Oleh: Irvan Kurniawan
Desa Satar Punda di barat Pulau Bunga, NTT kembali digoncang polemik sengit di ruang publik.
Dari sana gema pro-kontra tambang menjadi perhatian sejagat. Jika Anda mengetik kata kunci “Satar Punda” di Google, nyaris tak ada ulasan lain yang muncul selain persoalan tambang.
Setidaknya 5 kampung di desa itu sudah menjadi sasaran perusahaan tambang. Ada Sirise, Satar Teu, Tumbak, dan yang belakangan santer adalah Luwuk dan Lingko Lolok.
Bagi orang-orang Satar Punda, pro-kontra tambang sudah menjadi sajian musiman yang selalu diterima. Mereka terlihat pasrah menerima kenyataan, meski di balik kehadiran tambang pasti menciptakan perpecahan sosial. Situasi kekeluargaan yang dulunya lekat, kini menjadi jarak oleh sekat pro-kontra tambang.
Sesungguhnya pro-kontra ini bukan tanpa alasan. Saya sendiri menemukan akar soalnya ketika tinggal bersama warga Satar Punda selama satu minggu pada tahun 2014 silam.
Kala itu, situasi di Tumbak, Desa Satar Punda, sangat mencekam. Ancaman pertumpahan darah antara kubu pro dan kontra tambang nyaris terjadi setiap hari. Kami yang tergabung dalam Himpunan Pelajar Mahasiswa Manggarai Timur (Hipmmatim) kala itu, memberanikan diri masuk ke dalam kubangan konflik.
Di sana kami berbaur dengan warga pro maupun kontra sembari melakukan riset sederhana untuk menemukan persoalan.
Kami menemukan bahwa persoalan utama di sana adalah mimpi akan kesejahteraan yang tak lekas mendarat. Dari rezim ke rezim, dari setiap musim Pilkada, mereka sudah kenyang dengan janji. Bahkan saking kenyangnya, orang-orang Satar Punda sampai mual mau muntah dengan janji politik.
Pro kontra terjadi karena ada masyarakat yang membacanya secara pragmatis. Di sisi lain, ada juga masyarakat yang melihatnya jauh ke depan.
Kubu pro tambang berharap bahwa mimpi kesejahteraan harus terwujud saat ini dengan hadirnya perusahaan tambang. Mereka sudah lelah menahan derita kemiskinan meski tanah sebagai satu-satunya warisan tersisa, lenyap dimangsa perkakas tambang.
Mereka sudah bosan menunggu datangnya kesejahteraan itu. Jadi, dari pada terus bermimpi sampai mati, lebih baik menerima uang jaminan atau kompensasi yang sudah ada di depan mata.
Sementara kubu kontra tambang melihat mimpi kesejahtraan bukan disulap sekejap. Sesaat mungkin mendatangkan berkah, namun itu hanyalah kesejahteraan semu karena pada masa yang akan datang membawa prahara kehancuran.
Mereka sadar bahwa tambang adalah investasi jangka pendek. Kalau isi tanah sudah terbongkar, perusahaan pergi dan mereka kembali merintih miskin. Lalu dampak lanjutnya, akibat keegoisan generasi terdahulu, anak cucu yang lahir kemudian semakin memperpanjang warisan derita.
Akar Soal
Saya tidak mau masuk ke persoalan pro-kontra sebagai akibat hadirnya pertambangan. Bagi saya, mendiskusi persoalan itu memang penting namun tidak relevan dengan akar masalahnya. Pertanyaan masalah yang harus diutarakan adalah bagaimana caranya membuat orang-orang Satar Punda sejahtera sehingga tidak mudah menjual tanah sebagai penyambung hidup mereka?
Karena itu, pihak pro maupun kontra tambang harus dibaca sebagai korban dari ketimpangan kebijakan pemerintah selama bertahun-tahun. Pemerintah gagal menghadirkan kesejahteraan yang membuat sebagian rakyat Satar Punda putus asa, lalu rela menyerahkan tanahnya.
Andai saja mereka sudah sejahtera, mana mungkin orang-orang Satar Punda mau memberikan tanahnya untuk perusahaan tambang yang datang sesaat.
Lalu pertanyaannya, siapakah yang paling bertanggung jawab atas rendahnya kesejahtraan rakyat Satar Punda? Siapa yang paling bertanggung jawab atas kemiskinan yang menimpa orang-orang Satar Punda di tengah kekayaan akan potensi pertanian mereka?
Pemerintah Harus Malu
Harusnya pemprov NTT dan lebih khusus pemda Matim malu ketika melihat rakyatnya dengan mudah menjual tanah.
Ketika rakyat menyerahkan lahan untuk pertambangan, itu sebenarnya gambaran nyata tentang hilangnya peran pemerintah untuk memajukan sektor primer kerakyatan. Artinya, selama ini pemda Matim dan Pemprov NTT gagal membangun kesejahteraan dari sektor pertanian sebagai sektor primer kehidupan rakyat.
Kehadiran pemerintah dalam hal ini pemprov NTT dan pemerintah kabupaten Mangggarai Timur di Satar Punda bukan sebagai pemecah masalah, melainkan datang untuk membuat masalah baru.
Masalah itu misalnya bagaimana dengan masa depan orang-orang Satar Punda usai tambang? Bagaimana dengan daya rusak tambang yang akan mengancurkan lingkungan hidup mereka? Bagimana dengan nasib anak cucuk orang-orang Satar Punda ketika lahan pertanian mereka dibongkar atas nama pembangunan? Bagaimana dengan nasib karst sebagai penunjang ekosistem air di bawah tanah mereka?
Jika dilihat dari pengalaman sebelumnya yakni di Sirise dan Satar Teu, pertanyaan masalah ini sebenarnya sudah terjawab jelas. Jawabannya ialah di balik pertambangan tidak ada kesejahteraan selain meninggalkan lubang ‘kuburan massal’ bagi rakyat.
Masyarakat yang dulu bekerja sebagai buruh kasar di perusahaan tambang, kini tinggal gigit jari menyaksikan kehancuran lahan mereka yang sudah dibongkar perusahaan tambang.
Di Sirise, masyarakat lingkar tambang didera penyakit ISPA yang merenggut nyawa, air kehidupan jadi tercemar, kehancuran lahan produktif warga hingga hilangnya warisan budaya masyarakat lokal.
Saya yakin masalah-masalah ini sudah diketahui oleh Bupati Agas dan Gubernur Viktor. Bupati dan Gubernur juga sudah hafal data statistik bahwa hampir 85% penduduk miskin NTT adalah petani dan tinggal di pedesaan. Bahkan pertumbuhan ekonomi NTT pada tahun 2019 didominasi oleh pertanian, perikanan dan kehutanan.
Di Manggarai Timur sendiri, Bupati Agas tahu bahwa selama lima tahun terakhir (2015-2019), struktur perekonomian didominasi oleh pertanian, kehutanan dan perikanan yakni mencapai 44,78%.
Dalam publikasi Manggarai Timur dalam Angka tahun 2017, Bupati Agas sadar bahwa kecamatan Lamba Leda yang selalu menjadi lahan industri pertambangan memiliki komoditi produktif diantaranya kemiri (591.95 ton), kopi (307.05 ton), mente (143.67 ton). Yang paling banyak digeluti adalah budidaya kemiri yakni mencakup 3.979 kepala kelurga dan kopi sebanyak 2.183 KK.
Sementara data BPS mengungkapkan, kontribusi dari semua jenis pertambangan di Matim terhadap PDRB hanya 2,57% di tahun 2019.
Potensi-potensi pertanian ini, kalau saja pemerintah sedikit membuka mata dan punya niat baik, tentu akan menghadirkan kesejahteraan di sana. Tapi mengapa para petani tetap miskin? Bukankah ini gambaran salah urus Manggarai Timur dan NTT umumnya?
Riset dari Marlinda Mulu, Rudolof Ngalu dan Frans Laka Lazar menyebutkan, Desa Satar Punda memiliki potensi pertanian hortikultura yang perlu dikembangkan karena memiliki lahan yang subur, namun sebagian besar petani hanya mengenal sistem pertanian monokultur.
Petani Satar Punda belum mengenal sistem pertanian polikultur, sehingga pendapatan petani hanya bergantung pada satu jenis tanaman pada masa panen.
Riset ini membuktikan, keunggulan sistem pertanian polikultur adalah dapat menanam dua atau lebih jenis tanaman pada lahan yang sama serta frekuensi panen yang lebih dari satu kali.
Pola tanam tumpang sari (polikultur) dengan mengoptimalkan lahan sempit untuk menanam lebih dari satu jenis tanaman (tomat dan cabai merah) dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Satar Punda.
Hemat saya pola ini juga bisa dijadikan jalan keluar sehingga masyarakat Satar Punda tidak terlilit utang dan ijon akibat jeda waktu panen yang cukup lama. Mungkinkah jalan ini bisa ditempu Bupati Ande dan Gubernur Viktor? Semoga saja.