*) Cerpen Latrino Lele
Namaku Jocis seorang anak petani yang berasal dari kampung yang sangat terpencil. Hari-harinya aku bekerja di kebun membantu ayahku. Terkadang aku menjadi penggarap di kebun milik tetangga sekedar menambah penghasilan untuk bisa membantu ayah dalam membiayai kedua adikku yang sekarang berada di bangku SMP. Meskipun hidup kami boleh dikatakan masih jauh dari kata sejahtera, tetapi kami bahagia. Dengan hasil panen yang cukup memuaskan mampu memberi kami hidup. Pergi subuh pulang petang sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.
Kala senja tiba dengan semburat warna jingga khasnya yang kian memudar di ufuk barat. Kami pun bergegas pulang ke rumah dengan melewati jalan yang jurang dan terjal dengan tetap berhati-hati. Karena memang daerah kami berada di bukit. Hari kian gelap burung-burung tak lagi terdengar kicauannya. Malam mulai mendekap dengan gagahnya. Dalam sekejap kampungku telah dibaluti kegelapan yang kian memekat. Di setiap rumah hanya terlihat samar-samar cahaya lampu pelita yang makin lama makin redup oleh kehabisan minyak. Yah.. maklumlah belum ada pln di kampungku. Para warga yang sedari pagi tadi berkelana mencari rupiah agar bisa memenuhi kebutuhan hidup. Kini telah bersama-sama sanak keluarganya melingkari tungku api guna menghangatkan badan yang tengah digerogoti kedinginan malam yang kian mencengkam itu. Meskipun kampungku terlihat udik atau kolot kami masih bersyukur karena tidak pernah mengalami kekurangan makanan.
Kehidupan masyarakatnya boleh dikatakan sangat bahagia. Mereka sangat betah tinggal di kampung ini. Tentu hal ini berbeda denganku yang saban hari selalu menggerutu kata bosan untuk tetap tinggal di kampungku. Dan semakin hari semuanya terasa kacau bagiku untuk terus-menerus berada dalam kondisi yang kolot menurutku. Aku pun memutuskan untuk merantau di negeri seberang. Negeri yang menjanjikan kelimpahan susu dan madu. Aku sudah tergiur oleh cerita-cerita dari orang-orang yang sukses dari tanah rantauan. Misalnya om Duwu yang baru pulang dari negeri seberang, Ia sudah mampu membangun rumah setengah tembok untuk keluarganya. Hebat, bukan? Iya itu sangat luar biasa bagi kami di desa ini yang rata-rata rumah bambu dan beratap alang-alang.
“Merantau mungkin menjadi pilihan terbaik untukku saat ini. Aku bisa mewujudkan keinginanku menjadi orang sukses di negeri asing itu dan bisa membahagiakan kedua orang tuaku, gumamku dalam hati”.
Malam ini seperti tetangga-tetangga yang lain di kampungku aku bersama ayah, ibu dan dua adikku tengah duduk melingkari tungku api sambil menikmati kopi hitam dan pisang goreng buatan ibuku. Kehangatan di tungku api sambil menyeruputi kopi dan mengunyah pisang goreng terasa sangat nikmat. Mungkin faktor pendukungnya adalah kebersamaannya. Sehingga terasa lebih nikmat dari pada makan di restoran mewah. Meskipun dalam kesederhanaan itu kami sangat bahagia saling berbagi cerita dan bincang-bincang banyak hal terkait kondisi kampung juga pekerjaan kami di kebun. Tidak kalah juga kedua adikku yang sekarang berada di bangku SMP itu bercerita tentang keadaan mereka di sekolah. Kami semua begitu antusias untuk saling bercerita ataupun mendengarkan. Sungguh ini merupakan malam yang indah. Malam yang didambakan oleh semua keluarga. Malam yang penuh kedamaian dan keceriaan. Pada kesempatan ini aku pun mengutarakan niatku untuk pergi merantau kepada ayah dan ibu.
“Ayah.. ibu.. aku berniat untuk pergi merantau ke negeri seberang bersama om Duwu di kampung sebelah yang baru pulang minggu lalu. Sekarang beliau mau pergi lagi ke tempat perantauannya. Sesuai cerita yang aku dengar dari om Duwu bahwa di sana kerjanya santai dan upahnya juga besar. Buktinya Dia adalah satu-satunya orang di desa kita yang mampu membangun rumah setengah tembok dan beratap seng. Mungkin dengan merantau aku akan menjadi orang sukses nantinya dan bisa membuat rumah tembok juga bisa membiayai adik berdua sampai kuliah”, jelasku panjang lebar penuh harap kepada ayah dan ibuku supaya mereka mengizinkan aku pergi merantau.
Ayahku tiba-tiba saja terdiam sejenak Ia menghela napas panjang dan memberikan tatapannya yang menukik tajam kepadaku sehingga membuatku sedikit gugup. Tepat dugaanku keinginanku untuk merantau tidak diindahkan oleh keluarga. Terlebih Ayah yang melarang keras niatku ini, maka tidak dimungkiri perdebatan hebat antara aku dan ayah malam ini. Perdebatan kami cukup sengit tidak kalah dengan debat politik dari Candidat-Candidat untuk merebut kursi kepemimpinan.
“Nak… tanah kita ini masih sangat kaya, kamu tidak akan pernah merasa kelaparan berada di sini. Lalu untuk apa kamu ke negeri seberang? Negeri yang tidak mengenal engkau. Negeri yang tidak bersahabat dengan engkau. Pokoknya ayah tidak mengizinkan engkau pergi”, bantah ayah mengenai niatku untuk pergi merantau ke negeri seberang tersebut.
Suasana malam ini yang semula penuh gambaran keceriaan sekarang sudah semakin tegang. Kopi hitam dan pisang goreng yang terasa nikmat dan menghangatkan itu kini menjadi hambar tak memuaskan. Aku tidak memiliki nafsu untuk menghabiskannya.
Aku sendiri masih dengan egoku untuk tetap pergi merantau apa pun yang terjadi. Semua larangan ayah tidak teduh lagi di telingaku untuk aku pahami. Aku sudah tidak peduli. Aku sudah konsisten dengan keputusanku untuk tetap pergi merantau ke negeri seberang itu. Bukan tidak mungkin lagi semua petuah yang penuh dengan racikan kebijakan yang dituturkan ayah kepadaku terasa hampa bersama legamnya malam. Malam kian larut, tetapi kami masih dalam perdebatan itu.
Dalam kesunyian yang semakin mencengkam semua lantunan kata bijak yang menerobosi sulut gendang telingaku membuatku menggeram marah. “Cukup ayah… cukup… Itu semua sia-sia tidak berfaedah sama sekali bagiku”, sontak aku meraung marah karena ayahku masih saja merangkai petuah bijak itu. “Tekadku sekarang sudah bulat aku mau pergi merantau ke negeri asing itu”, lanjutku dengan nada yang lebih keras lagi.
Ayahku yang sedari tadi berceloteh kini diam seribu kata, ibuku yang sejak tadi pembukaan diskusi hanya diam tanpa jejak, tetapi ia telah banyak berkata-kata melalui cucuran air jernih dari pelupuk mata yang membasahi pipinya. Kedua adikku hanya diam sembari terus menghabiskan pisang goreng di piring yang masih tersisa. Tanpa menghiraukan debat yang sedikit panas itu. Malam semakin pekat dalam kuasanya di luar gegap gempita hanya terdengar nyanyian jangkrik yang mungkin sedang berpesta. Tidak menghiraukan perdebatan kami malam ini.
Bukan karena kehabisan kata-kata bijak atau petuah akhirnya ayahku meluluskan keinginanku untuk merantau ke negeri seberang dengan sedikit terpaksa. Ayah atau mungkin ibu dan juga kedua adikku tidak ikhlas aku pergi merantau. Mereka tidak mau berpisah denganku. Sementara aku sendiri sudah mantap dengan keputusanku untuk tetap pergi merantau. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa membahagiakan mereka dengan kesuksesanku nantinya. Meskipun dalam lubuk hatiku terasa sangat berat untuk berpisah dengan kedua orang tua dan adik-adikku. Namun aku tidak mau untuk terus berada di tempat yang menurutku sangat sulit untuk berjuang menjadi sukses ini. Dan mungkin ini malam yang terakhir aku bersama ayah, ibu, dan kedua adikku. Karena aku akan berangkat besok ke negeri seberang bersama om Duwu dan beberapa teman lain dari kampung sebelah. Malam itu berlalu dengan cepat tak terasa subuh pun tiba.
****
Pagi ini cuaca sedikit mendung dengan hawa dingin yang cukup menggerogoti sampai pori-pori kulitku. Angin sepoi-sepoi menghembus dengan mesranya menerpa wajah-wajah yang sendu. Seolah-olah alam juga tidak merelakan kepergian kami pagi itu. Namun aku sudah konsisten dengan keputusanku untuk tetap pergi merantau di negeri asing itu. Negeri yang menjanjikan kesuksesan. Meskipun aku harus rela meninggalkan orang-orang yang aku cintai. Petuah yang ayah dan ibu pesan kepadaku sebelum berangkat tadi masih bergema di kepala dan hatiku saat ini bahwa aku harus jaga diri di tempat rantauan. Selalu ingat pada Tuhan dalam segala pekerjaan. Dan masih banyak nasihat lainnya. Intinya aku harus pulang kembali dengan keadaan sehat walafiat. Tidak dimungkiri lagi air bening dari pelupuk mata ayah dan ibuku yang masih terus berlinang tak dapat dibendung itu. Merelakan kepergian anak sulungnya ke negeri yang jauh. Negeri yang tidak mereka kenal. Perpisahan dengan orang yang kita sayang ternyata cukup berat. Hari ini aku harus pergi meninggalkan orang tua dan adik-adikku serta kampung halamanku yang telah menyimpan sejuta kenangan yang tak terlupakan dalam memoriku.
Kami berangkat menggunakan kapal laut yang memakan waktu satu minggu lamanya perjalanan. Memang cukup melelahkan, akhirnya kami tiba di negeri yang menjanjikan kelimpahan susu dan madu itu. Sungguh panorama yang luar biasa. Kami disuguhkan oleh kemegahan kota yang indah cukup memanjakan mata yang menatapnya. Hatiku pun ikut berbunga-bunga dengan impian yang besar untuk menjadi orang sukses dan bisa membahagiakan orang tuaku di kampung.
****
Di luar dugaanku kemegahan kota yang memanjakan mata untuk dipandang itu menyimpan sejuta penderitaan yang abadi. Salam hangat dan cerita manis di minggu-minggu awal dari para Bos hanyalah siasat tipu muslihat mereka saja. Pada akhirnya membawa aku juga teman-temanku kepada luka yang tak tersembuhkan.
Sungguh penderitaan mengerikan yang aku dan beberapa teman alami. Kami bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit seorang kapitalis yang memiliki sifat angkuh dan kejam. Kami diperlakukan layaknya budak olehnya. Segala pekerjaan kami dibayar dengan upah yang sangat tidak seimbang. Ini sungguh tidak adil, bukan? Namun sayang kami tidak memiliki kekuasaan apa-apa untuk melakukan protes. Semua perlakuan itu diterima dengan lapang dada.
Di negeri asing itu hari-harinya kami selalu diteror dan dikejar oleh pihak kepolisian perihal kami migran ilegal. Kami tidak memiliki dokumen yang dapat melindungi. Kapan saja siap untuk ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Rasa takut telah menyelimuti seluruh hari kami yang membuat kami tidak merasa nyaman menjalani hari-hari di negeri asing itu. Karena memang kami berangkat ke negeri ini tanpa mengikuti prosedural yang telah ditetapkan. Dengan bodohnya kami mengikuti jalan gelap yang telah disiapkan oleh om Duwu dan Bosnya. Om Duwu sendiri sekarang hilang kabar tanpa tinggal jejak. Entah ke mana ia pergi kami tidak tahu. Betapa pelik, bukan? Hanya doa dan permohonan kepada sang Khalik yang dapat kami panjatkan untuk selalu melindungi kami di negeri ini.
****
Tidak terasa sudah setahun aku juga teman-temanku bergumul dalam penderitaan yang tiada habisnya di negeri ini. Semua impianku yang besar kini hilang lenyap bak daun gugur tak ada harapan untuk dapat bertumbuh lagi. Sungguh ini neraka yang aku alami di negeri asing ini. Ternyata bekerja di negeri asing itu tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Kerja santai dan memperoleh upah yang besar berdasarkan cerita dari pengkhianat itu. Kalau bukan om Duwu. Seorang penghianat yang tega menjual kami menjadi budak di negeri asing ini. Di negeri yang tidak bersahabat dengan kami. Untuk sekarang hutan menjadi tempat tinggal yang aman bagi kami dari kejaran polisi. Segala jenis tumbuhan di hutan yang dapat dimakan sudah menjadi makanan kami sehari-hari untuk bisa bertahan hidup.
Sekarang aku baru menyadari bahwa semegah dan mewahnya negeri asing ini tidak Setenteram dan bersahabat seperti negeri asalku. Negeri yang selalu menjamin aku tidak pernah merasa kelaparan. Negeri yang aman untuk aku hidup dengan damai. Dalam keseharian hidupku aku selalu membayang wajah kedua orang tuaku juga adik-adikku yang masih menunggu aku pulang di kampung. Betapa rindunya aku untuk berjumpa mereka semua. Namun Sekarang hanyalah penyesalan dan perasaan bersalah yang menjadi hantu di hari-hariku siang dan malam. Dalam doa kami hanya berharap kepada Tuhan semoga kami dapat keluar dan terbebas dari cengkeraman neraka di negeri ini.***
*Identitas Penulis.
Nama akrabnya Latrino Lele, berasal dari Bokogo, Wolowea Timur. Sekarang kuliah di STFK Ledalero dan menetap di Biara Scalabrinian, Maumere.