Maumere, Vox NTT- Ada yang berbeda semenjak sebulan terakhir bila kita berkendara melalui ruas Jalan Trans Maumere-Larantuka tepatnya di Bolawolon, Desa Tanaduen, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka.
Perbedaan itu bukan karena ada tambahan gudang baru, apalagi outlet pasar modern kapitalis. Tak jauh dari cabang menuju Kampung Blatat, di seberang jalan, setiap harinya terlihat sekumpulan warga bekerja di kebun sayur.
Selalu ada aktivitas di dua atas dua bidang lahan sebelah menyebelah dengan gudang milik PT Waigete Abadi, sebuah perusahaan konstruksi bonafid di Sikka.
Para petani itu menyebut dirinya Kelompok Tani Bolawolon.
Protes
Selain rutinitas yang hampir tak kenal waktu, faktanya memang agak aneh bila ada yang berkebun sayur di sekitar area tersebut. Bisa jadi merekalah yang pertama.
Pasalnya, Desa Tanaduen sama halnya pula desa-desa lainnya di Kecamatan Kangae lebih dikenal sebagai penghasil palawija seperti jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan.
Lebih mudah menemukan satu atau dua lapak menjajakan sayuran ketimbang kebun sayur di Bolawolon.
Belum lagi, selain rumah warga, sepanjang sisi utara area tersebut lebih banyak dihiasi gudang-gudang dan lahan yang tak digarap.
Amandus Ratason, Ketua Kelompok Tani Bolawolon yang ditemui VoxNtt.com pada Selasa (02/06/2020) lalu di kebun, mengaku kelompoknya terdiri atas 50 orang lebih anggota.
Mereka adalah warga setempat. Dialah yang mengorganisasi terbentuknya kelompok tersebut.
“Di sini ada lahan dan sumur air. Saya piker kenapa tidak diimanfaatkan. Sebenarnya sejak dulu saya ingin bertani tetapi mengapa sekarang akhirnya terwujud ada ceritanya,” terang pria difabel ini.
Amandus berkisah warga sekitar kebanyakan kelas menengah ke bawah. Mereka sehari-harinya bekerja di sektor informal seperti tukang bangunan, sopir, penjual ikan, tukang ojek atau bahkan buruh kasar.
Beberapa diantaranya beruntung memiliki lahan garapan yang dipakai menanam palawija sekali setahun.
Menjadi sulit ketika pandemi Covid-19 melanda. Selain kehilangan pendapatan sebagian besar dari mereka pun tak terdaftar sebagai penerima bantuan.
Akan tetapi mereka sudah lelah menuntut perhatian. Ketimbang menggelar unjuk rasa atau melayangkan petisi. Mereka memilih bertani.
“Yah, sudah dari pada kita tunggu bantuan dari pemerintah kami usaha sendiri,” tegasnya.
Terkait keanggotaan kelompok yang begitu gemuk dan berbeda dari model kelompok binaan Pemdes atau pun Dinas Pertanian, Amandus mengatakan itu juga bentuk protes.
“Justru kami bentuk kelompok seperti ini karena kami lihat selama ini ada banyak kelompok tani, tetapi dibentuk hanya untuk menerima bantuan modal, alat atau pun benih setelah itu hilang taka da rimba. Kalau ada bantuan muncul lagi,” tandasnya.
Terlepas dari ekspresi kekecewaan tersebut, Amandus dan kawan-kawannya sesungguhnya sedang ingin memanfaatkan potensi yang ada.
Di dekat Bolawolon, yakni di Wairkoja dan Geliting yang hanya berjarak beberapa kilometer terdapat pasar. Target mereka adalah menyuplai kebutuhan sayur di dua pasar tersebut.
“Kami yakin bisa hidup dari bertani hortikultura. Masih ada lahan 1 hektare yang akan dibuka setelah ini,” terang Amandus.
Saat ini mereka menanam sawi, bayam dan paria dan jagung manis serta pepaya. Ke depan mereka berencana menanam terung, cabai dan tanaman hortikultur lain yang dibutuhkan pasar.
Solidaritas
Bukan perkara mudah membuka kebun hortikultura dalam skala besar. Butuh biaya dan perlatan. Bila diuangkan maka pastilah anggaran bakal membengkak untuk kantong para petani miskin tersebut.
Akan tetapi Kelompok Tani Bolawolon punya cara mengatasinya. Mereka swadaya mengadakan bibit dan perlengkapan. Selain itu, mereka menggalang solidaritas dari sejumlah pihak yang peduli.
Ada yang bantu bibit. Ada yang membajak lahan dengan mengirim traktor.
Bahkan lahan yang digunakan merupakan lahan tidur milik salah satu pengusaha yang dibiarkan tak dimanfaatkan.
“Kami lihat lahan ini tidak dimanfaatkan jadi kami minta ke pemiliknya untuk kami pakai tanam sayur dan syukurlah beliau bersedia,” terang Amandus.
Untuk pemupukan dan pestisida mereka lebih memilih bertani organik. Selain hemat biaya juga sehat.
Semua anggota bersemangat bekerja di kebun itu. Setiap harinya masing-masing anggota harus menyediakan waktu untuk bekerja di kebun.
Waktu kerjanya beragam sesuai dengan latar belakang profesi masing-masing anggota. Perlu diingat keanggotaannya beragam, ada ibu rumah tangga, ada yang penjual ikan, tukang ojek, guru honor, petani, pensiunan ASN dan beberapa anak muda yang menganggur.
“Setiap hari kami bekerja disini setelah setelah menyelesaikan urusan masing-masing,” terang Amandus.
Theodatus, sopir dan petani tembakau mengaku senang bergabung di kelompok tersebut.
“Saya senang selain bisa belajar bertani hortikultura di sini saya alami sendiri yang namanya gotong-royong,” terangnya.
Sementara itu, pensiunan ASN, Mama Elisabeth mengaku berterima kasih diajak bergabung.
“Saya bisa beraktivitas di hari tua ini tentu sangat menggembirakan,” tandasnya.
Kelompok Tani Bolawolin masih punya banyak mimpi. Siapa pun yang tertarik bisa turun mendukung dengan cara apa pun.
Mereka ingin punya unit-unit usaha lain dan tetap bergotong-royong membangun ekonomi.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Ardy Abba