Universitas Negeri Malang tahun 2014. Buku cetakan I setebal 144 halaman ini dieditori oleh almarhum Ananias Sili Dilen dan saya sendiri.
Sandinawa dan Unimor
Unimor sesungguhnya terlahir dari rahim Universitas Timor Timur (Untim) di Dili, Timor Leste. Ia lahir sebagai akibat langsung dari kemenangan kubu pro kemerdekaan Timor Leste tahun 1999. Bersama sejumlah dosen dan karyawan setianya, Untim dipindahkan ke Kupang hingga menyelesaikan wisuda pamungkasnya Maret 2000.
Selama berada di Kupang, para dosen dan karyawan setianya, yang dipimpin Rektor I Unimor alm. P. Theo Tidja Balella, SVD, SH, MH menggagas pengubahan nama baru universitas untuk menggantikan nama Untim, yang secara geopolitis tidak relevan lagi untuk dihidupkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, sebelum nama Unimor dibedah, tim studi kelayakan Unimor sepakat membahas nama yayasan yang hendak melindunginya.
Menurut draft awal, nama yayasan semula dikonsepsi sebagai “Yayasan Pendidikan Wehiku-Wehale (Yapenwale)”. Dalam diskusi dengan DPRD TTU, Drs. Hendrikus Sakunab, Ketua DPRD Kabupaten TTU kala itu mengusulkan “Mutis” sedangkan utusan dari Belu “Liurai Sonbai”.
Sedangkan Bupati Anton Amaunut mengusulkan “Cendana” karena itu adalah ciri khas orang Timor. Untuk mempertegasnya, tokoh pendiri Bala Ledjepen mengusulkan tambahan kata “Wangi” di belakang kata “Cendana”, sehingga calon nama yayasan yang lengkap adalah “Cendana Wangi”.
Ternyata, wewangian cendana mengharumkan nama Unimor sebagai sebuah perguruan tinggi di wilayah perbatasan. Atas dasar keharuman cendana, peserta diskusi menyepakati bahwa nama yang paling cocok bagi yayasan yang bertindak sebagai Badan Penyelenggara Unimor adalah Yayasan Pendidikan Cendana Wangi (Sandinawa).
Nama ini dipandang sangat relevan antara nama Timor dan nama Cendana, yang merupakan kekhasan pulau Timor sebagai penghasil cendana.
Apabila dilihat dari sudut frasa, yayasan ini termasuk cukup panjang, sehingga akan lebih baik dibuatkan singkatan atau akronim yang mudah disebut atau diingat. Berkaitan dengan singkatan atau akronim ini, almarhum Thomas Kada (memiliki indra keenam) berhasil menerawang dan dengan yakin menyatakan bahwa kata Sandinawa berasal dari bahasa Sangskerta yang berarti “rahmat turun tiba-tiba” atau “rahmat yang datang dengan tidak terduga”.
Dengan informasi yang sangat sesuai dengan keperintisan Unimor, akronim yayasan ini diterima sebagai akronim resmi Yayasan Pendidikan Cendana Wangi, yaitu Sandinawa.
Pekerjaan Tim terus berlanjut. Salah satu pekerjaan yang tidak kalah pentingnya adalah pengadaan atribut berupa logo dan arti. Logo itu juga hasil penerawangan almarhum Thomas Kada.
Menurut dia, logo yayasan berbentuk segitiga yang pada bagian dasarnya tertulis Sandinawa dan pada masing-masing sudutnya terdapat sebuah bintang yang mengapit tulisan Yayasan Pendidikan Cendana Wangi.
Bagian dalam segitiga terdapat simbol matahari, gunung, dan tanggul pohon cendana, yang berarti: Segitiga melambangkan Sandinawa berada pada tiga kabupaten (TTS. TTU, dan Belu) sebagai penyelenggara Unimor, Bintang melambangkan visi Sandinawa, Matahari melambangkan Sandinawa sebagai pemberi cahaya bagi Unimor dalam membangun kecerdasan dan keilmuan, Gunung Mutis melambangkan kejayaan Sandinawa dan Tanggul pohon cendana melambangkan Sandinawa pemberi keharuman bagi perjalanan Unimor untuk menghasilkan sarjana paripurna.
Gagasan tentang nama Universitas Timor (Unimor) untuk universitas baru ini, walaupun tidak resmi, Rektor Untim, Pater Theo, sudah mencoba untuk menghembuskannya di kalangan sivitas akademika Untim.
Ketika nama Universitas Timor disematkan pada universitas baru ini, tidak ada satu pun pihak mendebatkannya sama sekali. Hal ini dilatari oleh tiga alasan mendasar dari kata “Timor”, yakni: pertama, bebas nilai, tidak menunjukkan jati diri atau simbol keunggulan satu dari tiga kabupaten yang ada di perbatasan; kedua, solidaritas masyarakat lokal (perbatasan) untuk mendukung program Pemerintah Republik Indonesia dalam mencerdaskan bangsa di wilayah perbatasan (the spirit of nation); dan ketiga, “Timor” adalah kata yang telah menjadi bahasa “ibu” yang akrab disebut dan telah menjadi darah daging dalam benak setiap insan masyarakat Timor.
Akronim Unimor ternyata bukan akronim biasa. Unimor berasal dari kata “Uni” yang berarti “satu”,”sekutu”, atau “besar”; dan “Mor” dari bahasa Latin yang berarti “Roh” atau “Jiwa”. Jadi, Unimor berarti “pengelolaan pendidikan dengan jiwa besar” atau “pengelolaan pendidikan dengan perlindungan para jiwa atau roh yang dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa”. Dengan demikian Universitas Timor akronimnya adalah Unimor dan sejak saat itu mulai digunakan hingga sekarang.
Apabila dicermati secara seksama, baik akronim Unimor maupun Sandinawa secara filosofis menggambarkan sebuah kekuatan tuntutan kebutuhan akan hadirnya universitas baru serta suasana batin yang dirasakan oleh seluruh sivitas akademika Untim di tengah pengungsian.
Akumulasi dari serangkaian proses keperintisan inilah yang kemudian dituangkan secara apik dalam Visi Unimor, yakni “Unimor adalah suatu lembaga ilmiah, persekutuan intelektual orang beriman, saling melayani dalam cinta dan pengertian, dalam kesederhanaan dan persaudaraan sejati orang-orang di perbatasan”.
Pemberi Semangat
Banyak simbol digunakan untuk menunjukkan identitas suatu lembaga, negara, suku dan atau marga. Wujud simbol itu bisa berupa lagu, tari-tarian, kerajinan atau bisa juga artefak peradaban yang lain seperti logo dan lambang-lambang tertentu. Karena pentingnya keberadaan Mars dan Hymne ini, tim studi kelayakan meminta Bapak Elias Djoka, pimpinan Padua Suara Vokalista Kmanek, untuk menyusunya. Komponis jebolan Pusat Musik Liturgi (PML) Jogja dan mantan asisten pelatih Paduan Suara Vokalista Sonora Jogja asuhan Paul Widywan ini dengan tangan terbuka membantu Unimor.
Setelah pertemuan itu, dalam waktu kurang lebih sebulan, tepatnya Mei 2000, Mars dan Hymne Universitas Timor berhasil dirilis dan diserahkan oleh komponis kepada Unimor untuk dilatih. Ketika mendengar Mars dan Hymne dinyanyikan, muncul tanggapan dari sivitas akademika termasuk Pater Theo, yang bernada sama, bahwa lirik lagunya sangat menyentuh dan menjiwai semangat keperintisan pendirian Unimor.
Dalam situasi pengungsian politik-kemanusiaan, segenap sivitas akademika Untim bertekad untuk mengabdikan diri mencerdaskan kehidupan bangsa di wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mars dan Hymne Unimor dinyanyikan secara resmi untuk pertama kali dalam wisuda perdana Unimor tahun 2002 di Ruang Sidang DPRD Kabupaten TTU (Wisuda ini dilakukan bagi mahasiswa transfer dari perguruan tinggi lain dan eks Untim yang tidak sempat menyelesaikan studinya pada Masa Transisi Untim di Kupang).
Di samping Mars dan Hymne, perhatian Tim Studi Kelayakan mengarah kepada pembuatan logo dan lambang Unimor. Dilihat dari prosesnya, waktu yang dibutuhkan untuk membuat Mars dan Hymne jauh lebih lama dibandingkan dengan logo dan lambang.
Hal ini terjadi karena logo dan lambang Unimor pada prinsipnya sama dengan logo dan lambang Untim. Perbedaannya hanya terdapat pada huruf “U”, yakni pada Untim, huruf “U” ditarik garis datar membentuk huruf “T” pada kedua ujung huruf yang melambangkan Universitas Timor Timur, sedangkan pada Unimor, huruf “U” ditarik garis datar yang membentuk huruf “T” hanya pada satu ujung huruf, yaitu ujung sebelah kanan yang melambangkan Universitas Timor.
Huruf “U” dan “T” berarti memancarkan cahaya pencerahan bagi umat manusia. Logo bergambar bunga teratai segilima yang berisi sebuah buku terbuka yang dihiasi bintang, memberi arti bahwa Universitas Timor memiliki visi yang jauh ke depan dalam mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kisah Pertama
Pada 26 Juli 2000, tepat pukul 10.00 Wita rombongan Unimor bertolak dari Kupang menuju Kota Kefamenau dengan menumpang 3 (tiga) buah bis dan 1 (satu) mobil Feroza milik Pater Theo. Perjalanan ini amat melelahkan dan rombongan baru tiba di Kota Kefamenanu sekitar pukul 16.30 Wita. Sebuah perjalanan yang memakan waktu cukup lama.
Hal ini terjadi karena dua hal, yakni: pertama, situasi di Tuapukan yang tidak kondusif akibat terjadinya insiden di penampungan sementara pengungsi politik asal Timtim dan kedua, jalan terputus akibat longsor di Kecamatan Niki-Niki, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Kedua hambatan perjalanan tersebut yang paling potensial berpengaruh terhadap perjalanan rombongan Unimor adalah kasus kekacauan (insiden) yang terjadi di Tuapukan. Dikatakan paling berpengaruh, karena semua kendaraan termasuk bis tidak diperbolehkan melewati tempat itu.
Kondisi demikian mengharuskan bis yang ditumpangi rombongan Unimor harus melalui Baomata dan memutar kembali ke Oesao, lalu mengambil jalan raya menuju Kota Kefamenanu. Ketika memasuki daerah longsor di Kecamatan Niki-Niki, perjalanan pun dilalui secara antri dan dilakukan secara pelan-pelan, karena medan jalan tidak memungkinkan.
Kurang lebih pukul 16.30 rombongan Unimor tiba di Posko Unimor yang telah disiapkan (menggunakan rumah milik bapak Blasius Widodo yang tidak ditempati yang terletak di Jalan Eltari, depan rumah Bapak Anton Amaunut, Ketua Sandinawa, penyelenggara Unimor).
Dalam posisi barang-barang bawaan masih di atas bus, peserta rombongan (dosen dan karyawan) turun untuk melihat keadaan di dalam rumah yang menjadi Posko tersebut. Betapa “melorotkan” semangat, kondisi rumah tidak terawat, tidak ada bola lampu listrik terpasang baik di dalam atau pun di luar rumah, lantai ruangan tidak tersapu dan di sana sini berserakan kotoran kambing. Begitu pun di belakang rumah berdiri bangunan yang berdinding bebak dengan kondisi yang sama, tidak terawat dan penuh lubang.
Walaupun tempat transit dan Posko demikian kotor, semangat rombongan kembali pulih, karena Pater Theo senantiasa tetap mendampingi rombongan. Itu dimaksudkan untuk memahami keadaan rombongan, membesarkan hati dan membangun tekad mereka melanjutkan karya Untim melalui Unimor ini. Operasi pembersihan ruangan Posko dan sekitarnya mulai dilakukan.
Pada hari-hari selanjutnya, terutama pada minggu pertama dilakukan rapat-rapat dengan Pemda untuk membangun kesepahaman dan mendapat kepastian tempat untuk penyelenggaraan perkualihan yang akhirnya disepakati bahwa Gedung SMP N I Kefamenanu sebagai lokasi perkuliahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) dan Fakultas Ekonomi (FE), Gedung SDK Leob sebagai lokasi perkuliahan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) serta SMA N I untuk lokasi perkuliahan Fakultas Pertanian (Faperta). Sedangkan Gedung Golkar dijadikan sebagai kantor Rektorat.
Sejak tahun 2004, Unimor menempati gedung baru di Kilometer 7 Kelurahan Sasi. Gedung karya besar Rektor kedua Unimor, almarhum Ir. Arnlodus Klau Berek, MP, PhD itu berdiri kokoh hingga kini.
Unimor Kini
Hari ini, 16 Juni 2020, Unimor berusia 20 tahun. Usia ini dianggap matang untuk mengembangkan dirinya sendiri. Dalam usia ini, kita juga patut bersyukur sebab rahmat Allah terus mengalir ke dalam diri Unimor.
Buktinya, sejak 6 Oktober 2014, status Unimor beralih dari perguruan tinggi swasta (PTS) ke perguruan tinggi negeri (PTN). Inilah hari resminya bagi untuk duduk sejajar dengan banyak PTN lain di tanah ait kita. Moga-moga, lembaga kebanggaan orang-orang Timor Barat ini akan mekar terus.
Jika Pater Theo, Pa Linus Lawawuran, Bu Venta Bulor, Pa Paulus Kadju, Om Pit Seran dan lain (maaf jika saya), sudah berada di surga adalah Apolos yang menanam, maka kita semua, yang masih hidup dan mengharapkan derasnya aliran ‘susu’ Unimor sebagai Paulus, marilah kita mengharapkan Allah sendiri sebagai penyiram agar keharuman nama Unimor terus merebak ke antero Indonesia. Dirgahayu Unimor. Jayalah di NKRI.