Oleh: Antonius Jehemat
Dosen Politeknik Pertanian Negeri Kupang, dari Manggarai Timur
Tulisan ini lahir dari pencermatan terhadap polemik aktual soal tambang dan pabrik Semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur.
Sejauh ini, berbagai diskusi di ruang public, hampir belum ada pihak yang menyajikan data secara jelas, komprehensif, dan terukur (kuantitaif), baik pihak “pro” maupun “kontra” tambang, dari pihak pemerintah sekalipun.
Padahal, data, merupakan basic reference, penentuan kelayakannya. Penulis mencoba menyajikan fakta track record usaha tambang disandingkan dengan usaha agribisnis, yang dihimpun dari berbagai hasil riset ilmiah.
Mengapa agribisnis? Karena agribisnis adalah sektor potensial yang lebih mumpuni dibanding sektor pertambangan. Umurnya lebih matang, dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan pangan NTT dan Manggarai Timur khususnya.
Fakta Rekam Jejak Usaha Sektor Tambang
Usaha tambang, memang menjadi salah satu pilihan dalam pengembangan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia. Tidak dipungkiri, kontribusi ekonomisnya diandalkan secara nasional. Beberapa bukti berikut menjadi rujukan.
Pertama, trend dampak economis (Economic effect trands). Pada November 2018 dilaporkan, kontribusi pertambangan terhadap PNBP mencapai Rp 41,77 T (https://republika.co.id, 27/11/2018), kemudian menjadi 46,6 T (±11,56%) pada Desember 2018 (https://www.wartaekonomi.co.id, 19/01/2019).
Fakta di Propinsi Papua, pertambangan berdampak pada angka peningkatan pendapatan sebesar 2,41 (setiap 1 juta rupiah pendapatan pekerja pertambangan, meningkatkan pendapatan seluruh pekerja di Papua menjadi 2,41 juta rupiah), pengganda tenaga kerja mencapai 4,65, (setiap 1 orang pekerja sektor pertambangan, meningkatkan kesempatan kerja di seluruh sektor menjadi 4,65 orang), meskipun kontribusi relatifnya terhadap PDRB, cenderung menurun pada periode 2010-2016, dari 58,33%, menjadi ±37,55% (Suciyanti, dkk 2018, dalam https://jurnal.tekmira.esdm.go.id, Volume 14).
Wajar, jika sektor pertambangan menjadi salah satu sector strategis perekonomian nasional. Namun, penelitian Suseno (2019: https://jurnal.tekmira.esdm.go.id) menyimpulkan, kontribusi tambang cenderung menurun, dari ±1,14% Tahun 2016, menjadi 1,12% Tahun 2017. Estimasi pertumbuhannya hingga Tahun 2029, mencapai 1,83%/tahun.
Ternyata, nilai inipun, tidak secara signifikan meningkatkan kontribusinya terhadap PDB. Studi kasus di Kabupaten Luwu Timur, (Hidayat, dkk., 2014: Jurnal Economia: https://media.neliti.com) menunjukkan angka indeks keterkaitan tambang <1, baik backward lingkage maupun forward lingkage terhadap 22 sector yaitu: bangunan/konstruksi, peternakan, kehutanan, perdagangan, perkebunan, industrinon migas, tanaman bahan ma-kanan, pengangkutan, bank, perikanan, listrik, komunikasi, penggalian, lembaga keuangantanpa bank, pertambangantanpa migas, jasa perusahaan, usaha sewa bangunan, hotel, air bersih, restaurant, swasta, dan pemerintahan umum. Hasil serupa juga pada skala Propinsi Sulawesi Selatan, (Anas, dkk, 2018: https://eng.unhas.ac.id).
Kedua, trend dampak social-budaya dan ekologis (socio-culture and ecological effect trands).
Di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan, (Idris, 2013: https://media.neliti.com/media/publications) dan di Banyuwangi, Jawa Timur (Yunita, 2012), menunjukkan dampak serupa terhadap kondisi sosisal-budaya, yakni: terjadinya migrasi masuk, timbulnya konflik masyarakat, merenggangnya hubungan kekerabatan, timbulnya praktek prostitusi, kehidupan sosial serba keras dan kurang harmonis, persaingan kurang sehat mengakibatkan rumah tangga berantakan.
Selanjutnya Idris (2013: https://media.neliti.com/media/publications), menguraikan beberapa kasus dampak tambang seperti: PT. Freeport Indonesia di Papua, menyisakan >800 cekungan bekas galian berdiameter besar, bahkan musnahnya hak atas tanah warga karena diklaim sebagai wilayah penambangan; kasus Lumpur Lapindo, menenggelamkan beberapa desa pusat kehidupan masyarakat Sidoarjo. Kiranya beberapa fakta ini cukup representative, meskipun mungkin masih ada fakta lainnya. Bagaimana dengan Agribisnis?
Fakta Rekam Jejak Usaha Sektor Agribisnis
Agribisnis merupakan serangkaian aktivitas memberdayakan produk barang dan jasa bidang pertanian membentuk suatu sistem usaha yang terkonstruksi dari beberapa subsistem mulai dari on-farm hingga off-farm), dan diperkuat dengan kelembagaan tertentu yang berorentasi pada nilai dan keuntungan tertentu pula.
Arifin (2004) menyatakan, pada Tahun 1997, ekonomi nasional terperosok akibat ketergantungan pada ekspor minyak dan gas bumi yang harganya anjlok, terjadilah krisis moneter dan ekonomi di Indonesia.
Ternyata, sektor agribisnis tetap eksis di tingkat petani. Bahkan periode 1998-2000, sektor agribisnis menjadi penyelamat ekonomi Indonesia, dengan pertumbuhan 1-2%, mampu menekan kepurukan perekonomian nasional (Antara, 2004).
Bukan tidak mungkin, sector agribisnis akan terbukti pula ketanggunahannya menghadapi pukulan ekonomi akibat pendemik Covid-19. Selanjutnya, Syaukat (2009, :Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah. Vol.1 No.1 2009) menguraikan data BPS (2007), bahwa Tahun 2006, sektor pertanian menyumbang 12,90% terhadap PDB Indonesia. Ketika itu sector pertanian, perkebunan, peternkaan, kehutanan, dan perikanan menyerap 42,05%penduduk berumur >15 tahun.
Mengapa demikian? Karena, hampir 80% penduduk Indonesia bertumpu pada sector pertanian, dan nyaris menyerap ±50% tenaga kerja, terutama di pedesaan, meskipun corak usahanya didominasi oleh ushaa skala kecil.
Hal ini tentu membuktikan bahwa usaha skala mikro kecil dan menengah, jangan disepelekan. Ternyata, dari kekecilannya itu, berpeluang dilakukan oleh mayoritas masyarakat yang keterbatasan modal.
Kementrian Pendidikan Nasional (2010), menyatakan fakta global, bahwa jumlah usaha skala kecil mendominasi 99% dari total jenis bisnis di negara kecil; jumlah pekerjanya 40% dari total pekerja dunia; volume bisnisnya 40% dari volume bisnis dunia; jumlah pekerjaan baru mencapai 75%, dan merupakan cikal bakal lahirnya kewirausahaan.
Saat ini, dalam pengembangan agribisnis, berkembang konsep intgreted farming system/IFS: peternakan, kehutanan, dan perikanan, sehingga, sekali jalan menghasilkan banyak komoditas.
Kenyataan ini, membuktikan peran penting sektor agribisnis, untuk menghasilkan pangan, penyedia tenaga kerja terbesar, memperbesar pasar untuk industri, dan meningkatkan devisa.
Sektor Agribisnis Menggugat Sektor Tambang
Mengacu pada fakta-fakta di atas, beberapa point penting dapat disandingkan antara sector tambang dengan agribisnis.
Pertama, berkaitan dengan pemilihan sektor andalan pembangunan, bahwa sector andalan seyogyanya berorentasi pada: nilai kontribusi terhadap ekonomi nasional, berkeberlanjutan, menjamin kelestarian ekologis, berbasisi sumber daya lokal, dan turut memajukan sector terkait.
Sebagaimana tujuan pokok pelaksanaan otonomi daerah (UU No 22. Tahun 1999 dan PP No.25 Tahun 2000) yaitu mempercepat perkembangan ekonomi daerah secara efektif dan efisien (Nurif dan Muktar 2010: https://www.researchgate.net/publication/316925642).
Terhadap hal ini, harus diakui bahwa cara terefektif dan terefisien adalah pendayagunaan sumber daya alam yang ready to used dan sustainable, seperti: lahan, air, keragaman hayati dan agro-klimat.
Semua itu merupakan primery capital untuk pengembangan agribisnis. Pengembangannya hanya membutuhkan polesan SDM dan teknologi. Bahkan, dengan konsep IFS mampu memperbaiki kualitas tanah, kelestarian air, dan tentu saja dampak sustainable economic. Lalu, agribisnis merupakan satu-satunya sector penjamin food security. Sebelum pengembangan sector lain dapat dilakukan hanya jika sector pangan dalam area comfortable zone.
Food security menjadi fundasi pengembangan socio-security, economic stability, politic-stability bahkan national stabylity. Hal ihwal industri apapun, yang menggusur sector agribisnis, sesunggunya adalah food-loses industry.
Gugatannya adalah: mungkinkah industri tambang secara langsung menjamin food-security?
Kedua, sifat pengusahaan dan keberlanjutannya. Sector tambang merupakan fixed industry. Masa pemanfaatan dan jumlahnya terbatas, bahan baku tidak bereproduksi. Kalau supplynya habis, nilainyapun habis, penikmat hasilnyapun hanya generasi yang hidup sepanjang berproduksi berlangsung. Juga bersifat conventional development: mengutamakan produk/jasa tertentu, lalu mengorbankan sector lainnya, apapun bentuknya tetap mengancam ecological sustainablity.
Dampaknya generasi mendatang diterlantarkan. Sebaliknya, agribisnis adalah industry biologis, senantiasa bertumbuh (growth industry). Sampai kapanpun dipastikan tetap berlangsung. Orisinalitas alam terjaga/ditingkatkan. Gugatannya adalah, berapa lama pertolongan tambang dan waktu untuk memulihkan ekosistem alam beserta habitatnya untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat?
Ketiga, kemanfaatan ekonomis, social-budaya, dan ekologis. Dominasi nilai manfaat tambang adalah pertumbuhan ekonomis, manfaat sosial dan ekologis masih dipertanyakan.
Pertumbuhan ekonomipun cenderung bersifat semu (pseudo economic growth). Berbeda dengan agribisnis. Contoh kasus Luwuk dan Lingko Lolok, secara ekonomis, untuk lahan seluas 500 ha (=lokasi tambang), jika, 50%-nya saja yang produktif, ditanami padi lading, produksi 0,6-1,13 ton/ha/tahun bahkan lebih, dan harga gabah Rp.9.000/kg, maka potensi hasil kotornya ±5,1 juta rupiah/tahun. Ini jika 1 kali tanam/tahun dan hanya 1 komoditas saja.
Jika lebih? Hitung saja. Secara social-budaya, masyarakat Luwuk dan Lingko Lolok, sangat menyadari bahwa mereka lahir dan dibesarkan dalam adat dan budaya, dalam hal pemanfaat lahan untuk pertanian pasti berproses dalam serangkaian ritual adat. Juga memegang teguh kesatuan yang utuh antara rumah tinggal (mbaru bate kaeng’n one) dengan lahan garapan (lingko’n pe’ang), air sebagai salah satu media penyadaran dirinya terhadap kebesaran Tuhan (Wae baro/takung).
Disadari pula kesatuannya dengan Semesta sebagai “bahtera” dari Tana’n wa (bumi di bawah)=Ine/Ende’(Ibu) dengan Awang’n eta (langit di atas)=Ame/ Ema (bapak), sehingga hasil bumi (bukan isi perut) diidentikan dengan “air susu dari ibu” yang senantias menghidupinya.
Karena itu, penambangan dianggap merobek “perut bumi” sama dengan “memperkosanya”. Gugatanya adalah seberapa besar dan lama nilai “pengasuhan air susu bumi” yang diperas melalui tambang terhadap kehidupan anak manusia di daerah terdampak? Berapa banyak sector terkait yang ikut dihiupkan dengan nilai indeks keterkaitan >1? Dan, Apakah budaya lokal bisa dikompensasi dengan benda atau ceremonial budaya lain? Berapa tahun waktu untuk memulihkan luka “Ibu” itu?
Semoga tulisan ini dapat berkontribusi terhadap pertimbangan kelayakan usaha tambang di Luwuk dan Lingko Lolok, bagi para pihak berkepentingan.