Oleh: Apolonius Anas
Direktur Lembaga Bimbingan Kursus dan Pelatihan U-Genius Kefamenanu
Dalam sehari terakhir media sosial di NTT ramai memperbincangkan pernyataan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat dalam suatu kunjungan di kecamatan Riung beberapa waktu lalu.
Ia menilai orang miskin di NTT punya hobi yang unik, “Hobi Melahirkan”. Pernyataan ini merujuk pada tingkat pertumbuhan penduduk miskin yang sangat tinggi di NTT. Menurutnya orang miskin punya kontribusi besar dalam peningkatan jumlah penduduk NTT utamanya karena perilaku suka melahirkan anak.
Tentu saja pernyataan ini tidak serta merta keluar begitu saja dari mulut sang gubernur atau hanya celetuk biasa sebagai watak khasnnya. Argumentasinya berbasis data dan fakta kependudukan yang ada di tangan. Jadi, rujukannya jelas.
Jika membaca data Biro Pusat Statistik, propinsi NTT masih mendapat label propinsi termiskin. Bisa jadi grafik demografi penduduk miskin sangat tinggi saat ini terjadi karena prilaku atau hobi orang miskin seperti yang diungkapkan gubernur.
Namun pernyataan “melahirkan sebagai hobi atau kegemaran” patut diperbincangkan atau dikritisi di ranah publik seperti ini. Pasalnya, kemiskinan itu sebagai persoalan publik yang belum terselesaikan sampai saat ini. Stigma negatif sebagai propinsi terbelakang, termiskin dan tertinggal bisa jadi beririsan dengan prilaku tadi.
Faktanya sampai saat ini belum ada program jitu beberapa gubernur puluhan tahun belakangan mampu membrangus noktah-noktah kemiskinan di NTT. Yang terjadi malah gelora api kemiskinan terus berkobar di seluruh wilayah NTT.
Pernyataan sang gubernur di atas boleh jadi menggambarkan seolah- olah orang miskin di NTT ini di waktu luang kurang kerjaan. Mereka memilih “goyang di ranjang” daripada sibuk mengurus kehidupan yang lebih baik demi mengubah nasib.
Selain itu karena melahirkan itu dianggap sang gubernur sebagai hobi, maka bukan tidak mungkin durasi melahirkan orang miskin di NTT sangat tinggi. Bisa jadi tiap hari orang miskin pasti selalu menyalurkan hobi melahirkan itu di rumah sakit, puskesmas dan tempat persalinan lainnya.
Sejak dahulu kala memang orang miskin selalu punya alasan memiliki banyak anak. Dan itu doyan yang membudaya. Katakan banyak anak banyak rejeki. Orang miskin selalu punya alibi untuk “makan dobel”. Agak sulit mengubah prilaku ini karena kebutuhan hakiki makhluk hidup.
Pada situasi semacam ini kehadiran BKKBN sebagai institusi strategis sebenarnya mampu bertaji guna menekan, meredam dan mencegah laju pertumbuhan penduduk. Mestinya BKKBN tak henti hentinya mengkampanyekan keluarga berencana dan terencana. Namun faktanya orang miskin semakin garang melahirkan anak bahkan seperti dikatakan gubernur sebagai hobi yang unik.
Pandai Menyalahkan Orang Miskin
Orang miskin dalam situasi apapun di bawah kolong langit Indonesia selalu berada di ruang nestapa dan disalahkan terus oleh pemangku kepentingan/kebijakan. Seolah-olah pemicu kesemrawutan hidup berbangsa dan bernegara saat ini utamanya karena ulah orang miskin.
Mestinya penyebab utama kemiskinan bukan karena sikap orang miskin melainkan ulah pembuat kebijakan yang tidak pro pada kehidupan orang miskin.
Kaum miskin boleh jadi pihak yang selalu dilecehkan, terpinggirkan bahkan dihakimi tanpa dasar di ranah publik itu. Kaum miskin selalu berada dalam posisi lapuk dalam arus peradaban manusia modern bahkan sebagai sumber kekacauan nalar para penguasa. Di mana mana orang miskin selalu berada di pihak yang disalahkan. Pertama-tama yang menyalahkan orang miskin adalah para penguasa yang licik. Mereka bersembunyi di balik kepolosan orang miskin. Padahal setiap kali musim kampanye tiba, mereka selalu berkotbah dari kampung ke kampung menjanjikan kesejahteraan.
Kalau jeli menelisik, sebenarnya kaum miskin bagaikan mesin uang (ATM) hidup dari para penguasa atau pihak lain yang pandai mengabil kesempatan dalam situasi rakyat yang miskin. Patut diakui banyak proyek pemerintah di bidang sosial untuk memecah persoalan kemiskinan namun proyek itu tidak saja memberi kehidupan bagi kaum miskin tetapi para pengurus orang miskin keciprat rezeki.
Fenomena mengambil hak orang miskin semakin hari-semakin menjadi jadi. Misalnya di masa pandemi Covid 19, saat ini hak orang miskin yang diberikan negara tak selamanya sampai di tangan mereka. Dana itu berhenti di tengah jalan.
Kaum miskin hanya mendengar dan berharap bahwa ada bantuan tanggap darurat bencana Covid 19 namun faktanya hak mereka diambil oleh orang yang tidak berprikemanusiaan. Orang miskin hanya meratap pada nasib.
Kemiskinan Proyek Abadi
Orang miskin di NTT menurut saya sebenarnya mau berubah dari kehidupan yang serba sulit ini. Itu bisa terjadi jika kaum miskin mendapatkan kemudahan dalam akses pendidikan atau bimbingan yang benar dari pemangku kebijakan. Kemiskinan itu berlahan tergerus. Namun yang terjadi adalah orang miskin dibiarkan terus menggelepar dalam lumpur derita.
Membimbing orang miskin melalui proses pendidikan menjadi orang yang baik menjadi unsur utama merubah nasib. Apapun program pemerintah harus dimulai dari edukasi yang matang. Organisasi NGO yang berkelana di NTT saat ini mestinya dimulai dari mengubah mental orang miskin dari “bermind setan” menjadi “bermindset” sebagai hasil setingan dari pemangku kepentingan yang punya hati yang berbela rasa pada kaum papa.
Tak heran banyak orang miskin dibiarkan miskin supaya dana sosial terus mengalir bahkan banyak orang yang berlabel mampu mengais rezeki pada nasib orang miskin. Karena jika orang miskin sudah berubah menjadi kaya atau mampu maka lahan hidup pengurus orang miskin itu menjadi hilang. Mereka pasti menganggur.
Sehingga terminologi pemberdayaan masyarakat selama ini hanya kamuflase logika yang mana masyarakat miskin itu mestinya diperdayakan atau disokong kehidupannya. Namun faktanya masyarakat miskin itu “diperdayai” secara berlapis mulai dari pembuat kebijakan level atas sampai pelaku kebijakan di level bawah. Triliunan dana bantuan sudah digelontorkan kepada orang miskin namun faktanya masih ada orang miskin. Kemana duit itu?
Gosip Tajir Para Politisi
Orang miskin menjadi bahan gosip dalam politik dari kaum politikus untuk meraup keuntungan dalam hajatan politik. Kaum miskin menjadi sapi perah dalam mendulang suara. Tamengnya jelas. Serba gratis. Belum lagi ketidakberdayaan orang miskin yang sering telan bulat bulat omongan politikus.
Banyak pemimpin dari masa lalu bahkan sampai sekarang mencicipi keuntungan dari situasi miskin yang ada pada rakyatnya. Bahkan setelah memimpin, hak orang miskin terabaikan. Para pemimpin berjuang sampai berhasil mengumpulkan harta demi membangun (kera)jaannya.
Di ranah pilkada, mereka memakai orang miskin untuk meraih pundi-pundi suara agar terpilih dengan sejumlah iming iming serba gratisan. Rumah gratis, pendidikan gratis, kesehatan gratis dan berbagai bentuk gratis lainnya. Itulah iming-iming yang disampaikan kepada orang miskin yang digaungkan di saat kampanye. Dengan kepolosan yang ada pada orang miskin tanpa mereka sadari mereka sedang diperdayai dengan kegratisan itu.
Dengan bahasa lain kemiskinan itu pertama memang sengaja dipelihara agar dana bantuan untuk orang miskin dialirkan tidak secara utuh ke tangan orang miskin namun ke tangan pemimpin atau pemangku kebijakan. Pemimpin keciprat rezeki dari nasib orang miskin. Kedua boleh jadi kemisikinan itu adalah produk asli yang harus dipertahankan demi tujuan tertentu.
Memang tidak semua pemimpin berhati busuk mengambil hak orang miskin. Masih ada pemimpin yang berhati baik bahkan mengikuti teladan Yesus dalam ajaran Kristen yakni membagikan kebaikan kepada kaum papa. Kebaikan yang datangnya dari Allah melalui Yesus. Figur Yesus tidak hanya bermain di atas mimbar (kotbah di bukit) namun Yesus turun gunung bergaul dengan orang miskin dan membuktikan kasih Allah kepada orang miskin dengan melayani mereka.
Yesus tidak mencela bahkan menghakimi orang miskin karena bagi Yesus dalam kotbah di bukit yang berbahagia di hadapan Allah adalah orang miskin karena merekalah empunya kerajaan surga.
Pemimpin Pro Rakyat
Kehadiran pemimpin yang tidak pro rakyat seringkali menjadi sumber kemiskinan menjadi kemelut yang memilukan. Upaya program pemberdayaan masyarakat miskin hanya sandiwara karena dampaknya belum terasa samapi saat ini. Dalam hal ini pemimpin punya andil yang signifikan dalam upaya memiskinkan orang yang miskin.
Dalam suatu program TV di BBC Debate dengan tema “Why Poverty”, aktivis HAM dari India pernah mengatakan bahwa pemerintah punya kontribusi besar membuat kemiskinan semakin menggurita. Ia menggambarkan situasi degradasi lahan pertanian di India yang diakusisi oleh pemerintah demi kegiatan pertanian modern. Lahan pertanian rakyat tersingkir dengan sendiri.
Sagatlah jelas bahwa kemiskinan sebagai buah dari kepemimpinan yang buruk yang tidak secara tulus merubah nasib orang miskin. Kemiskinan semakin menggurita sampai saat ini karena kebijakan pemerintah yang kurang menyentuh persoalan dasar pada masyarakat miskin. Pemimpin kurang lihai dan peka melihat masalah persis kemiskinan.
Kita patut mengakui bahwa kurang peka dan tulusnya pemerintah merubah nasib orang miskin menjadi pemicu penduduk miskin semakin meningkat. Gubernur NTT mestinya terlebih dahulu mengritik program keluarga berencana khusus pada orang miskin yang dilakukan pemeritah selama ini sebelum mengeritik orang miskin.
Maka prasangka buruk yang disampaikan oleh gubernur pada orang miskin di NTT yang hobi melahirkan mestinya tidak boleh ada. Tugas gubernur sebagai kepala daerah mestinya memastikan program keluarga berencana dari BKKBN di NTT ini sesuai dengan harapan atau tidak.
Selain itu pemerintah seharusnya gencar mengedukasi orang miskin agar tidak boleh memiliki anak lebih dari dua orang dengan ara yang bermartabat dan bersahabat.
Kehadiran pemimpin sejatinya mengangkat hidup orang dari kehidupan papa menjadi punya harapan. Dari punya harapan menjadi mapan. Tentu saja merujuk pada situasi hidup terdahulu bahwa gubernur Viktor berawal dari tidak punya apa apa kemudian beralih ke kehidupan punya apa apa seperti tergambar pada ceritra hidup Viktor Laiskodat yang nota bene berawal dari nasib orang miskin kemudian puncaknya menjadi gubernur sampai saat ini.
Siapa tahu orang miskin yang hobi melahirkan itulah yang mengantarkan gubernur Viktor Laiskodat ke singgasana kekuasaan saat ini. Maka tugas mulia saat ini adalah kalau perlu orang miskin yang hobi melahirkan anak saat ini berubah nasibnya sama seperti gubernur Viktor. Gubernur Viktor berutang jasa pada keluarga miskin yang turut memilihnya duduk di singgasana kekuasaan.